Pajak untuk Kemandirian Negeri


Kita sering berbicara mengenai kesejahteraan dan kemandirian bangsa dalam berbagai aspek kehidupan, dan membicarakan hal tersebut maka tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai sumber pendapatan negara. Hal ini karena, untuk dapat mewujudkan hidup yang benar-benar sejahtera tanpa bayang-bayang ketergantungan atau kekhawatiran tentang masa mendatang diperlukan sumber pendapatan yang kuat dan mandiri.

Dalam sejarah perjalanan Republik ini, telah kita ketahui bahwa sumber pendapatan negara dari Pajak telah menjadi unsur utama dalam menunjang kegiatan perekonomian, menggerakkan roda pemerintahan dan penyediaan fasilitas umum bagi masyarakat. Bahkan secara persentase, setidaknya pajak memenuhi kurang lebih 70% pos penerimaan dalam APBN beberapa tahun belakangan. Ini menunjukkan peranan Pajak dalam mewujudkan stabilitas roda kehidupan negeri ini harus makin ditingkatkan mengingat makin tingginya tuntutan kebutuhan dan makin kompleksnya tantangan jaman, terutama memasuki Era Globalisasi dan berlakunya CAFTA.

Karena kita tahu CAFTA telah membuat sektor UMKM terpuruk karena tingginya ongkos produksi dan harga yang tidak mampu bersaing dengan produk China, UMKM sendiri adalah sebuah sektor yang di tahun 2010 lalu diharapkan mampu mengisi 45% PDB sebesar Rp 3000T (Bataviase, April 2010) walaupun suku bunga sendiri belum juga bersahabat dalam mendukung kemajuan UMKM terutama yang masih berskala kecil. Sementara produk China bebas masuk ke pasar dalam negeri dan memposisikan diri sebagai pelayan yang memenuhi segala apa yang dibutuhkan masyarakat.

Kembali lagi ke Pajak, jumlah pemenuhan porsi Pajak dalam APBN yang sangat dominan tersebut sebetulnya hanya dalam bentuk Persentase saja, nyatanya secara nominal jumlah tersebut masih jauh dari potensi yang sebetulnya bisa digali, penggalian potensi ini berubah menjadi semacam keharusan yang sebetulnya menjadi inti atau jiwa dari program modernisasi Perpajakan yang gencar berlangsung beberapa tahun belakangan ini. Mengapa? Karena menurut pendapat saya, modernisasi harus berujung pada satu titik yaitu terpenuhinya tujuan Budgetair dan Regulerend atas Pajak dalam kehidupan Republik ini.

Tujuan Budgetair yaitu bagaimana Pajak terus difokuskan pada intensifikasi untuk menggali sumber penerimaan yang belum terungkap, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mewujudkan ini, reformasi yang berlaku belakangan ini merupakan salah satunya, bagaimana regulasi dalam ketentuan perundang-undangan pajak kini telah secara lebih baik menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Petugas Pajak, ini sangat penting karena kontrol internal yang efektif dari sisi kelembagaan akan dapat meminimalkan kebocoran potensi yang seharusnya bisa masuk ke kas negara sebagai Pajak sedangkan dari sisi Wajib Pajak ini berperan banyak dalam membangun kepercayaan mereka.

Tetapi menurut saya, ada semacam euforia yang terjadi dalam kerangka reformasi ini. Bagaimana kemudian pemberian fasilitas Tax Cut atau Tax Holiday menjadi semacam pilihan kebijakan fiskal yang dianggap mampu mendorong atau dapat meningkatkan penerimaan Pajak, mungkin benar adanya namun dalam jangka panjang, sementara ibarat manusia, maka reformasi dalam bidang perpajakan ini seperti Bayi yang baru belajar berlari. Sehingga banyak Potensial Loss yang harus direlakan demi membangun iklim yang dirasa nyaman dan membangun kepercayaan bagi Wajib Pajak. Pemerintah bisa saja mengatasnamakan kebijakan ini untuk tujuan jangka panjang dan penyehatan iklim industri, namun harus dilihat sisi keberpihakan industri yang dipilih, apakah relevan dengan karakter bangsa atau yang juga harus dipikirkan adalah alternatif pembiayaan lain yang harus dicari sebagai ganti Potensial Loss yang terjadi. Entah itu SUN atau meminjam uang kepada IMF. Mana yang bunga nya yang lebih rendah dan kondisi yang memberi beban yang lebih ringan saat Maturity Date tiba, tentunya ini setelah melalui analisis cost-benefit oleh para pengambil kebijakan.

Selain mengejar dari sisi intensifikasi, upaya memaksimalkan penerimaan dari Pajak juga dilakukan salah satunya dengan Pencanangan jumlah Wajib Pajak 10 Juta, sebuah program ekstensifikasi karena meningkatkan jumlah Wajib Pajak walau mungkin dengan segala kekurangan administrasi disana sini dalam pelaksanaanya, namun satu hal yang dapat saya ambil hikmahnya adalah bahwa masih betapa sedikitnya jumlah masyarakat sadar pajak jika dibandingkan dengan jumlah total penduduk Republik ini. Disnilah perjuangan yang sesungguhnya untuk dapat mewujudkan konsep Pajak sebagai unsur yang menuntun pada kemandirian bangsa. Peran pemerintah disini bukan hanya mewajibkan membayar pajak, memberi NPWP dan mengenakan sanksi. Tapi lebih dari itu adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat banyak tentang arti penting Pajak bagi kehidupan negeri, kehidupan mereka dan kita semua juga.

Banyak cara mencintai negeri ini, bisa dengan mendukung Timnas Sepak Bola, mendaki gunung, membeli produk dalam negeri, namun mencintai negeri dengan memiliki NPWP? rasanya ini akan menjadi pilihan ke 10 jika ada 10 pilihan saja. Disini fungsi pajak dari sisi Regulerend memainkan peranannya, tentu kita masih ingat penerapan kebijakan penghapusan biaya Fiskal Luar Negeri bagi para pemegang kartu NPWP atau kebijakan Sunset Policy yang memunculkan para pemain lama untuk meminta pengampunan dosa. Terlihat jelas bahwa memiliki NPWP baru sebatas motivasi untuk memperoleh fasilitas, bukan atas nama kebanggan pribadi sebagai penduduk negeri. Menurut saya, dalam kondisi semacam ini, cukup relevan jika tindakan untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak dilakukan dengan cara yang agak indirect-coercive mengingat masih rendahnya kesadaran untuk ber NPWP. Bahkan mungkin sudah waktunya field isian NPWP menjadi hal yang lumrah dalam banyak aspek kepengurusan terkait dengan kegiatan yang menunjukkan kemampuan finansial.

Stigma timbal-balik langsung masih menjadi alasan utama keengganan ber NPWP, sungguh lah kalau begitu betapa iklan himbauan mengenai arti penting pajak yang kini marak di layar kaca sangat tepat untuk disiarkan berulang-ulang supaya masyarakat disadarkan mengenai kemana larinya uang Pajak yang masuk ke negara. Ditjen Pajak harus lebih awas dan intens lagi mengenai penyiaran ini, terutama dari segi muatan dan sasaran, karena tidak dipungkiri bahwa ada banyak hal mengenai pajak yang masih secara keliru dipahami masyarakat, hal ini miris namun memang masih terjadi, seperti misalnya masih banyak yang beranggapan bahwa pembayaran uang Pajak itu dilakukan di kantor Pajak bukan ke Bank Umum/Persepsi/Kantor Pos atau adanya pengenaan biaya dalam pengurusan administrasi Pajak (padahal sudah jelas bahwa Jasa pengurusan NPWP ini secara nyata merupakan contoh Non Jasa Kena Pajak). Terdengar aneh, itulah faktanya, bukan suatu aib rasanya jika iklan layanan masyarakat yang sangat basic ini ditayangkan agar membangun persepsi yang lebih baik bagi masyarakat yang mungkin belum mengetahui.

Perpaduan dari pelaksanaan yang baik dari sisi tujuan Budgetair dan Regulerend ini dapat diukur melalui angka Tax Ratio dan kita harus mengakui bahwa Indonesia masih terbilang rendah dalam hal Tax Ratio ini, di tahun 2010 hanya 13,3% mengalami penurunan 0.6% dibanding tahun 2007. Kenyataannya adalah kita harus banyak berbenah, reformasi yang kin telah sedang berjalan harus kita teruskan sebagai jalan untuk memperbaiki banyak hal menuju pencapaian kesadaran masyarakat akan arti penting Pajak dan termasuk memperbaiki diri secara individual atas nama petugas pajak dan secara institusional atas nama DJP secara terus menerus. Sehingga Pajak sebagai penerimaan negara dapat menjadi sumber andalan menuju kemandirian bangsa sehingga kedepan pemerintah tidak lagi dihadapkan pada pilihan sulit mengambil kebijakan yang bagaikan buah simalakama, atau setidak-tidaknya jika memang ada yang harus dikorbankan, tentulah bukan kesejahteraan rakyat yang dipertaruhkan.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja