Size Does Not Matter. The Effort Does.

Saya hampir genap satu bulan menjadi Account Representative (AR) di Ditjen Pajak. Namun setidaknya saya sudah cukup terbiasa melihat apa dan bagaimana pekerjaan AR itu, salah satunya adalah membuat surat himbauan. Maklum sebelumnya saya bertugas sebagai pelaksana pendukung bagi para AR sehari- hari dikantor.

Di minggu pertama bertugas menjadi AR, saya belajar membuat himbauan. Sumber data yang saya gunakan adalah hasil analisa penyandingan omset lewat perhitungan terbalik antara Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Suatu hari sambil menganalisa data saya menemukan data setoran PPN yang tidak sebanding dengan omset Pajak Penghasilan yang dilaporkan di SPT Tahunan wajib pajak yang bersangkutan. Dengan jumlah setoran PPN sebesar Rp. 5.826.000,00 itu artinya omset yang telah dipungut PPN sebesar 10X PPN sebanding dengan Rp. 58.260.000,00 Sementara pelaporan di SPT Tahunan menyebutkan bahwa omsetnya mencapai Rp. 100.765.000,00 sehingga memunculkan selisih yang patut dipertanyakan dengan rincian sebagai berikut:

Penyerahan Total................................ Rp. 100.765.000
Penyerahan Sudah Dipungut dan Belum Dilapor..... Rp. 58.260.000
Penyerahan Belum Dipungut dan Belum Dilapor..... Rp.42.505.000
Dasar Pengenaan Pajak.......... ................ Rp.42.505.000
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). ................. Rp. 4.250.500

Surat himbauan kemudian saya buat lalu disetujui Kepala Seksi dan Kepala Kantor. Intinya dalam surat itu, saya minta kepada wajib pajak agar memberi tanggapan paling lama 21 hari kerja sejak surat diterima. Sebetulnya saat itu, saya sempat berpikir dua kali, apa saya yakin temuan ini saya tindak lanjuti? apalagi data tersebut sudah 2 tahun yang lewat dengan jumlah yang tidak terlalu besar, sementara diluar sana masih banyak oknum wajib pajak yang mengemplang pajak puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Dan yang lebih berat lagi adalah bahwa kemungkinan kelalaian ini terjadi karena ketidaktahuan si wajib pajak.

Namun, kewajiban adalah kewajiban. Setiap rupiah potensi penerimaan negara tidak boleh menguap begitu saja, jadilah kemudian surat himbauan itu dikirimkan ke alamat wajib pajak. Selang beberapa hari kemudian, benar saja, seorang perwakilan wajib pajak datang menemui saya ke kantor. Saat itu saya sudah siap beradu argumentasi bila saja wajib pajak mempertanyakan dasar himbauan yang saya buat dan saya juga sudah siap menerima penjelasan apabila wajib pajak mampu memberikan bukti bahwa semua kewajiban sudah ditunaikan, karena bisa jadi kekeliruan berasal dari data internal kantor.

Di menit- menit kemudian terungkap bahwa benar ada PPN yang belum ia setorkan atas penjualan yang ia lakukan. Mirisnya, ia sama sekali tidak menyadari keteledoran tersebut bahkan sama sekali tidak mengetahui bahwa telah terjadi transaksi penjualan sepanjang tahun 2011. Setelah bercerita lebih jauh akhirnya diketahui bahwa saat itu perusahaan yang ia pimpin sebenarnya sedang dalam status ‘dipinjam’ secara kekeluargaan oleh rekannya. Rekan peminjam itulah yang melakukan penjualan atas nama perusahaan miliknya, entah tidak mengetahui kewajiban untuk menyetorkan PPN atau dengan niat sengaja, rekan tersebut sama sekali tidak memberitahukan ke pemilik perusahan.

Lebih jauh lagi, yang terjadi justru rekan tersebut terkesan hendak ‘cuci tangan’ dan enggan menyetorkan uang negara yang telah ia pakai. Usai wajib pajak tersebut menjelaskan semuanya, giliran saya memberi tanggapan. Saat itu saya bagai berdiri di antara empati kepadanya dan sikap profesional sebagai seorang AR. Peraturan tetaplah peraturan, negara sama sekali tidak mengetahui bahwa dilapangan terjadi praktik pinjam- meminjam seperti itu. Dan atas transaksi apapun yang dilakukan, maka negara akan merujuk ke pemilik perusahaan yang tercatat secara resmi/ diakui negara. Begitulah kurang lebih pernyataan yang saya berikan kepadanya sembari menegaskan bahwa kewajiban tersebut harus segera dipenuhi.

Akhirnya wajib pajak tersebut menyadari bahwa kelalaian yang ia lakukan membuahkan tanggung jawab yang harus segera dilunasi dan memberi pelajaran berharga soal kepercayaan dan profesionalisme. Dan saya sendiri memetik pelajaran bahwa jangan memandang sebelah mata potensi penerimaan negara yang dapat menguap yang mungkin terjadi karena ketidakmengertian wajib pajak, sebab bisa jadi disitulah ladang untuk melakukan sosialisasi langsung dan memberikan bimbingan edukatif kepada wajib pajak.

Ebas
Pangkal Pinang, Juni 2013

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Sajak Pajak