Menilik Ongkos Demokrasi


Sudah 10 tahun lebih berlalu sejak rezim orde baru, otoritarianisme, hengkang dari tatanan kehidupan politik negeri ini, dan kala itu demokrasi lahir menjadi sistem baru yang dianggap paling tepat sebagai lokomotif menuju kemajuan dan perbaikan. Pertanyaanya sudah sampai mana kemajuan tersebut serta perbaikan yang dilakukannya? Laiknya lokomotif yang memerlukan bahan bakar, begitu pula demokrasi membutuhkan biaya. Berapa besar?

Demokrasi memakan biaya dalam penerapannya, baik secara ekonomi atau atau non-ekonomi, dalam sistem demokrasi sudah pasti biaya yang dikeluarkan tidak sedikit untuk memfasilitasi aspirasi banyak pihak melalui pemilihan umum (Pemilu). Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi dan 349 kabupaten (data dari sini) tentu saja setiap periode tertentu harus menyelenggarakan pemilu dari berbagai level ini, sebut saja pemilihan anggota DPR/DPRD/DPD, pemilihan Kepala Daerah level Gubernur atau Bupati (Pilkada) serta Pemilihan Kepala Negara.
Semakin berat jadinya beban APBN/D, apalagi dengan wacana penambahan pejabat Wakil Menteri bersamaan dengan reshuffle Kabinet Indonesia bersatu Jilid II, semakin pening kepala Menteri Keuangan mencari uang.

Tapi setidaknya sistem ini lebih baik jika dibandingkan dengan sistem diktator yang mengekang kebebasan bersuara atau sistem korporatokrasi yang menguntungkan para pemodal yang memiliki agenda pribadi. Karena hanya dengan Demokrasi setiap orang berhak untuk menjadi presiden, berhak untuk memilih secara langsung serta berhak untuk beraspirasi atas jaminan kehidupan yang aman dan adil. Tapi bukan berarti bahwa Demokrasi adalah sistem yang terbaik didunia. Karena sejarah telah mencatat sistem Khalifah di jaman kala itu telah membuat kehidupan jazirah Arab lebih bersinar.

Sejauh mana negara kita bergerak dari titik start 10 tahun silam? Miris mendengar pendapat seorang anggota DPR-RI (lupa namanya) bahwa wajar negara kita sekarang dilanda carut marut yang kompleks sekarang ini, karena kita sedang berada dalam masa transisi. 10 Tahun masih belum bergerak juga dari masa transisi? Lalu kira-kira berapa lama normalnya sebuah masa transisi itu? Kemajuan secara peradaban mungkin hanya dirasa olah kaum ekonomi menengah keatas, namun kemajuan dalam konteks perbaikan tingkat kesejahteraan bagi kaum marginal masih patut dipertanyakan.

Mungkin yang jadi stressing point disini bukan sistemnya tapi siapa yang ada didalam sistem itu dan bagaimana mereka menjalankannya, bisa jadi sebagian mereka yang kini duduk di pemerintahan adalah mereka yang terpilih dengan sokongan dana kampanye dari pihak yang memiliki kepentingan pribadi, sehingga ada semacam politik balas budi dalam konteks negatif yang terjadi kemudian serta berbuntut panjang, dan fakta yang harus kita terima adalah bahwa Demokrasi di negara kita telah melahirkan pembuat keputusan yang poltical will nya masih abu-abu antara membela kepentingan rakyat dengan kepentingan golongan.

P.S:
----
Gambar diambil dari sini, melalui google.

Comments

  1. Demokrasi memang memerlukan ongkos yang mahal,nyatanya wakil rakyat yang ada sekarang adalah kebanyakan mereka yang berduit, kemampuan otak itu urusan kedua. makanya ndak heran kalau yg ada dipikiran mereka bukan bagaimana cara mensejahterakan rakyat, tapi bagaimana mengembalikan "modal" yang sudah mereka habiskan agar membuat mereka terpilih dulu :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja