Bukan PNS, Hanya Pekerja Serabutan


Aku paling benci kalau dulu ada yang bertanya apa pekerjaan Bapak ku. Kalau bisa, aku menghindar untuk menjawab. Jika terdesak, aku bilang Bapakku PNS. Nyatanya Bapak ku pernah bekerja sebagai PNS di Departemen Kehakiman, namun beliau meninggalkannya dengan alasan yang belum bisa aku pahami kala itu. Dan memilih bekerja sebagai pekerja serabutan, kadang- kadang berkebun, kadang jadi makelar, kadang jadi wartawan surat kabar lokal, dan lain- lain.

Kadang aku menyesal lahir sebagai anak seorang wiraswasta serabutan, apalagi kalau kawan- kawan sekolah ku mulai saling membanggakan profesi Bapak mereka. Apa yang bisa aku banggakan dari seorang pekerja serabutan? pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian istimewa. Tubuhnya yang gempal dan padat berbalut kaos lengan pendek seadanya berkawan motor GL Pro sederhana yang sudah lewat masa kejayaanya. Jauh dari sosok gambaran orang sukses versi manusia masa kini.

Tapi diluar profesinya, Bapak sangat humoris. Tiada hari tanpa gelegar tawa bersama teman- temannya bahkan mungkin kepahitan hidup juga ikut ditertawakan. Seperti ketika bermain gaple atau saat ada kawan beliau yang bertamu kerumah, biasanya diselingi kopi hitam dan pisang goreng buatan sendiri. Bapak suka betul bercerita, selalu saja ada bahan lelucon yang tak habis- habisnya. Bukan hanya humoris, namun beliau punya banyak teman, kemanapun kalau aku ikut ke keliling pakai motor, selalu saja ada temannya di setiap beberapa ratus meter yang berteriak menyapa dengan sapaan khas pergaulan kita kaum laki- laki, mulai dari: Bos.. Komandann..dan lain- lain.

Yang aku tahu Bapak dulu adalah seorang PNS di Departemen Kehakiman Palembang namun saat itu kami keluarga tinggal di Baturaja sehingga tiap akhir pekan Bapak harus ke Palembang untuk bekerja, padahal saat itu gaji PNS golongan II/b tidak seberapa sementara kebutuhan keluarga harus dibiayai, alhasil Bapak juga harus mencari penghasilan tambahan disana sampai akhirnya ia meninggalkan kantor karena akan dipindahkan ke Bangka Belitung yang lebih jauh. Bapak akhirnya menolak dipindahkan, sampai akhirnya malah diberhentikan. Tapi beliau tidak terlalu mempersoalkan, tetap melanjutkan dan menikmati hidup, dengan memilih bekerja sebagai wiraswasta serabutan tidak membuat martabatnya jatuh dan keceriaanya pupus.

Kini 15 tahun lebih sudah Bapak tidak lagi seorang PNS, 2 atau 3 tahun lalu aku tahu kenapa Bapak tidak mau dipindahkan ke Bangka Belitung karena ia tidak mau semakin jauh hidup terpisah dari kami keluarganya di Baturaja. Aku dan kakak ku masih kecil saat itu, Ibu ku juga hanya seorang Ibu Rumah Tangga biasa tanpa penghasilan. Bagiku cerita hidup Bapak adalah contoh nyata kebesaran dan kasih sayang ALLAH.SWT, karena tanpa sumber penghasilan yang pasti setiap bulannya, rejeki untuk kami sekeluarga tetap mengalir lewat kerja keras Bapak. Hampir disetiap kesusahan selalu saja ada jalan keluar berupa rejeki yang tidak disangka- sangka. "Hidup ini sudah diatur oleh ALLAH.SWT, jalani saja berusaha semampunya, selebihnya sukuri lah sudah ada rejeki masing- masing". Begitu nasihat Bapak berkali- kali.

Tanggung jawab dan sayangi keluargamu itu adalah nilai lain yang Bapak tekankan. Pengorbanan bapak sepertinya adalah bahasa lain untuk mengatakan bahwa harga diri seorang laki- laki itu adalah bekerja. Setiap hari Bapak pasti keluar dari rumah, entah kemana dan biasanya setiap pulang selalu membawa apapun yang berguna untuk keluarga, mulai dari sayur untuk dimasak, ikan untuk digoreng atau lauk pauk matang sesekali dari warung nasi kesukaannya. Lain cerita kalau baru pulang dari kebun dan sedang musim buah, maka pisang, duku atau rambutan adalah hal biasa bagi kami, bahkan durian juga sesekali.

Kini usiaku sudah 24 tahun dan aku hidup dalam kontradiksi hidup beliau. Harusnya aku hidup lebih bahagia dengan gelegar tawa yang lebih membahana dari yang beliau punya, dengan teman yang lebih banyak dimana- mana. Tapi kenyataanya aku bahkan lupa kapan terakhir aku tertawa lepas tanpa beban. Mungkin tampaknya aku belum paham nasihat beliau yang sering diucapkan kepada ku itu. Semoga ini hanya masalah waktu dan kuharap bisa lebih cepat dari biasa, karena aku hanya ingin menikmati hidup. Dan setidaknya sudah sejak lama aku tidak lagi merasa malu atas profesi beliau, karena aku sudah membuka mata untuk menghargai siapapun bukan dari pekerjaanya namun dari nilai hidup yang ada didalamnya. Aku bangga pada bapak, walau dia hanya wiraswasta serabutan.

Aku tidak lagi benci kalau ada yang bertanya apa pekerjaan Bapak ku. Aku bilang Bapakku eks PNS. Bapak ku pernah bekerja sebagai PNS di Departemen Kehakiman, namun beliau meninggalkannya dengan alasan yang sudah bisa aku pahami kini. Dan memilih bekerja sebagai pekerja serabutan, kadang- kadang berkebun, kadang jadi makelar, kadang jadi wartawan surat kabar lokal, dan lain- lain. Begitulah...

Comments

  1. @Uto: eh ada di si Pras.. gimana kabar ? trims ya sudah mampir ke BSE.

    ReplyDelete
  2. erik sombong ah disapa di twitter ga dibales :( :P

    ReplyDelete
  3. Kalo bang erikson ada kepikiran buat keluar dari PNS gak? :)

    Salam blogger STAN mas!
    Ditunggu kunjunganya.. :)

    ReplyDelete
  4. @Uto: Maaf Pras, baru turun gunung gw, :) ok langsung cek TKP yahh.. trims. :)

    ReplyDelete
  5. @Said: sejauh ini belum ada Id, haha.. tp kayak kata orang world changes so does people, trims sudah mampir Id, yapp.. nanti meluncur ke TKP ente..

    ReplyDelete
  6. cakep rik tulisannya,, heheh :)

    berkejaran lg2 g ol

    ReplyDelete
  7. @GWN: trima kasih GWN, g ol terus ini haha. OL dong sama diupdate itu blog nya haha..

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja