Perjalanan Liberalisme Kapitalisme Ekonomi di Indonesia.

Liberalisme kapitalisme ekonomi sudah lama masuk dan eksis di dalam negeri ini. Mungkin sebagian dari kita mengira bahwa mereka mulai menyusup masuk dengan rapi ketika kita sudah berdaulat secara dejure sebagai satu negara di tahun 1945. Tetapi memang seperti ungkapan bahwa sejarah bisa saja berulang, karena sebetulnya sistem ini sudah mulai hadir dalam negeri kita jauh sebelum kita merdeka, yaitu ketika VOC baru saja hengkang dari Nusantara dan wilayah yang dikuasai VOC (yang entah bagaimana caranya menjadi legal) diserahkan kepada pemerintah Belanda.

Belanda kala itu sedang kolaps secara ekonomi dan politik di kancah Eropa, sehingga pengawasan wilayah yang semula dikontrol VOC ditangani langsung oleh pegawai Belanda bernama Van den Bosch yang kala itu ditunjuk langsung sebagai Gubernur Jenderal untuk wilayah nusantara. Di masa keberadaan Bosch, kebijakan kejam kepada penduduk pribumi diterapkan dan sangat jelas berasas eksploitatif untuk kepentingan menyelamatkan ekonomi Belanda. Yaitu menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diiringi dengan pemajakan tinggi atas hasil bumi dan pemanfaatan lahan.

Kebijakan ini sukses mendulang Gulden yang diisikan ke kantong kas Belanda, namun menyisakan pemandangan tentang penindasan, penjajahan atas kemanusiaan di Indonesia. Cukup lama kebijakan dan sistem penindasan dan eksploitasi ini berlangsung, pemerintah Belanda turun langsung dengan campur tangan penuh. Kondisi ini menyebabkan kejengahan di kalangan nusantara terhadap ekonomi yang total ditangani pemerintah kolonial. Perlawanan pun muncul tidak hanya dari dalam tapi juga dari luar nusantara yang menyaksikan penindasan oleh pemerintah terutama setelah tulisan Douwes Dekker (Multatuli) terbit yang berjudul Max Havelaar.

Hingga kemudian, era sistem Tanam Paksa usai berganti dengan sistem ekonomi tanpa campur tangan pemerintah, murni dibiarkan berjalan dengan mekanisme pasar (inilah kali pertama liberalisme kapitalisme ekonomi masuk menelusup sebagai bagian sistem perekonomian dalam negeri). Namun, paham liberal- kapitalis yang masuk adalah bercorak barat karena kala itu banyak investor dari barat yang sudah mengenal Indonesia (kala itu bernama Hindia Belanda) sebagai lahan potensial tujuan investasi. Di masa dekade awal sistem ini berjalan pertumbuhan ekonomi terbilang pesat, kemakmuran rakyat membaik. Tidak ada lagi penindasan secara fisik dan motif murni eksploitasi dalam setiap investasi menjadi lebih minimal.

Sistem ekonomi liberalisme kapitalisme cukup lama bercokol. Termasuk hingga ketika resesi ekonomi melanda dunia di tahun 1930an dan Indonesia terkena dampaknya, sebabnya adalah asas laissez-faire telah memungkinkan siapapun untuk berusaha dengan bebas untuk mencari keuntungan sebanyak- banyaknya termasuk salah satunya kegiatan ekspor impor dan optimalisasi lahan penanaman produk komoditi utama. Saat itu negara tujuan ekspor seperti Eropa dan terutama Amerika merupakan pusat resesi sementara banyak negara lainnya juga merasakan dampaknya, termasuk Indonesia. Karena ekspor menurun drastis, produksi pertanian merosot bahkan merugi. Sebab bagaimana pun pasar mengalami kelesuan.

Bila kemudian kini akhirnya kita menganut sistem perekonomian yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 (yang menurut pendapat saya cenderung sosialis walau dengan corak khas Nusantara). Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bukti lain bahwa indahnya sistem yang terkonsep dalam pasal tersebut tidak sepenuhnya teraplikasi dengan total sebagai pegangan sistem ekonomi kita karena justru hingga kini pun negara kita belum bisa lepas dari sistem liberalisme kapitalisme yang masih bertahan melalui agenda politik dan tekanan pihak korporatokrasi asing. Lemahnya kepemimpinan dalam menasionalisasikan semua aset atau sumber daya alam menjadi penghambat utama tidak terwujudnya sistem ekonomi yang diletakkan oleh Bung Hatta ini. Sehingga sejarah pun berulang, ketika kini krisis ekonomi melanda Eropa atau di tahun 2008 krisis Mortgage melanda Amerika, maka di Indonesia turut merasakan dampaknya.

Mau sampai kapan? Sudah cukup lama kita menjadi bangsa terjajah... Bila dulu penjajahan begitu terlihat sangat menindas, kini penindasan itu makin rapi dan terstruktur dan disaat yang sama ia tidak terlihat!

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja