7 Tahun Bersamamu


Kau masih saja sama, seperti sore tadi waktu aku melewatimu, aku sama sekali tidak terkejut apalagi takjub, karena kau memang selalu begitu. Dan mungkin selamanya akan tetap begitu. Tidak disatu ujung atau di satu sisi, semuanya kini sudah sama memberi rona kelam pada wajahmu yang kian menua lantaran di makan usia dan rodan zaman.

Aku terbiasa menatapmu dari balik jendela kaca sambil sesekali menengadah keatas untuk melihat apakah awan sore ini cukup bersahabat sehingga membuatmu tidak makin dijejali dengan sumpah serapah mereka yang menjadikanmu dimensi ruang yang berisi harapan sekaligus semangat juang atau sesekali menjadikan mu tempat sampah sambil mengutuk kesialan, ketidakberuntungan atau ketidaknyamanan yang aku, mereka dan semua didalam mu alami.

Karena aku dan mereka adalah bagian yang mengisimu, menambah gemerlap kesan kompleks atasmu bagai etalase hidup bertema diorama senja antara petang menjelang malam. Ada sebagian dari diriku yang mencintaimu, namun sayangnya sebagian lainnya sudah bosan. Rasanya hidupku kini bukan hidup yang bisa aku bayangkan atau sedikit saja mampu ku terka, karena kompleksnya kepingan puzzle mu yang terus menelikung harapan ku kini.

Agustus 2004, aku pertama kali mendatangimu, walau kala itu banyak yang bilang kau tidak sebaik Ibu tiriku, namun setidaknya waktu itu kepolosan pikiran ini membuatku tidak punya rasa takut, cemas dan ragu, sampai pelan-pelan aku mulai sadar bahwa kau sudah mengajariku soal hidup dalam perantauan, kemandirian, dan pada titik ini ku lihat aku setidaknya lebih baik daripada dulu. Itu artinya dalam tujuh tahun kita bersama, bukanlah hal yang sia-sia, ada faedahnya.

Aku paling suka melihat mu basah dibawah temaram remang lampu jalanan, di malam yang sudah larut. Karena disitu aku bisa bangga melaju membelahmu dan melepas kepenatan lewat deru angin dibelakangku, maklum anak muda. Aku senang karena dekat dengan mu membuatku mampu melihat dunia lewat jendela melalui halaman yang mungkin jumlahnya beratus-ratus tandas ku baca. Tapi kudapati, kedekatan antara jiwa-jiwa hanyalah sebatas kulit yang setiap hari berganti atau lebih ekstrim lagi seperti rokok yang dihisap lalu dihembuskan menyisakan abu yang terbang ditiup angin. Tidak berbekas.

Aku rindu kehidupan yang sebenarnya, dan apa yang kucari setelah 7 tahun dengan mu adalah rumah beserta keluarga, rumah adalah tempat dimana aku dibutuhkan oleh orang - orang yang hatinya membutuhkanku, dan hatiku juga membutuhkan mereka. Dan tentang keluarga, ia adalah mereka yang tidak akan pernah aku bisa pilih namun ALLAH.SWT yang menetapkan karena ada alasan untuk setiap cerita. Keluarga juga adalah orang yang layak menerima cinta dan hatiku yang kepada mereka aku bisa berbuat baik tanpa menuntut timbal balik karena aku sadar memang untuk merekalah aku hidup.

7 Tahun bersamamu, Jakarta.

Terhitung bulan Agustus 2011 ini, sudah genap 7 tahun aku tinggal di Jakarta, dan aku kira sudah dekat saatnya mengucapkan "Selamat Tinggal Jakarta". Semoga saja ALLAH.SWT mengabulkan doaku untuk pindah ke Sumatera Selatan, Palembang. Amin.

Comments

  1. 7 tahun, tak terasa yaaa....

    semoga terkabul doanya untuk pindah ke sumatera
    amiiiiiiiiiiin amiiiiiiiiiiiiiin

    ReplyDelete
  2. Dija belom pernah ke palembang Om...
    Dija ikut boleh???

    ReplyDelete
  3. @Elsa: Lah mbak di Surabaya gimana? kerasan gak?? aminnn trims Doanya Mbak Elsa.

    @Baby Dija: Wah, enakan di Surabaya kayaknya Dija.. Palembang itu panas, g tau mana panas sama Surabaya, ntar Dija jadi item kl di Palembang hehehhe..

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King