J E D A & H E L A


Kalimat, seindah apapun itu, tidak akan indah jika ditulis tanpa jeda, dibaca tanpa hela. Iya jeda, bukan titik atau koma, tapi jeda. Sekali lagi, jeda. Jeda memberi kesempatan otak untuk mencerna informasi, memungkinkan hati merasai makna dan menuntun pada pemahaman utuh yang bermanfaat. Bukan sekedar sebaris kalimat tanpa nilai yang menguap bersama angin, lepas hilang tanpa bekas sepersekian detik setelah ia dilemparkan. Semua karena tidak ada jeda.

Lalu hela, sama halnya seperti jeda, namun hela beda karena tidak ada tanda tertulis dan semuanya masih tersimpan di memori kepala, berontak keras ingin keluar beradu tangguh dengan alam sadar bahwa semua ada giliranya, tanpa hela, semua informasi akan menghambur keluar tak berkesan, percuma. Penting untuk mengontrol ucapan agar tidak keluar terlalu lancar dan yang keluar kemudian tidak menjadi ucapan kosong yang dikangkangi emosi, tanpa bekas yang bisa disimpan di memori.

Hidup bagai membaca, harus ada jeda supaya maksudnya dapat dipahami. Aku sesekali menantang maut demi menikmati jeda, bukan untuk beristirahat lama lalu menjadi mati, namun hanya jeda sesaat untuk momen refleksi diri sebelum rutinitas merampas kompas hidup, karena aku tidak mau hidup tanpa jeda, tanpa hati bagai gila lantaran ditelikung masa. Hidup kemudian adalah sumber bacaan yang tidak pernah habis dan bicara adalah produk dari berpikir, harus ada hela nafas yang menyempatkan pikiran mencerna tiap kata yang mau diucapkan, bagai sabda yang tanpa dosa begitu mungkin kiranya. Tidak apa bila kemudian menjadi lambat tapi setidaknya tidak akan ada yang menggores kecewa disetiap katanya.

Puncak dari setiap jeda dan hela adalah seuntai kalimat sarat makna, sepenggal ucapan sarat damai. Keduanya tidak nihil dalam manfaat, bila tidak dalam waktu dekat, mungkin nanti atau mungkin kini di babak kehidupan orang lain, tanpa kita tahu waktu karena tidak mungkin menunggu selalu untuk tahu hidup orang lain. Aku belajar bertanggung jawab atas hidup ku melalui jeda dan hela, agar kalimat dan ucapan menjadi terjaga. Supaya ada kesan baik ditiap perkenalan, bertambah kabar berguna dan menuntun hati menjadi lebih menghormati.

Bukan sekali dua aku naik pitam dengan mereka yang berhasil membuatku menunggu sesuai janji. Tapi aku kesulitan mencari cara agar darah yang sudah terlanjur naik ini dapat keluar dengan hela berjeda sehingga cukup mulut saja yang berbicara tanpa mata yang mendelik, tangan yang mengancam atau rona yang memasam. Mungkin dengan mengambil jeda hidup tadi aku bisa memaklumi, lalu belajar pula memaklumi diri sendiri berlaku bagai mereka, dan aku coba ungkap melalui sektsa dan untaian kalimat berjeda yang dibaca dengan hela.

P.S:
----
Gambar diambil dari sini, via google.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja