Sekilas Antroposentrisme Lingkungan
Antroposentrisme. Istilah ini merujuk pada sebuah paham/keyakinan dimana manusia adalah pelaku utama kegiatan di semesta alam sekaligus pemiliknya, sehingga manusia adalah pusat dari semesta alam itu sendiri. Aku kira dinamisasi kehidupan di dunia ini dalam beberapa aspek telah lahir dari rahim paham ini. Liberalisme Kapitalisme tampak seperti turunan antroposentrisme dalam aspek ekonomi, ada banyak kesamaan persamaan sifat keduanya. Dalam Liberalisme Kapitalisme, manusia (pasar) diberi kebebasan sepenuhnya dalam mengatur mekanismenya sendiri, kebebasan yang penuh dan mutlak ini menuntun pada eksploitasi habis- habisan faktor- faktor ekonomi agar siklus tetap bisa berjalan.
Pemenuhan kebutuhan tersebut tidak diiringi secara baik dengan prinsip pelestarian alam dan toleransi lingkungan, eksploitasi total ini adalah cerminan sikap bahwa kebebasan yang dimiliki telah disalah artikan lebih jauh dalam arti kepemilikan. Bahwa manusia memiliki bumi ini beserta isinya untuk dieksploitasi demi memenuhi tuntutan sistem. Sampai akhirnya ketika sinyalemen negatif kehadiran bencana alam mulai tampak, maka dunia mulai disibukkan dengan berbagai konferensi tingkat tinggi membahas penyelamatan lingkungan, sebut saja Konferensi Rio De Janeiro yang menghasilkan konsep Ecogreen. Konferensi Perubahan Iklim di Bali (tindak lanjut dari Protokol Tokyo) yang membidani lahirnya Bali Plan Action dan Bali Roadmap serta konferensi di Durban Afrika Selatan yang membahas perihal pengurangan emisi karbon.
Bumi menyediakan banyak hal yang membuat kita masih bisa hidup. Biosfer nya yang terdiri dari Hidrosfer, Litosfer dan Atmosfer menjadi tempat banyak unsur kehidupan yang kita butuhkan. Namun permasalahannya adalah ketika semua unsur itu dikeruk sampai habis maka semua akan menjadi seperti kata pepatah lama dari suku Indian kuno yakni saat pohon terakhir ditebang, saat sungai terakhir mengering maka saat itu kita baru akan sadar bahwa uang tidak bisa dimakan. Kebebasan mutlak cenderung akan disetir kerakusan tak berkesudahan dari pihak yang berkepentingan, mereka adalah kaum korporatokrat yang masuk ke tiap belahan bumi yang kaya akan faktor- faktor ekonomi untuk kemudian dijamah dan dikeruk demi kepentingan pribadi tanpa menimbang soal pemeliharaan atau kontinuitas ketersediaannya.
Manusia bukanlah pemilik bumi namun hanya sebagai penerima titipan saja dari Tuhan sebagai bekal untuk bertahan hidup, singkatnya kita diberi hak untuk mengelola dan memanfaatkan agar kita bisa memenuhi kebutuhan dengan cukup bukan berlebih. Kenapa? karena kita perlu memikirkan nasib generasi mendatang, dan anggaplah bahwa bumi yang kita tempati ini kita peroleh dengan cara meminjam dari mereka untuk kita kelola dan bila tiba saatnya kita kembalikan, mereka akan menerima dalam kondisi yang sarat potensi dan manfaat, juga akan mengingat kita sebagai generasi yang bijak dalam mengelola titipan Tuhan. Bukan kaum antroposentris yang mengeskploitasi sampai habis.
Karena kita memang hanya dititipi, bukan diberi. Dan selain itu karena kita tidak memiliki tapi hanya dipinjami.
Pemenuhan kebutuhan tersebut tidak diiringi secara baik dengan prinsip pelestarian alam dan toleransi lingkungan, eksploitasi total ini adalah cerminan sikap bahwa kebebasan yang dimiliki telah disalah artikan lebih jauh dalam arti kepemilikan. Bahwa manusia memiliki bumi ini beserta isinya untuk dieksploitasi demi memenuhi tuntutan sistem. Sampai akhirnya ketika sinyalemen negatif kehadiran bencana alam mulai tampak, maka dunia mulai disibukkan dengan berbagai konferensi tingkat tinggi membahas penyelamatan lingkungan, sebut saja Konferensi Rio De Janeiro yang menghasilkan konsep Ecogreen. Konferensi Perubahan Iklim di Bali (tindak lanjut dari Protokol Tokyo) yang membidani lahirnya Bali Plan Action dan Bali Roadmap serta konferensi di Durban Afrika Selatan yang membahas perihal pengurangan emisi karbon.
Bumi menyediakan banyak hal yang membuat kita masih bisa hidup. Biosfer nya yang terdiri dari Hidrosfer, Litosfer dan Atmosfer menjadi tempat banyak unsur kehidupan yang kita butuhkan. Namun permasalahannya adalah ketika semua unsur itu dikeruk sampai habis maka semua akan menjadi seperti kata pepatah lama dari suku Indian kuno yakni saat pohon terakhir ditebang, saat sungai terakhir mengering maka saat itu kita baru akan sadar bahwa uang tidak bisa dimakan. Kebebasan mutlak cenderung akan disetir kerakusan tak berkesudahan dari pihak yang berkepentingan, mereka adalah kaum korporatokrat yang masuk ke tiap belahan bumi yang kaya akan faktor- faktor ekonomi untuk kemudian dijamah dan dikeruk demi kepentingan pribadi tanpa menimbang soal pemeliharaan atau kontinuitas ketersediaannya.
Manusia bukanlah pemilik bumi namun hanya sebagai penerima titipan saja dari Tuhan sebagai bekal untuk bertahan hidup, singkatnya kita diberi hak untuk mengelola dan memanfaatkan agar kita bisa memenuhi kebutuhan dengan cukup bukan berlebih. Kenapa? karena kita perlu memikirkan nasib generasi mendatang, dan anggaplah bahwa bumi yang kita tempati ini kita peroleh dengan cara meminjam dari mereka untuk kita kelola dan bila tiba saatnya kita kembalikan, mereka akan menerima dalam kondisi yang sarat potensi dan manfaat, juga akan mengingat kita sebagai generasi yang bijak dalam mengelola titipan Tuhan. Bukan kaum antroposentris yang mengeskploitasi sampai habis.
Karena kita memang hanya dititipi, bukan diberi. Dan selain itu karena kita tidak memiliki tapi hanya dipinjami.
berat x tulisanmu yg satu ini, :p
ReplyDelete