Mengurai Benang Kusut Utang Indonesia

Negara kita sudah sejak lama 'hidup dari' hutang, di awal Juli 2012 ini jumlah hutang kita (jumlah antara pokok hutang dan bunga) mencapai Rp 1.937 T adapun dengan target penerimaan pajak sebesar Rp 1.017 T, maka dengan asumsi 100% rencana penerimaan itu tercapai, maka jumlah ini belum mampu menjadikan negara kita sebagai negara mandiri secara finansial ekonomi. Riil nya setiap 230 juta jiwa penduduk Indonesia dibebani hutang sekitar Rp 8Jt/orang, bahkan seorang bayi yang baru lahir sekalipun.

Dengan posisi hutang sebesar itu setara dengan porsi hampir 25% lebih total PDB atau dengan total rencana pendapatan negara sebesar Rp 1.292.052 M sebagaimana ditetapkan dalam APBN P 2012 maka jumlah total hutang sudah mencapai 150%, jauh diatas ambang batas kemampuan Indonesia memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu perihal hutang perlu mendapat prioritas dalam penanganan dan pengelolaannya, di negara kita kedua hal ini menjadi tugas pokok Kementerian Keuangan Ditjen Pengelolaan Utang.

Pengelolaan Hutang ini tercermin dalam perumusan schedule pembayaran hutang yang di susun sesuai dengan perhitungan menurut jangka waktu sehingga pembayaran hutang dapat di ukur statusnya dalam tiga kelompok yaitu: above schedule, under schedule dan on schedule. Baik untuk pelunasan pokok ataupun bunga nya. Dengan mekanisme seperti ini maka hutang dalam jumlah besar akan dilunasi dalam jangka waktu puluhan tahun lamanya sesuai kesepakatan antara kita sebagai debitur dengan pihak kreditur.

Tidak ada yang salah dengan mekanisme penanganan seperti ini, tetapi yang muncul sebagai polemik kemudian adalah mengenai kemunculan hutang tersebut dan jumlahnya yang cenderung bertambah dari waktu ke waktu.

Ada semacam pameo bahwa kita berhutang untuk menutupi defisit anggaran dan didalam APBN unsur pinjaman dicatat sebagai poin pembiayaan. Ada dua kesalahan disitu, pertama yaitu alasan munculnya pinjaman yang dilatar belakangi defisit anggaran, ini tidak sesuai dengan tujuan pembangunan dan makin membuat negara kita tidak mandiri. Pinjaman sebaiknya hanya diterima jika digunakan untuk kepentingan pembangunan, atau pinjaman proyek yang dapat memberikan nilai tambah dikemudian hari sehingga dapat membantu melunasi hutang itu kelak, atau multiplier effect namanya.

Pola penerimaan pinjaman seperti ini bisa dilihat didalam data pokok RAPBN 2012 dimana defisit anggaran dari pendapatan dan belanja mencapai Rp. 125.620 M dan ini langsung ditutup dengan unsur pembiayaan baik dalam dan luar negeri sebesar jumlah yang sama. Sehingga jelas posisi hutang digunakan sebagai alat untuk menutup defisit, bukan suatu hal yang terencana dalam konteks rencana pembangunan nasional. Kesalahan berikutnya adalah mencatat hutang untuk sebagai pembiayaan didalam APBN, walau ini lebih baik dibanding dulu di era Orde Baru dimana hutang dicatat sebagai penerimaan negara. Ya, 32 tahun kita telah dibohongi.

Menggolongkan hutang sebagai pembiayaan tidak membuat APBN terbebani secara numerik dan riil bahkan ini tidak jauh berbeda dengan menganggap pembiayaan ini sebagai aspek lain dari pendapatan negara bukan pajak. APBN terlihat seperti seimbang atau pas karena adanya pos pembiayaan ini yang sejatinya adalah hutang. Mungkin lebih baik jika dibiarkan nilai defisit dipaparkan apa adanya. Dan setelah pertimbangan yang matang dan terencana maka diterangkan pos pinjaman dari pihak ketiga, tanpa harus 'ngotot' membuat APBN seimbang. Sebab pinjaman sedikit yang matang pengelolaan dan pemanfaatanya lebih baik daripada pinjaman banyak untuk tujuan menutup defisit tapi dengan pemanfaatan yang tidak terkendali dan tidak terawasi dengan baik.

Kemelut hutang sangat berpotensi mengganggu kedaulatan bangsa, seperti apa yang terjadi di krisis Eropa khususnya Greek, Poland, Ireland dan Spain. Jika kita hendak selamat dari bahaya hutang yang tidak terkendali maka ada beberapa alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan, yaitu: 1) Penataan ulang alasan dan tujuan peminjaman hutang, dengan alasan kemandirian maka tidak semua tawaran kreditur harus diterima, semua dikembalikan kepada kepentingan dan urgensi serta manfaat pinjaman itu untuk kedaulatan bangsa. 2) Pengajuan moratorium sepenuhnya utang pada pihak kreditur, jika memang sudah tidak mampu lagi melunasi dan 3) Menata ulang jadwal pembayaran hutang disesuaikan dengan kemampuan membayar yang dimiliki secara riil.

Hutang bukanlah aib bagi sebuah pembangunan bangsa, jika memang diperlukan maka hutang bisa menjadi salah satu alternatif sumber dana dan ini tentunya setelah melewati proses pembahasan yang komprehensif mengenai pemanfaatan, kemampuan membayar dan tujuan penggunaan dana dari hutang itu nantinya, terutama sekali diperuntukkan untuk proyek yang memberi multiplier effect secara jangka panjang. Sehingga ketika tingkat penyerapan dana dari hutang tinggi itu pertanda bahwa pembangunan berjalan sesuai rencana dan hasil yang didapat bisa diharapkan untuk membantu membayar pokok dan bunga hutang itu nantinya tanpa harus menjadikan kita terjebak dalam siklus gali lobang tutup lobang.

Erikson Wijaya
Awal Juli 2012
Life must go on...

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja