Ketika PTK Digoyang
Pendidikan Tinggi di negara ini bukan lagi menjadi barang publik. Semua tahu itu, kini rivalitas untuk menikmatinyapun makin ketat dan (maaf) makin tidak sehat. Tidak hanya lewat jalur tes resmi melalui adu uji pengetahuan tapi juga ada pintu khusus bagi kaum berada yang mampu membeli kursi bergengsi itu. Ekses nya sudah makin jelas, tidak perlu lagi dibahas. But at least, bagi mereka yang tidak beruntung namun masih mampu bersaing sehat, Maka melalui (Perguruan Tinggi Kedinasan) PTK, harapan itu masih ada.
PTK yang berada di bawah suatu Kementrian atau Badan Pemerintah tertentu, memasok SDM untuk tiap unit nya. Kementerian Keuangan dengan STAN misalnya. Atau BPS dengan STIS, dan juga Kementrian Dalam Negeri dengan IPDN. Terlepas dari bagaimana mekanisme rekruitmennya, namun Mahasiswa/i PTK ini akan dipersiapkan sebagai PNS dengan golongan dan pangkat tertentu disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang dijalani. Berikut potongan daftar resmi struktur kepangkatan dari BKN:
Pegawai baru lulusan SMA atau sederajat = II/a
Pegawai baru lulusan D1/D2 atau sederajat = II/b
Pegawai baru lulusan D3 atau sederajat = II/c
Pegawai baru lulusan S1 atau sederajat = III/a
Pegawai baru lulusan S2 sederajad/S1 Kedokteran/S1 Apoteker = III/b
Pegawai baru lulusan S3 atau sederajat = III/c
Lengkapnya bisa dilihat disini. Jadi bukan seperti yang disampaikan Bapak Soemandjaja (anggota komisi X DPR RI) dalam situs online disini. Semua ketentuan ini merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikahttp://www.blogger.com/img/blank.gifn Pangkat Pegawai Negeri Sipil. Bisa dibaca pada pasal 18. Jelas bahwa Bapak Soemandjaja salah mengambil pasal rujukan, mungkin beliau langsung mengambil kesimpulan berhenti pada pasal 8, tanpa melihat perubahan mendasar pada pasal 18.
Kemudian, penting untuk dipahami bahwa PTK ini selain bertujuan mensuplai SDM yang akan menjalankan roda pemerintahan juga melakukan fungsi sosialnya secara tidak langsung dengan menampung para pelajar potensial secara akademik tapi kurang beruntung secara ekonomi (data dari BPS Maret 2010 menunjukkan bahwa 31,02 Juta penduduk masih hidup dibawah garis kemiskinan). Fungsi sosial nya inilah yang sebenarnya lebih membuat PTK mendapat tempat di hati masyarakat. Didamba dan dirindukan, begitu tepatnya. Seperti rindunya seorang pelancong ekonomis untuk kebagian tiket kereta ekonomi yang sudah dinantikannya sejak jam 01.00 dini hari ditengah antrian yang mengular. Even words can't describe!!.
Siapapun menurut saya tidak perlu merasa iri dengan eksistensi PTK ini, tidak ada yang dianaktirikan dengan kemunculan PTK. Justru sebaliknya, semua hanya soal waktu. Memang mahasiswa PTK tidak perlu khawatir lagi untuk mencari pekerjaan karena sudah disiapkan untuk menjadi PNS. Tapi, saya melihat mahasiswa lulusan PTN/PTS justru memiliki kesempatan yang lebih luas karena mereka bisa berkarya di sektor swasta. Mereka yang berlatar belakang PTN/PTS, beberapa tentu sudah memiliki jiwa survival ditengah ongkos pendidikan yang kian melambung, salah satu sifat yang dibutuhkan dalam dunia wirausaha. Lagi pula, agak ganjil kalau semua generasi muda berlomba- lomba menjadi PNS dan tidak ada lagi yang mau berwirausaha.
Kini sudah banyak pelaku- pelaku usaha dan kaum birokrat yang dengan tekun berkarya serta bisa dibilang sudah matang dalam peran dan posisi masing- masing. Keduanya jelas berbeda, namun saling melengkapi dan berkaitan dalam kerangka kehidupan bernegara ini. Hal ihwal keterkaitan ini tidak akan dapat terjadi jika eksistensi PTK diberangus. PTK, sebuah institusi pendidikan yang mendidik calon birokrat, suatu pilihan yang masih ada ditengah pendidikan yang sulit dijangkau lantaran rivalitas untuk menikmatinya makin ketat dan (maaf) makin tidak sehat.
Jadi sebaiknya tidak perlu lagi ada kritik miring atas eksistensi PTK. Bahkan mungkin kini perlu dipertanyakan. Sudah sejauh mana perhatian para pemerintah terhadap pendidikan? Sudah sejauh mana tingkat penyerapan anggaran Rp266,9 Triliun dalam APBN 2011 untuk pendidikan dan juga soal transparansi serta pengawasannya?. Bukan lagi soal PTS, PTN atau PTK tapi soal hak untuk mendapatkan pendidikan yang kian mahal. Karena ketiga hal itu adalah tentang pilihan dan soal sebagian kecil saja dari kebijakan tiap kementrian untuk memperoleh SDM yang berkualitas.
P.S:
----
Gambar diambil dari sini...
ditunggu yang di kompasiana bang..
ReplyDelete@Said: sudah ku post Id. Trims.
ReplyDelete