Komoditi Provokasi: Agama


Kita kini seperti tergagap dalam huru hara isu keberagaman beragama, padahal sejarah mencatat bahwa hal ini bukan barang baru bagi negeri ini sejak dahulu ketika para bapak bangsa duduk bersama merumuskan dasar negara. Dibanding dulu, sajian berita soal kekerasan terhadap pemeluk suatu ajaran agama atau penistaan sebuah agama tidaklah semarak satu dekade belakangan.

Situasi ini bagai masa sulit atau predicament dalam sejarah kemajemukan bangsa Indonesia. Dan dari sejarah dunia kita belajar bahwa isu agama adalah isu turunan dari manajemen yang salah urus dan kepemimpinan yang tidak becus. Isu derivatif ini bila dibiarkan akan makin mengemuka seperti masalah yang mengaburkan muasal utamanya.

Pada dasarnya, setiap warga negara berhak untuk hidup aman dan tenang dalam menjalankan ibadah. Rasa aman ini bukan hanya bagi mayoritas Islam atau mayoritas Jawa, melainkan untuk semua, apapun agama dan etnisnya. Dan pemerintah berkewajiban dalam menciptakan rasa aman tersebut. Contoh yang bisa diambil adalah ketika Nabi Muhammad  SAW memimpin Madinah semua hak minoritas Yahudi dan Nasrani terjaga. Tiga agama samawi ini hidup berdampingan. Melihat fenomena yang ada kini jelas bahwa hak dan kewajiban mendasar tersebut gagal dipenuhi.

Namun apa pantas bila serta merta kekacauan ini kita tumbalkan pada pemerintah? Atau kepada rakyat yang mudah terprovokasi? Bangsa kita seperti terjangkit tunanurani bila terus saling menyalahkan antar pihak, sehingga menjadi sasaran empuk provokator yang memang menyimpan benci pada satu ajaran agama tertentu. Dan inilah sebab kerusuhan agama bisa tumbuh subur.

Bila mengharapkan pihak pemerintah tak kunjung membuahkan hasil. Maka setidaknya kita tidak boleh menjadi korban keadaan yang rentan terprovokasi. Kebesaran hati menerima keberagaman hidup beragama menjadi penting, sama pentingnya untuk menjalankan ajaran agama yang kita yakini masing- masing. Agar tercipta kesan dalam tindakan bahwa sebagai mahluk yang mengaku bertuhan, kita menginginkan perdamaian yang selama ini mungkin baru sebatas slogan.

Comments

  1. selanjutnya tergantung kita, mau jadi pembeli atas komoditas terssebut atau ga.

    ReplyDelete
  2. @Fiscus: Beli aja dua kontainer trus buang ke laut :-) kayak Boston Tea Party.

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja