Merbabu: Bukan Sekedar Saja (II)


Tidak semua orang bisa menikmati setiap langkah pendakian yang ia jalani, aku pun butuh waktu dan tempaan pengalaman untuk bisa paham arti kegiatan 'mendaki gunung', ada tipe pendaki yang memaknainya sebagai keharusan untuk mencapai puncak. Puncak adalah harga mati, begitu kata mereka. Aku tahu seperti apa jadinya punya prinsip seperti itu. Namun ada juga yang beranggapan bahwa bagaimana proses panjang suatu pendakian mampu dilewati dengan tenang dan sabar, justru disitulah makna pendakian itu berada.

Kalau kata Sir Edmund Hillary. It is not the mountain we conquer, but our selves. Aku kini cenderung untuk menjadi tipe kedua saja. Lebih tenang dan menenangkan. Bukannya jadi seperti tanpa tujuan namun hanya agar lebih menikmati proses dan mematangkan emosi. Sekedar itu saja. OK, Kembali tentang Merbabu.

Pukul 13.30 WIB kami berlima mulai trekking dengan medan awalan berupa perkebunan penduduk sekitar 500 meter pertama dan masih cukup landai. Kentang dan Kol tampak tumbuh subur, mekar sangat indah. Sejurus kemudian kami sampai di Pos Bayangan I kira- kira bukul 13.50 WIB, Pos Bayangan I ini berupa lahan kosong yang sudah didirikan sebuah saung/pondok untuk istirahat. Perjalanan kami lanjutkan dengan jalur yang sudah begitu jelas namun makin menanjak, disisi kiri kanan jalur terdapat beberapa plang himbauan anti aksi Vandal.

Disini Bang Jainer (Jainer Hasudungan Silalahi) terkena kram cukup parah jadi kami istirahat sekitar 15 menit untuk melemaskan kaki beliau, saat itu sekitar hampir jam 15.00 WIB. Didepan kami tak jauh kemudian kami tiba di Pos Bayangan II, sebuah tanah lapang yang sempit namun tersedia bak penampung air yang sangat bermanfaat kalau lagi musim kemarau. Disini ada plang Larangan Merokok cukup besar, dan dari plang ini sekitar 500 meter bisa ditemukan sumber mata air. 5 menit kemudian kami lanjut.

Menjelang pukul 16.30 hujan mulai turun walau sedikit, dan kabut mulai merapat ke bumi membuat kondensasi air jatuh seperti hujan cukup deras namun berhubung angin juga makin kencang dan khawatir hujan, kami memutuskan pakai Jas Hujan, dan saat itu kami sudah tiba di Pos I. Sekitar hampir 7 menit istirahat kami kembali lanjut. Dan medan berganti menjadi makin menanjak dan lebih terbuka membuat tantangan lebih berat karena angin datang dengan kencang dari sisi berlawanan dan kabut mulai turun.

Sekitar jam 17.00 WIB lewat, angin makin kencang, udara makin dingin. Kaki Bang Jen kram lagi, jadinya kami sepakat agar Bange dan Oblok duluan saja supaya bisa cepat cari tempat dan mendirikan tenda dan menyiapkan minuman hangat dan aku serta Adit menemani Bang Jen dibelakang. Hari kian gelap, sudah hampir jam 18.00 ku kira, target kami saat itu adalah bermalam di Pos Pemancar. Yaitu Pos sesudah Pos IV, Pos Pemancar ini adalah Pusat Stasiun Pemancar di gunung ini, namun terbengkalai karena banyak alat nya yang menurut Pak Tono, dicuri sehingga gagal berfungsi.

Namun, kondisi Bang Jainer sudah jauh membaik sehingga bisa kembali kebut menanjak bahkan kembali kami bertemu Oblok dan Bange yang sudah cukup dekat dengan Pemancar. Sehingga begitu tiba di Pos tersebut kami segera masuk ke bangunan dan mendirikan tenda didalamnya, hangat karena didalam ruangan. Setelah tenda berdiri, dan kami semua sudah berkemas, semua minuman hangat pun sudah tersedia. Diluar masih angin menderu kencang dan hujan masih saja turun. Akhirnya sebelum beristirahat kami cukupi energi dengan makan Indomie goreng pakai cabe olahan Bange Az. Hahaha...

Bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King