Elastisitas Warteg Kampus


Bagi sebagian kalangan mahasiswa, keberadaan warung makan sangat penting, ini menjawab mengapa warteg/warnas begitu menjamur dilingkungan kampus, termasuk dikampus ku kini, STAN. Dari gerbang masuk sampai gerbang keluar mungkin ada puluhan warteg dan aku senang sebagian besar dari mereka sudah pernah aku sambangi, semacam wisata kuliner. Bagi para pengusaha warteg sendiri tentu saja ini adalah prospek cerah dan menjanjikan atau setidaknya memberikan return of investment yang cukup tinggi bila dikelola dengan baik dalam banyak aspek.

Aku tidak sedang menawarkan proposal bisnis atau tawaran kerja sama, melainkan untuk mengutarakan sebuah pandangan pribadi tentang bagaimana pengusaha harus dapat berhati- hati dalam mendirikan usaha ini mulai dari awal sampai kontinuitasnya kedepan. Modal yang ditanamkan dalam pendirian tentu saja harus dikembalikan dalam sebuah target tertanggal dengan besaran yang mampu menutup operasionalnya dan selebihnya menjadi laba pribadi dan sebagian lagi di reinvestasi, tapi sebaiknya target tersebut harus ditetapkan dengan wajar yang ditentukan melalui harga jual dalam satuan piring dengan lauk pauknya.

Makanan, bagi kalangan mahasiswa adalah suatu kebutuhan utama yang sifatnya sangat sensitif dengan perubahan harga, itu menjelaskan mengapa suatu warteg begitu ramai di masa promosi karena menawarkan harga promo yang menyenangkan. Sensitifitas ini menjadi tanda sifat elastis makanan yang kalau kita lihat dalam kurva elastisitas harga permintaan akan menggambarkan kondisi yang landai (seperti lengkungan dalam huruf 'e'), bukan tidak mungkin kenaikan seribu rupiah dalam tiap lauk pauk dengan sepiring nasi dan secangkir es teh manis dapat menurunkan 50% dari jumlah porsi yang terjual dan para mahasiswa berpaling ke warteg yang lebih murah. Sebab kondisi pasaran warteg bukan pasar monopolistis, tapi pasar sempurna dengan banyak penjual dan pembeli.

Dari sini jelas bahwa jika suatu warteg hendak mengukur pencapaian target, maka itu adalah hasil perkalian jumlah porsi dan harga satuannya, dalam proses menuju kesana konsep yang harus ditanamkan adalah peningkatan harga dapat mengurangi pendapatan karena akan terjadi penurunan jumlah pembeli (Q) secara signifikan dan dalam ukuran proporsional akan lebih besar daripada kenaikan harga (P). Dimana (P/Q;2) kondisi setelah kenaikan dan (P/Q;1) adalah kondisi semula sebelum kenaikan. Akibatnya:
P2 x Q2 < P1 X Q1

Pilihan untuk menaikkan harga diatas harga rata-rata harga pasar (warteg lain) bukan pilihan yang tepat sebaiknya diambil, bahkan jika memang terdapat modal lebih dan berani berinovasi, lebih baik dicoba menurunkan harga diatas harga pasar, karena dapat menarik pembeli dan peningkatan jumlahnya secara proporsional akan lebih besar daripada penurunan harga yang dilakukan. Sehingga:
P2 x Q2 > P1 X Q1


Mungkin ini adalah sebuah pertimbangan sederhana namun ekonomis dalam mengambil langkah awal bagi para pengusaha warteg untuk memulai usaha dilingkungan kampus manapun, tapi kalau ada peraturan baru dalam perpajakan mengenai warteg mungkin ceritanya akan agak sedikit lain (terakhir jika berpenghasilan di atas Rp60 juta saja itupun harus dikaji dulu kebenaran omzetnya), tapi semoga saja pemerintah punya kebijaksanaan tersendiri dalam mengenai pajak atas warteg, sebab warteg adalah sektor riil yang menggeliat pelan tapi pasti. Sepasti mahasiswa yang membutuhkan kehadiran warteg di lingkungan kampus.

P.S:
-----
Gambar diambil dari sini, melalui google.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja