Finale: Memoar Pendakian Dempo (II)
Di gerbang Pintu Rimba Gunung Dempo, Rabu 16 Mei 2012, baru saja lewat waktu Magrib. Kami berdoa memulai pendakian, di bawah sana, Kampung Empat sepertinya terbiasa melewati malam dalam gelap lantaran listrik hanya masuk dari pagi hingga sore saja. Sehingga tidak ada view kelap kelip lampu perkampungan, yang ada cuma Bukit Barisan yang berdiri gagah mengelilingi hijau lahan dibawahnya. Kami mulai bergerak pelan, masuk ke rimba Dempo dengan headlamp siaga di kepala, sampai detik itu Dempo aku kira masih termasuk gunung yang medannya terbilang lumayan namun tidak untuk detik- detik berikutnya hingga berjam- jam kemudian sekalipun. Karena Dempo ternyata adalah Gunung yang Berat. Mengingatkan siapapun yang pernah mendaki Ciremai via Linggajati/Linggasana dengan tanjakannya ditambah paduan medan basah yang ada di Salak. Event words can't describe!
Rabu, 16 Mei 2012
Pintu Rimba - Shelter I
Perjalanan menuju Puncak Dempo memakan waktu sekitar 5 jam. Namun dengan medan yang terus- menerus menanjak (mungkin sekitar 60 - 70 derajat) nyaris dan sedikit saja dataran, maka toleransi deviasi standar menurutku cukup wajar sekitar 0,5- 1 jam. Sekitar 1 jam dari Pintu Rimba hawa dingin udara pegunungan mulai terasa menusuk sehingga sangat dianjurkan untuk terus berjalan saja hingga istirahat sejenak di Shelter I. Sekitar 1 jam trekking kami tiba di Shelter I, sebuah lahan yang cukup luas untuk beristirahat sejenak sekedar menghangatkan tubuh dengan minuman hangat dan melepas carrier di pundak. Di Shelter I ini belum terdapat sumber mata air, baru akan ada nanti di Shelter II.
Shelter I - Tanjakan Dinding Lemari
Usai refuel dan break sejenak, perjalanan kami lanjutkan, medannya belum terlalu jauh berbeda dari sebelumnya, hanya saja makin didominasi akar pohon menahun dan perdu serta lebih sedikit bonus, yang ada cuma tepian jalur yang disangga oleh reruntuhan pepohonan yang roboh. Lambat laun, kondisi tubuh sudah terbiasa dengan kondisi medan dan mungkin karena didukung juga karena kami mendaki pada malam hari sehingga terjalnya medan tidak terlihat dan secara psikologis kondisi ini memberi ketahanan lebih. Sekitar 1 jam kemudian kami tiba pada satu tanjakan cukup panjang sekitar 4-5 meter dengan kecuraman hingga 90 derajat, namanya Tanjakan Dinding Lemari. Beautifully Dangerous, i called it.
Namun kini di dekat tanjakan tersebut sudah dibuatkan jalur yang lebih aman sehingga pendaki dapat memilih jalur mana yang disukai. Tapi meski begitu, ternyata jalur yang akan dilewati setelah Tanjakan Dinding Lemari semakin terjal daripada yang sebelumnya.
Tanjakan Dinding Lemari - Shelter II
Melewati jalur menuju Shelter II, kami mulai sering istirahat, kondisi jalur yang kian berat, ditambah hari kian malam, rentan membuat siapapun jatuh terkantuk. Namun kami masih tetap berjalan sehingga setelah hampir 1 jam kemudian tiba di Shelter 2. Uwi dan Bange langsung mengambil air ke sumber mata air, sementara aku dan lainnya beristirahat duduk di Shelter 2, bahkan nyaris tertidur dengan posisi carriel masih di pundak, tak lama setelah itu, kami memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu sebelum meneruskan perjalanan. Dari sini, citylight kota Pagar Alam sudah mulai terlihat. Begitu indah. Cukup lama istirahat makan, kami meneruskan perjalanan kembali.
Shelter II - Jalur Batuan Cadas - Puncak Dempo
Semakin menanjak keatas mendekati Puncak Dempo, medan pendakian kian terjal namun tidak lagi didominasi akar pohon menahun, hanya semak perdu dan pohon Cantigi, atau oleh penduduk setempat disebut Pohon Kayu Panjang Umur (Kapur). Kondisi fisik kami sepertinya saat itu, sudah mulai diserang kantuk yang amat sangat, ditambah lelah pula. Namun perjalanan tetap kami teruskan melewati makam seorang pendaki yang menurut informasi yang aku dengar adalah pendaki yang pertama kali membuat jalur ini, namanya aku lupa. Hampir 2 jam dan kami akhirnya tiba di jalur batuan cadas. Benar- benar cadas. Dari sini Puncak Dempo sudah tidak jauh lagi, namun kala itu aku pun berjalan seperti sudah tidak sadar menginjak bumi, kantuk ini benar- benar membuat mati rasa, tak lagi terasa lelah, semua mengambang. Sehingga besar sekali dorongan untuk mendirikan tenda sesegera mungkin.
Namun selaku Ketua Tim, Uwi meminta kesediaan kami untuk meneruskan perjalanan. It's sucks! but i realized he knew what he was doing! Dan alhamdulillah akhirnya sekitar 15 menit kemudian tiba di Puncak Dempo (3159 mdpl) kami hanya sesaat saja berdiri disana. Puncak Dempo adalah lahan kecil yang ditutupi vegetasi Cantigi. Kami pun sesuai rencana awal, segera turun ke lembah untuk mendirikan tenda, sebuah turunan yang terjal dan berliku- liku. Ketika 15 menit kemudian kami tiba di lembah, tanpa dikomando tenda langsung segera kami dirikan, dan tanpa ba bi bu, basa basi bisu, aku berlalu, tidur.
Kamis, 17 Mei 2012
Lembah - Puncak Marapi
Pagi, walau malas beringsut, akhirnya aku keluar juga dari tenda. Lembah ini ternyata cukup luas, Cantigi ada dimana- mana dan tidak ada Edelweis terlihat, Puncak Api berdiri kokoh persis didepan kami mendirikan tenda. Kami mulai bersiap untuk sarapan. Tidak jauh dari sini ada semacam aliran sumber mata air bernama Sumber Mata Air Putri, begitu indah, begitu bening dan alami. Disini kami mengambil air dan mencuci perabotan. Setelah sarapan istimewa dengan Pempek Lenjer yang dibawakan oleh Zahri, kami bergerak menuju Puncak Api. 2 Jam pendakian melewati medan kerikil dan sedikit rimba perdu Cantigi, kami tiba di Puncak Marapi Dempo. Puncaknya berupa lahan luas dengan kawah yang masih aktif. Di puncak ini terdapat makam seorang tetua kampung zaman dahulu, yang sayangnya menjadi objek penyembahan mereka yang belum paham. Tanpa bermaksud menggurui, aku jujur menjadi bingung melihat sebuah makam dipuja, disucikan, dan dijadikan tempat meminta.
Puncak Marapi Dempo
Alhamdulillah, kami dikuatkan juga hingga tiba di Puncak Marapi Dempo, lengkap dari awal. Disini, semua keletihan dan beratnya medan semalam bagai tidak terjadi saja. Lupa semua, semua lupa. memang benar bahwa finally the persistence paid off at the end. Dan seperti biasa, tidak lupa kami mengabadikan kenangan dalam gambar, tanpa bermaksud apapun, karena memang tidak ada yang bisa kami ambil selain poto dan poto lah yang kelak belasan atau mungkin puluhan datang mampu bercerita tentang perjalanan ini.
Dengan panduan dari Zahri, kami mengambil rute pendakian dengan jalur Kampung IV dan turun lewat jalur Tugu Rimau. Jalur turunan lewat Tugu Rimau ini benar- benar ekstrim, terdapat dua titik sangat terjal namun sudah terpasang tali sebagai alat bantu, selebihnya adalah jalur terjal dengan lahan perdu terbuka makin turun makin rimba dan sekitar pukul 7 malam kami tiba di Tugu Rimau disambut oleh dingin, sepi dan citylight kota Pagar Alam. Disini kami bermalam di Mushollah untuk keesokan paginya meneruskan perjalanan pulang kembali ke peradaban. Terima kasih banyak kepada Zahri atas segala bantuan sejak awal hingga akhir sehingga kami dapat melaksanakan pendakian ini, we owe you more than thanks.
Buat Uwi, Bange, Aconk, Pak Lurah, Suci, Riya, Ame dan Yuda. Terima kasih banyak. What Dempo served to us might leave us speechless, and the way we handled it was what showing us that we are just stronger than we thought.
P.S:
----
#Di lembah ini, aku heran, ada Burung Merpati putih sendirian, penasaran dari mana datang nya dan mengapa sendirian, agak janggal kalau Burung Merpati terbang setinggi ini. Burung nya jinak, seperti kata pepatah Jinak Jinak Merpati.
#Dikarenakan keletihan fisik, maka poto- poto sepanjang pendakian tidak sempat diambil.
#Courtesy Photo By: Wirawan Yuda dan Moehammad A Noeryadi.
Rabu, 16 Mei 2012
Pintu Rimba - Shelter I
Perjalanan menuju Puncak Dempo memakan waktu sekitar 5 jam. Namun dengan medan yang terus- menerus menanjak (mungkin sekitar 60 - 70 derajat) nyaris dan sedikit saja dataran, maka toleransi deviasi standar menurutku cukup wajar sekitar 0,5- 1 jam. Sekitar 1 jam dari Pintu Rimba hawa dingin udara pegunungan mulai terasa menusuk sehingga sangat dianjurkan untuk terus berjalan saja hingga istirahat sejenak di Shelter I. Sekitar 1 jam trekking kami tiba di Shelter I, sebuah lahan yang cukup luas untuk beristirahat sejenak sekedar menghangatkan tubuh dengan minuman hangat dan melepas carrier di pundak. Di Shelter I ini belum terdapat sumber mata air, baru akan ada nanti di Shelter II.
Shelter I - Tanjakan Dinding Lemari
Usai refuel dan break sejenak, perjalanan kami lanjutkan, medannya belum terlalu jauh berbeda dari sebelumnya, hanya saja makin didominasi akar pohon menahun dan perdu serta lebih sedikit bonus, yang ada cuma tepian jalur yang disangga oleh reruntuhan pepohonan yang roboh. Lambat laun, kondisi tubuh sudah terbiasa dengan kondisi medan dan mungkin karena didukung juga karena kami mendaki pada malam hari sehingga terjalnya medan tidak terlihat dan secara psikologis kondisi ini memberi ketahanan lebih. Sekitar 1 jam kemudian kami tiba pada satu tanjakan cukup panjang sekitar 4-5 meter dengan kecuraman hingga 90 derajat, namanya Tanjakan Dinding Lemari. Beautifully Dangerous, i called it.
Namun kini di dekat tanjakan tersebut sudah dibuatkan jalur yang lebih aman sehingga pendaki dapat memilih jalur mana yang disukai. Tapi meski begitu, ternyata jalur yang akan dilewati setelah Tanjakan Dinding Lemari semakin terjal daripada yang sebelumnya.
Tanjakan Dinding Lemari - Shelter II
Melewati jalur menuju Shelter II, kami mulai sering istirahat, kondisi jalur yang kian berat, ditambah hari kian malam, rentan membuat siapapun jatuh terkantuk. Namun kami masih tetap berjalan sehingga setelah hampir 1 jam kemudian tiba di Shelter 2. Uwi dan Bange langsung mengambil air ke sumber mata air, sementara aku dan lainnya beristirahat duduk di Shelter 2, bahkan nyaris tertidur dengan posisi carriel masih di pundak, tak lama setelah itu, kami memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu sebelum meneruskan perjalanan. Dari sini, citylight kota Pagar Alam sudah mulai terlihat. Begitu indah. Cukup lama istirahat makan, kami meneruskan perjalanan kembali.
Shelter II - Jalur Batuan Cadas - Puncak Dempo
Semakin menanjak keatas mendekati Puncak Dempo, medan pendakian kian terjal namun tidak lagi didominasi akar pohon menahun, hanya semak perdu dan pohon Cantigi, atau oleh penduduk setempat disebut Pohon Kayu Panjang Umur (Kapur). Kondisi fisik kami sepertinya saat itu, sudah mulai diserang kantuk yang amat sangat, ditambah lelah pula. Namun perjalanan tetap kami teruskan melewati makam seorang pendaki yang menurut informasi yang aku dengar adalah pendaki yang pertama kali membuat jalur ini, namanya aku lupa. Hampir 2 jam dan kami akhirnya tiba di jalur batuan cadas. Benar- benar cadas. Dari sini Puncak Dempo sudah tidak jauh lagi, namun kala itu aku pun berjalan seperti sudah tidak sadar menginjak bumi, kantuk ini benar- benar membuat mati rasa, tak lagi terasa lelah, semua mengambang. Sehingga besar sekali dorongan untuk mendirikan tenda sesegera mungkin.
Namun selaku Ketua Tim, Uwi meminta kesediaan kami untuk meneruskan perjalanan. It's sucks! but i realized he knew what he was doing! Dan alhamdulillah akhirnya sekitar 15 menit kemudian tiba di Puncak Dempo (3159 mdpl) kami hanya sesaat saja berdiri disana. Puncak Dempo adalah lahan kecil yang ditutupi vegetasi Cantigi. Kami pun sesuai rencana awal, segera turun ke lembah untuk mendirikan tenda, sebuah turunan yang terjal dan berliku- liku. Ketika 15 menit kemudian kami tiba di lembah, tanpa dikomando tenda langsung segera kami dirikan, dan tanpa ba bi bu, basa basi bisu, aku berlalu, tidur.
Kamis, 17 Mei 2012
Lembah - Puncak Marapi
Pagi, walau malas beringsut, akhirnya aku keluar juga dari tenda. Lembah ini ternyata cukup luas, Cantigi ada dimana- mana dan tidak ada Edelweis terlihat, Puncak Api berdiri kokoh persis didepan kami mendirikan tenda. Kami mulai bersiap untuk sarapan. Tidak jauh dari sini ada semacam aliran sumber mata air bernama Sumber Mata Air Putri, begitu indah, begitu bening dan alami. Disini kami mengambil air dan mencuci perabotan. Setelah sarapan istimewa dengan Pempek Lenjer yang dibawakan oleh Zahri, kami bergerak menuju Puncak Api. 2 Jam pendakian melewati medan kerikil dan sedikit rimba perdu Cantigi, kami tiba di Puncak Marapi Dempo. Puncaknya berupa lahan luas dengan kawah yang masih aktif. Di puncak ini terdapat makam seorang tetua kampung zaman dahulu, yang sayangnya menjadi objek penyembahan mereka yang belum paham. Tanpa bermaksud menggurui, aku jujur menjadi bingung melihat sebuah makam dipuja, disucikan, dan dijadikan tempat meminta.
Puncak Marapi Dempo
Alhamdulillah, kami dikuatkan juga hingga tiba di Puncak Marapi Dempo, lengkap dari awal. Disini, semua keletihan dan beratnya medan semalam bagai tidak terjadi saja. Lupa semua, semua lupa. memang benar bahwa finally the persistence paid off at the end. Dan seperti biasa, tidak lupa kami mengabadikan kenangan dalam gambar, tanpa bermaksud apapun, karena memang tidak ada yang bisa kami ambil selain poto dan poto lah yang kelak belasan atau mungkin puluhan datang mampu bercerita tentang perjalanan ini.
Dengan panduan dari Zahri, kami mengambil rute pendakian dengan jalur Kampung IV dan turun lewat jalur Tugu Rimau. Jalur turunan lewat Tugu Rimau ini benar- benar ekstrim, terdapat dua titik sangat terjal namun sudah terpasang tali sebagai alat bantu, selebihnya adalah jalur terjal dengan lahan perdu terbuka makin turun makin rimba dan sekitar pukul 7 malam kami tiba di Tugu Rimau disambut oleh dingin, sepi dan citylight kota Pagar Alam. Disini kami bermalam di Mushollah untuk keesokan paginya meneruskan perjalanan pulang kembali ke peradaban. Terima kasih banyak kepada Zahri atas segala bantuan sejak awal hingga akhir sehingga kami dapat melaksanakan pendakian ini, we owe you more than thanks.
Buat Uwi, Bange, Aconk, Pak Lurah, Suci, Riya, Ame dan Yuda. Terima kasih banyak. What Dempo served to us might leave us speechless, and the way we handled it was what showing us that we are just stronger than we thought.
P.S:
----
#Di lembah ini, aku heran, ada Burung Merpati putih sendirian, penasaran dari mana datang nya dan mengapa sendirian, agak janggal kalau Burung Merpati terbang setinggi ini. Burung nya jinak, seperti kata pepatah Jinak Jinak Merpati.
#Dikarenakan keletihan fisik, maka poto- poto sepanjang pendakian tidak sempat diambil.
#Courtesy Photo By: Wirawan Yuda dan Moehammad A Noeryadi.
wah seru jauga tuh,,,,,,
ReplyDelete@Obat: thanks sudah mampir ya.. iya seru memang. Kind of thing that money can't buy.
ReplyDeletemau tanya jalur menuju puncak merapi dempo jelas gak???? klo bisa dijelaskn dgn detail jalurny.
ReplyDeletesoalny belum pernah kepuncak merapi dempo, karena kemaren baru sampe pelataran.
@newbiedempo: maaf br bls, insyaLLAH jelas, dr pelataran medannya ngelintasin area cantigi dikit, terus nanjak pasir kerikil dengan jalur yang sangat jelas, dan puncaknya juga udah lumayan dekat terlihat. :))
ReplyDeletemau tanya punya titik-titik koordinat jalur rimau ngga? makasih
ReplyDelete@Anonymous: Sudah hlg, tp ada teman yg mungkin tahu, nanti bs saya hubungkan ke dia. Sms saja ke hp saya 081511266289. Trims.
ReplyDelete