Kakek Tua Negara Indonesia


Negeriku ini tepat 17 Agustus akan masuk usia 66 tahun, kalau ia adalah manusia, sepertinya ia akan terlihat berambut putih agak keriput kulitnya dan bisa jadi sudah memegang tongkat layaknya seorang kakek paru baya, mungkin kini ia sedang duduk di bangku tua sambil matanya menerawang ke langit. Bercerita mulutnya pada anak-anak dan pemuda generasi dibawahnya tentang bagaimana ia dulu dan perihal masa lalu.

Deskripsinya lebih mirip seperti kakek-kakek betulan. Biar saya tebak, kisaran isi cerita sang kakek adalah seputar semangat muda, kisah cinta, membesarkan anak, menimang cucu, beratnya mencari nafkah atau sesekali soal waktu ia masih jadi bagian dari laskar bambu runcing bersama sohib seperjuangannya, tapi sepahit apapun ceritanya pasti selalu saja ada sisi happy ending nya, tidak CSM alias Cerita Sedih Melulu.

Hidup sang kakek akhirnya Happy Ending karena di hari tua nya, ia hidup memiliki istri yang mendampinginya dan anggap saja seperti di film-film maka sang kakek akan menutup usia diatas kasur empuk berselimut hangat tanpa ada lagi susah hati karena sudah mewariskan hidup layak dan nilai kehidupan pada anak-anak dan cucunya. Itu sudah. Dan cerita sulit masa lalu sang kakek berakhir manis. Semanis madu tanpa setetes pun empedu.

Tapi aku tak mau menyamakan negeri ini dengan sang kakek, karena selain analogi nya tidak tepat ya aku khawatir saja dianggap pesimis (apalagi fatalis) lantaran berpikir umur Negeriku ini sama dengan umur biologis kita manusia, karena paling tidak sikap optimis salah satu founding father, Soekarno bisa kita tiru, beliau senang sekali berkata bahwa dengan memandang peta saja, seorang anak pun dapat melihat betapa wajarnya integritas fisik Republik Indonesia (Donald K Emmerson 2001). Walau kini banyak gerakan separatisme diberbagai daerah mungkin sebaiknya kita berpikir saja bahwa Republik ini akan berumur panjang dan berdiri wajar dan optimis sebagai Republik tentu.

Namun ada satu hal yang aku pikir boleh aku andai-andaikan seperti sang kakek tadi. Satu hal saja? Iya. Tentang apa? Tentang para pembesar negeri ini. Karena yakin saja bahwa bagaimanapun mereka sekarang atau pun nanti akan menjadi kakek tua yang memasuki masa ingin bercerita dan ingin didengarkan. Para pembesar negeri ini tersebar dimana- mana, mereka menangani berbagai bidang yang jika disinergikan, akan berujung satu yaitu: Kemakmuran Negeri. Jadi kalau sudah sama-sama tahu kita ujungnya. Maka tidak ada salahnya kalau aku tiba pada kesimpulan bahwa semua hal tadi belum berujung. Mungkin masih melingkar-lingkar pada lintasan yang bukan tempatnya demi bisa kembali berpacu dalam lintasan yang benar selalu.

Alangkah malang nasib para pembesar negeri ini nanti jika di usia senja mereka nanti tidak ada happy ending, kehidupan yang layak dan nilai kehidupan yang bisa diberikan untuk generasi dibawahnya, satu hal yang bisa menjadi penghibur diri adalah Harapan bahwa anak cucu nya yang akan memperbaiki keadaan, sementara sejarah mencatat sejak dulu waktu Negeri ini lahir 66 tahun yang lalu pengharapan demi pengharapan terus saja di lempar antar generasi, semangat cinta tanah air yang turut menelurkan Pancasila dan mengumandangkan anti Imperialisme berlanjut sampai sebuah harapan bahwa Negeri ini bisa menjadi Negeri yang benar-benar merdeka secara batin bukan sekedar merdeka diatas kertas dan diakui pendiriannya. Dan akhirnya Soekarno dan pembesar negeri yang hidup disaat itu hanya bisa mewariskan cerita instabilitas kehidupan bernegara yang mewarnai pencarian model atau sistem yang kala itu diinginkan.

Selanjutnya diera Baru, harapan yang telah ada makin dibawa lebih tinggi menuju tingkat kesejahteraan dan kemandirian hidup bernegara dan dalam tata pergaulan Internasional, namun rezim militer malah mengkebiri dan memangkas aspirasi politik, tapi aku melihat satu hal positif dari tindakan totaliter Soeharto yaitu upaya represif yang nampaknya memang dibutuhkan untuk mendukung terciptanya kehidupan yang "aman" dalam rangka membangun iklim yang kondusif bagi kemajuan ekonomi, tidak apa karena memang harus selalu ada trade-off dari setiap prioritas. Dan kala itu kebebasan berpendapat, kritik dan demonstrasi menjadi ongkosnya. Dan harapan pun berlanjut berganti warna dari gelap hitam kemerdekaan hakiki yang menanti untuk terwujud menuju kelabu langit politik yang terbuka bagi kebebasan, suatu warna yang sangat cerah bagi mereka yang apolitis.

Turunnya Soeharto secara dramatis menandai perjalanan baru Republik ini menuju Era Reformasi sejak 13 tahun lalu hingga SBY menjabat saat ini. Yang menarik dicermati adalah perkembangan kondisi ekonomi dan politik, yang pasti model kerangka yang diingini sudah tidak lagi menjadi bahasan utama karena yang lebih penting adalah apakah semenjak lepas dari kungkungan totalitarian Soeharto hingga kebebasan berpendapat tidak lagi mahal harganya, harapan yang semenjak awal untuk memperoleh kemerdekaan yang hakiki sudah diperoleh? Karena jika peralihan antar rezim bermula dari satu hal yang dianggap menghalangi, harusnya pergantian yang sudah terjadi sejak lama sudah mulai menunjukkan hasil. Tapi lihat apa yang terjadi kini, kondisi politik secara bebas memang dijamin namun mereka yang duduk sebagai ruling party masih disibukkan dengan silih bergantinya polemik yang saling menutupi secara periodik. Sehingga politik transaksional menjadi trend dan dianggap biasa. Hopeless.

Dampaknya menjalar kemana-mana, karena polemik politik yang membawa efek domino telah mengalihkan niat baik dan porsi pikiran para pembesar negeri untuk mencurahkan intelektualitas nya demi memajukan ekonomi dan membangun infrastruktur negeri, dua hal yang saling melengkapi untuk mencapai kemajuan yang bermanfaat dalam jangka panjang. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa stabilitas politik memberi daya tarik akan citra suatu negeri. Harapan yang ada kini adalah semoga suatu saat nanti negeri ini tiba pada suatu politik yang tidak represif namun fair dan jauh dari aroma transaksional agar mereka yang diberi tanggung jawab membawa negeri ini dapat menjalankan tugas dengan baik.

Dan lebih penting lagi agar kelak waktu mereka tiba di masa purna bakti mereka punya sesuatu untuk diwariskan sebagai modal bagi generasi berikutnya untuk menggantikan peran mereka, dan seperti yang ada di film-film, mereka akan menutup usia diatas kasur empuk berselimut hangat tanpa ada lagi susah hati karena sudah mewariskan hidup layak dan nilai kehidupan pada anak-anak dan cucunya, yaitu kita yang kini hidup dengan semangat muda yang potensial.

Sebuah tulisan untuk negeriku tercinta yang sudah memasuki usia 66 tahun. Darah ku merah dan tulang ku putih, karena aku berkewarganegaraan Indonesia dan kupikir seharusnya akan selalu begitu.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja