Menjadi Berilmu dan Terpelajar?


Dalam catatan harian Gie, begitu lulus SMA: 'Sekolah SMA baru saja selesai, semua kenangan manis terbayang kembali, dan aku sadar bahwa semuanya akan dan harus berlalu, ada perasaan sayang akan kenangan kenangan tadi, aku seolah-oleh takut menghadap ke muka dan berhadapan dengan masa kini dan masa lampau terasa nikmatnya, tetapi aku mempunyai kesadaran yang teguh banwa let the dead be dead...'

Bukan kebetulan jika malam ini aku ingat sepenggal isi diari Gie mengenai kelulusan sekolah, saat postingan ini ditulis mungkin gegap gempita perhelatan yang digelar para mahasiswa di gerbang utama dekat lapangan depan kampus belum usai. Mereka bersukacita karena akhirnya menamatkan 3 tahun masa kuliah. Tamat dan menjadi Alumni. Lebih jauh lagi, besok pagi mereka sudah bangun dengan tanggung jawab baru menjadi sebagai akademisi, terpelajar dan terdidik. Lalu janji Tuhan pun terkabul untuk mereka, derajat mereka ditinggikan karena ilmu yang mereka miliki.

Tapi lulus saja bukan akhir cerita, justru baru saja dimulai dengan peran yang lebih berat, sebagai kaum berilmu, seperti layaknya Sarjana dengan segala gelar keilmuan. Aku sendiri masih harus bersabar untuk menapaki jalan cita menjadi Sarjana, masih panjang dan berliku. Maklum, konsekuensi hidup sebagai Birokrat. Aku usahakan agar mensukuri dan menikmati saja.

Namun belakangan aku mulai berpikir mengenai Karya. Karya dari para kaum terpelajar yang sudah dinyatakan lulus dari institusi pendidikan, entah Karya Tulis, Skripsi, Tesis atau Disertasi. Karya tersebut ibarat sebuah master piece dari seorang terpelajar yang menunjukkan bahwa hidupnya yang berilmu itu bermanfaat, namun kebermanfaatan yang diharapkan disini adalah sebuah kesinambungan yang bukan sekedar mencari status atau mencapai kata LULUS. Karena ilmu yang telah lampau akan usang dan berganti, mau tidak mau, suka tidak suka.

Kelulusan seperti langkah awal untuk terus berkarya, sekecil apapun manfaatnya bahkan walau untuk diri sendiri terlebih dahulu sekalipun, karena setidaknya dengan membuat suatu karya maka seseorang telah memenuhi panggilan prinsip sejati mengenai pendidikan yaitu belajar walau sudah lepas dari lingkungan akademisnya dan menuangkan hasil pembelajarannya dalam bentuk karya yang bermanfaat. Sehingga pola ini membebaskan diri dari semacam pragmatisme pendidikan yang hanya semata untuk mencari ijazah dan pekerjaan. Sikap enggan menjadi never-ending learning lambat laun dapat menciderai citra pendidikan dimata awam, yang bisa membuat banyak orang berpikir untuk apa berpendidikan tinggi jika nanti dimasyarakat tidak ada bedanya dengan mereka yang kurang beruntung tidak bisa merasainya.

Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas disegala arus arus masyarakat yang kacau, tetapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya, yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya apabila keadaan telah mendesak, kaum intelejensia yang terus berdiam ketika keadaan mendesak telah melunturkan semua kemanusiaa, ketika Hitler mulai membuas maka kelompok xxxxx berkata tidak, mereka punya keberanian untuk berkata tidak, mereka walaupun masih muda berani menentang geng-geng pemimpin bajingan, rezim NAZI, bahwa mereka mati itu bukan soal, mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir, tiada indahnya penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran....


Lagi-lagi itu adalah sepenggal perkataan Gie di filem Gie yang menggambarkan peran ideal kaum terdidik dalam fungsi sosialnya di masyarakat. Sebuah keadaan didalamnya memang sudah tidak relevan namun hikmahnya bisa dapat diadopsi tanpa batasan zaman dan waktu, tergantung telinga hati, mampukah memenuhi panggilan seorang pemikir? agar berkarya dan memastikan bahwa hidupnya bermanfaat bagi umat, meski tahu pragmatisme mengiming-imingi insentif yang sebetulnya ditentang kata hati bagi mereka yang bernurani. Mari berkarya. Mari bermanfaat seperti pesan sang Nabi.

Comments

  1. aduh gmn ksh komen yg budiman ya? yg jelas, :a:

    pacu terus kak pendidikanny, aku be nak ngejer s1, kabur2an. kl bs lanjut s2. birokrat bukan masalah. saatnya ilmu mengubah manusia dan lingkungannya! :8:

    ReplyDelete
  2. @anonim: sayang komentar motivasionalnya atas nama anonim, tapi terima kasih sudah berkunjung dan komentarnya ya. Ya insyaALLAH pilihan saya memang kesana, saling mendoakan ya. Ya memang birokrasi dikantor agak beda2, kl dikantor saya justru untuk melanjutkan kuliah ke beasiswa kedinasan bahkan lebih sulit karena harus menunggu 2 tahun semenjak pendidikan kedinasan yang terakhir.

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Touring Palembang- Baturaja