5 Hal Kecil yang Patut Diketahui Sebelum Kita (Mungkin) Bersikap Malas Membayar Pajak

Siapa sih yang ikhlas bayar pajak di dunia ini? none! termasuk juga teman- teman sekalian tentunya but i hope i am wrong :). Bayangkan saja, setelah teman- teman banting tulang, kebahagiaan langsung pupus dalam hitungan detik begitu melihat telah tertulis di slip gaji dengan rapi dan cantik bahwa terdapat potongan untuk pajak. Kebahagiaan langsung berganti duka diiringi ucapan getir: "yahh.. gede amat ya pajaknya :( " Dalam kasus tertentu kegetiran ini biasanya akan tersimpan cukup lama lalu larut dan mengkristal jadi sikap sentimen dan antipati terhadap apapun yang berhubungan dengan pajak. Berangkat dari situ, tulisan ini penulis buat untuk mengajak teman- teman melihat dengan lebih dekat mengenai dunia pajak. Supaya jangan sampai termakan provokasi barisan sakit hati yang dengan alasan kebebasan berpendapat memilih langkah untuk melakukan aksi tolak bayar pajak.

Well, without any further delay, ini nih beberapa poin mengapa kita harus belajar legowo ketika membayar pajak dan mengapa kita harus menjadi lebih proaktif dalam berurusan dengan pajak.

1. PDB Agregat Luar Biasa, PDB Per Capita Nelangsa

Per April 2012. IMF dalam sebuah World Economic Outlook Database menyampaikan bahwa PDB Indonesia adalah tertinggi di ASEAN mencapai angka 928,3 Milliar Dollar AS. Namun dengan kurang lebih jumlah penduduk 240 Juta maka didapatlah angka PDB per Capita pada angka 3.797 Dollar AS. Masih jauh dibawah Singapura, Brunai, Malaysia dan angka tersebut hanya berkisar sebesar -0,42% dari neraca berjalan (perdagangan dan pembayaran). Lalu apa hubungannya dengan pajak? Mari kita kembali ke rumus dasar pendapatan pemerintah:

Y = C + G + I + (Exp - Imp)

G, Government Spending, adalah belanja pemerintah yang secara ringkas bisa teman- teman lihat di ikhtisar APBN. Sambil ngopi kalau bergadang supaya tidak mengantuk, bolehlah disempatkan ngulik- ngulik angka di akun belanja pemerintah. :) Secara detil, proporsi belanja sudah disusun sesuai dengan jatah masing- masing unit pemakai anggaran. Di tiap unit ini nanti bakal dibuat kebijakan untuk menyerap anggaran (that is whay we call it Government Spending). Kebijakan ini yang harus berorientasi produktif (prinsipnya sama seperti Investment) supaya Return of Investment bisa bermanfaat jangka panjang.

Nilai G ini sangat bergantung pada besaran setoran pajak dari kita semua, jadi jangan harap pemerintah mampu melaksanakan program pembangunan yang optimal bila setoran pajak yang masuk sebagai modal pembangunan belum maksimal. Hasil akhir dari kegiatan tiap unit ini berdampak dalam penciptaan iklim investasi (I) dan dinamisnya perdagangan para pelaku usaha dalam negeri (T= Exp- Imp). Singkatnya nilai PDB Agregat (Y) kita artinya harus bisa jauh lebih tinggi lagi agar PDB Per Capita bisa menembus angka wajar. Jadi sebagai negara berkembang yang penerimaan negara 80% bergantung pada pajak, maka aspek G yang mampu memberi butterfly effect harus dioptimalkan.

2. APBN Masih Dibebani dengan Hutang dan Bunga

Tidak ada yang salah dengan hutang, ia adalah alternatif sumber pendanaan, namun keputusan untuk berhutang harus diambil melalui pembahasan panjang dan komprehensif seputar hal pemanfaatan, output, schedule pembayaran dan pengawasan penggunaan dana hutang. Jika hutang hanya digunakan untuk tujuan konsumtif atau untuk sekedar menutup defisit APBN maka taruhannya adalah kedaulatan bangsa di mata dunia.

Hingga tahun ini, total hutang negara kita adalah Rp. 1.937 T. Dengan rencana penerimaan dari pajak sebesar Rp. 1.017 T tahun 2012, maka bisa dipastikan bahwa sebagian dari uang pajak yang masuk diserap untuk pembayaran hutang di schedule tahun ini, ditambah bunga. Jadi, berbicara dalam konteks 'Pajak untuk Pembangunan Bangsa', hal itu merupakan cita- cita mulia yang bisa diwujudkan dengan optimal tercapai kalau semua total uang pajak digunakan untuk pembangunan. Masalahnya kondisi utang negara yang ada tidak bisa dibiarkan, dan kita tidak bisa dilenakan dengan manisnya angka pertumbuhan yang mencapai 6,3% karena kondisi di masa depan penuh fluktuasi.

Percepatan pembangunan secara riil dan mandiri bisa kita kejar dengan mengusahakan pembayaran hutang agar above schedule. Untuk itu dibutuhkan kesadaran dari semua pihak supaya mau membayar pajak dengan harapan kian tinggi pendapatan negara dari pajak, kian cepat kita mampu melunasi hutang dan kian cepat pula kita menjadi bangsa yang mandiri. Seperti yang penulis sampaikan bahwa berhutang secara tidak efektif hanya membuat this nation's sovereignity is at the stake.

Terlebih lagi, bila terjebak dalam Hutang maka itu adalah bentuk imperialisme modern dalam sudut pandang ilmu Hubungan Internasional, Merah Putih terpaksa akan turun dalam pergaulan bangsa di dunia. Karena malu terus hidup dari hutang. Jadi jangan biarkan Merah putih kita turun, tapi mari sebaiknya kita turunkan hal-hal yang membuat Merah Putih terancam turun, yaitu hutang. Seribu Trilyun belum cukup menjadikan Indonesia mandiri, karena sebetulnya kita mampu mencapai angka kontribusi pajak yang jauh lebih tinggi, Penasaran? that is what i want to tell you guys!

3. Kesadaran Bangsa akan Pajak masih minim

Tidak percaya?? Statistically speaking, ada 240 Juta penduduk Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan ada berapa jumlah penduduk yang sudah memiliki NPWP? Tidak lebih dari 22 Juta saja (Per April 2012). Padahal kalau kita ambil ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 2 Juta/bulan atau Rp 24 Jt/ tahun maka seharusnya jumlah penduduk ber NPWP bisa lebih dari itu. Mengapa? Karena dengan asumsi untuk tidak digolongkan sebagai orang miskin adalah berpenghasilan dibawah atau sama dengan Rp 6,12 Jt/tahun (standar Bank Dunia), disandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Indonesia sekitar Rp 30,72 Juta/tahun (data tahun 2011). Maka ada begitu banyak penduduk yang layak ber-NPWP namun belum terjaring. Another phatetic fact about this individual taxpayer adalah bahwa mereka menanggung kontribusi sekitar Rp 200 Trilyun (data tahun 2011) bagi seluruh pembangunan yang dinikmati 240 Juta penduduk negeri ini.

Sedangkan untuk pajak perusahaan (badan) yang disinyalir oleh Dirjen Pajak Fuad Rahmani bahwa ada 12 Juta perusahaan di Indonesia namun hanya 500 Ribu perusahaan yang memiliki NPWP dan patuh membayar pajak, jadi 12 Juta perusahaan ini menggantungkan diri (tepatnya menjadi benalu atau free rider) dari sarana pembangunan yang didanai pajak oleh 500 Ribu perusahaan tersebut. Dimana dari jumlah 500 Ribu tadi hanya 20% yang secara proporsi telah menyumbang 400 Trilyun penerimaan pajak. Padahal potensi penerimaan bisa diharapkan muncul dari 12 Juta perusahaan tersebut namun ternyata kepatuhan dan kesadaran tidak berbanding lurus dengan harapan.

What's the point? Yap, kesadaran adalah permasalahan kita bersama, bermula dari ketidaksenangan karena potongan pajak dan kurangnya pemahaman tentang pajak itu sendiri sampai fakta huru hara panggung politik, tindak korupsi hingga kacau balau pembangunan yang kita lihat makin membuat sisi egoisme kita makin trengginas dengan dalih: 'ngapain gw bayar pajak, negeri ini masih gini- gini juga! Kemana uang pajak yang gw bayar???!'

4. Uang Pajak Kita Kemana? Masuk Kas Negara Lalu Dibagikan ke Instansi Pemerintah!

Sounds too trivial to tell! Tapi, banyak dari kita yang masih menyimpan gambaran bahwa setiap kali datang ke kantor pajak adalah untuk membayar pajak, yang benar sebetulnya adalah mengurus kelengkapan administrasi seputar perpajakan, adapun urusan membayar pajak, itu bukan di kantor pajak tempatnya, namun di Bank atau Kantor Pos. Dan bukan juga di petugas pajak! Dari keduanya, uang pembayaran pajak kita akan disetor ke rekening umum negara di Bank Indonesia yang dipegang oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). Uang yang sudah masuk inilah yang nantinya akan dibagi- bagikan sesuai kebutuhan negara yang terinci kedalam APBN setiap tahun kepada masing- masing unit atau instansi pemerintah yang membutuhkan. Jadi salah alamat bila bertanya ke kantor pajak, pertanyaan ini: 'kemana saja uang pajak kami?’.

Nah, kepada unit/instansi pengguna anggaran inilah amanah untuk membangun negeri ini sesuai dengan bidang masing- masing ditumpukan. Kita sebagai warga negara, berhak untuk mengawasi penggunaan uang negara ini, sesuai dengan prinsip bahwa pajak itu kita lunasi kewajiban kita dan kita awasi penggunaanya. Peran proaktif kita yang akan turut menentukan efektivitas penggunaan uang pajak ini. Jadi sederhananya kini sikap menyerahkan semua urusan pembangunan kepada pemerintah sudah kurang relevan dipakai, karena tuntutan era transparansi memungkinkan kita berperan sebagai pengawas sekaligus penikmat pembangunan. Kemudian teman- teman mungkin bertanya- bertanya, secara konkretnya bagaimana kita bisa berperan menjadi pengawas itu? Apa saluran pelaksanaannya?? Tenang.. let us take a deep breath! Dan mari kita menyesap wangi kopi di malam ini...

5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Whistle Blowing System (WBS) Direktorat Jenderal Pajak

‘Whistle Blowing System? UFO raksasa dari galaksi mana itu?! Dan lantas apa hubungannya dengan KPK?’ Rekan sekalian, Direktorat Jenderal Pajak yang diberi amanah mengumpulkan penerimaan negara dari pajak adalah gerbang terdepan dimana korupsi rentan terjadi. Mulai dari perilaku oknum petugas yang tidak berintegritas sampai godaan yang paling menggoda berujung ‘kongkalikong’ dari wajib pajak nakal merupakan celah paling lazim yang membidani lahirnya tindakan yang merugikan negara. Mengapa penulis katakan merugikan negara? Karena jelas kedua tindakan ini menyebabkan negara kehilangan sejumlah potensi atau sama sekali seluruhnya penerimaan pajak. Dalam upaya untuk menimalisir kenistaan ini maka ‘Ditjen Pajak featuring KPK’ atau ‘KPK featuring Ditjen Pajak’ membuka saluran pengaduan dari siapapun untuk tanpa segan melaporkan tindakan korupsi yang diketahui.

Ditjen Pajak sendiri bisa dikatakan mengambil sikap ‘berani mati’ dengan menerapkan WBS, karena secara tidak langsung akan membuka perilaku buruk dari para oknum nya sendiri yang menggerogoti dari dalam upaya membersihkan diri dari korupsi. Efeknya jelas, berkali- kali beberapa oknum tertangkap, maka berjuta kali Ditjen Pajak akan menerima cercaan dari masyarakat yang belum mampu melihat sisi positif kebijakan ini. Apalagi memang yang tampil sebagai sherif dalam setiap drama penangkapan adalah KPK bukan Ditjen Pajak. Ditjen Pajak berperan menerima laporan melalui mekanisme WBS lalu menindaklanjuti, mengawasi, memata- matai oknum yang dilaporkan lalu mencari celah untuk menangkap lewat kerja sama dengan KPK yang diberi kewenangan untuk menyadap saluran telekomunikasi untuk memudahkan pengintaian.

Well, kadang hal ini makin membuat Ditjen Pajak makin seperti tidak bisa dipercaya, bahkan seperti diambang kehancuran, namun penulis meyakini bahwa sometimes, ruin is a compulsory part to do a great transformation. Maka dari itu, tidak heran bila sudah beberapa oknum petugas pajak yang tertangkap tangan oleh KPK tengah bertransaksi dengan oknum wajib pajak nakal, apapun modus dan latar belakangnya. Sehingga penulis berharap agar teman- teman tidak bersikap skeptis melihat maraknya penangkapan oknum petugas pajak yang berprilaku ‘nakal’ sehingga patut disekolahkan di hotel prodeo. Lebih lanjut penulis harap agar teman- teman semua tidak terprovokasi masuk barisan sakit hati.

Hmmhhh... kadang kalau dipikirkan kembali urusan pajak ini demikian kompleks, lebih kompleks dari motif batik pekalongan atau labirin sarang semut sekalipun, tapi mau tidak mau kompleksitas yang ada ini harus dihadapi dan diuraikan supaya menjadi lurus dan berjalan sebagai sistem dan iklim yang kondusif untuk kemajuan jangka panjang... dan yakin saja bahwa kelak nanti suatu saat kita akan berdiri sejajar dengan negara maju yang sejahtera, dan memang tampaknya kini kita memang kian dekat ke kondisi tersebut terlihat dari keberanian dan kestabilan makro negara kita ketika kini menyertakan modal lewat pembelian obligasi 1 Milyar Dollar AS kepada IMF, walau mungkin kelak ketika negeri ini bertumbuh besar saat itu sudah berganti generasi baru... this is all about hope as the best thing which will never die...

Salam
Ebas

Comments

  1. Terimakasih informasi nya gan, sangat bermanfaat :)
    ditunggu kunjungan baliknya yaah ,

    ReplyDelete
  2. @OAM: terima kasih sudah berkunjung, barusan saya visit ke alamat situ :)

    ReplyDelete
  3. ikut nyimak gan ..
    menyadarkan kita untuk taat bayar pajak . itu sangat bermanfaat sekali ..

    ReplyDelete
  4. pengawasan terhadap pegawai pajak harus lebih diperketat agar tidak ada kebocoran

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja