Meluruskan Pameo "Kalau Bisa Cepat, Mengapa Harus Lambat?"
Berurusan dengan birokrasi sejak dulu identik dengan petugas yang lambat, acuh tak acuh dan labirin tahap yang berbelit. Mungkin bagi sebagian masyarakat tentang hal itu serupa dulu serupa pula sekarang, tidak ada perubahan yang kentara meski reformasi sudah berjalan 15 tahun lamanya. Tapi saya kira hal tersebut tidak mutlak berlaku bagi Ditjen Pajak dengan semua jajarannya. Reformasi ditubuh DJP sejak lebih dari 5 tahun silam telah membawa arus deras perubahan cara kerja dan sudut pandang aparatnya.
Akan tetapi masyarakat tidak boleh lupa, bahwa seprofesional apapun Ditjen Pajak menjalankan tugas tentu masih tetap berpegang teguh dengan prosedur dan kode etik. Disinilah kita semua harus duduk bersama memahami bahwa proses pelayanan yang profersional bukan berarti melulu harus cepat dengan membabat habis tahapan yang mungkin diperlukan sebagai alat kontrol internal.
Saya tergelitik untuk menulis perihal ini dipantik oleh satu peristiwa kecil saat ada seorang wajib pajak dengan status PKP dicabut (Pengusaha Kena Pajak) meminta untuk dikukuhkan kembali. Saya jelaskan kepadanya agar sebaiknya mengajukan permohonan baru saja dengan masa waktu penyelesaian 5 (lima) hari kerja. Ia sendiri sudah sejak Desember 2012 dicabut status sebagai PKP karena pelaporan SPT Masa PPN nya selalu NIHIL. Dan lucunya ia sama sekali tidak tahu bahwa ia sudah dari lama tidak lagi berstatus sebagai PKP. Ini indikasi bahwa kebanyakan dari kita masih cenderung ‘sungkan’ mencari tahu dengan alasan ‘belum perlu’.
Wajib Pajak itu cukup kooperatif dengan segera menyiapkan berkas persyaratan seperti foto lokasi, denah, SITU, SIUP, NPWP dan KTP pimpinan hingga fotokopi akta pendirian. Dan sesaat setelah lengkap ia saya arahkan untuk langsung menyerahkan kelengkapan tersebut ke loket antrian. Ia sempat menyampaikan bahwa ia ingin segera proses ini diselesaikan karena ia berkepentingan untuk menyegerakan urusan dengan rekanan dari kontrak yang sudah selesai ia kerjakan. Saya tersenyum dan menangguk tanda mengerti, lagipula memang begitu kelaziman yang terjadi, dengan alasan ‘butuh cepat’ wajib pajak seperti punya amunisi untuk berharap diprioritaskan.
Setelah berkas ia laporkan, ia masih menemui saya yang intinya memohon agar permohonannya diutamakan segera. Saya menjawab bahwa begitu berkas sudah saya terima dari loket maka akan segera saya kerjakan apa yang menjadi tanggung jawab saya. Wajib pajak tersebut lalu pamit tak lupa sambil menyisipkan kalimat: “Pak kalau memang ada caranya supaya ini bisa cepat selesai, kasih tahu saja ya! Nanti saya siapkan”
Begitulah adanya memang, selalu saja ada alasan demi kepentingan pribadi. Pada cerita diatas, terlihat sekali bahwa wajib pajak tersebut tanpa sadar menunjukkan bahwa pola pikirnya sama sekali belum berubah mengiringi modernisasi di tubuh Ditjen Pajak. Padahal siapapun tentu ingin semua urusanya selesai secepatnya namun bukan dengan labrak sana sini semau sendiri. Apalagi untuk permohonan status Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan survey lapangan untuk memastikan kebenaran alamat dan kelayakan usaha, wawancara seputar gambaran bisnis dan lainnya. Jika tahapan ini dilanggar, siapa yang jamin bahwa setiap pemohon layak dikukuhkan sebagai PKP? Siapa yang jamin nanti kalau suatu saat mereka melakukan transaksi fiktif?
Birokrasi yang profesional hanyalah mungkin terwujud jika perubahan yang diusung ditanggapi profesional oleh masyarakat, termasuk birokrasi yang mengalir didalam tubuh Ditjen Pajak.
Akan tetapi masyarakat tidak boleh lupa, bahwa seprofesional apapun Ditjen Pajak menjalankan tugas tentu masih tetap berpegang teguh dengan prosedur dan kode etik. Disinilah kita semua harus duduk bersama memahami bahwa proses pelayanan yang profersional bukan berarti melulu harus cepat dengan membabat habis tahapan yang mungkin diperlukan sebagai alat kontrol internal.
Saya tergelitik untuk menulis perihal ini dipantik oleh satu peristiwa kecil saat ada seorang wajib pajak dengan status PKP dicabut (Pengusaha Kena Pajak) meminta untuk dikukuhkan kembali. Saya jelaskan kepadanya agar sebaiknya mengajukan permohonan baru saja dengan masa waktu penyelesaian 5 (lima) hari kerja. Ia sendiri sudah sejak Desember 2012 dicabut status sebagai PKP karena pelaporan SPT Masa PPN nya selalu NIHIL. Dan lucunya ia sama sekali tidak tahu bahwa ia sudah dari lama tidak lagi berstatus sebagai PKP. Ini indikasi bahwa kebanyakan dari kita masih cenderung ‘sungkan’ mencari tahu dengan alasan ‘belum perlu’.
Wajib Pajak itu cukup kooperatif dengan segera menyiapkan berkas persyaratan seperti foto lokasi, denah, SITU, SIUP, NPWP dan KTP pimpinan hingga fotokopi akta pendirian. Dan sesaat setelah lengkap ia saya arahkan untuk langsung menyerahkan kelengkapan tersebut ke loket antrian. Ia sempat menyampaikan bahwa ia ingin segera proses ini diselesaikan karena ia berkepentingan untuk menyegerakan urusan dengan rekanan dari kontrak yang sudah selesai ia kerjakan. Saya tersenyum dan menangguk tanda mengerti, lagipula memang begitu kelaziman yang terjadi, dengan alasan ‘butuh cepat’ wajib pajak seperti punya amunisi untuk berharap diprioritaskan.
Setelah berkas ia laporkan, ia masih menemui saya yang intinya memohon agar permohonannya diutamakan segera. Saya menjawab bahwa begitu berkas sudah saya terima dari loket maka akan segera saya kerjakan apa yang menjadi tanggung jawab saya. Wajib pajak tersebut lalu pamit tak lupa sambil menyisipkan kalimat: “Pak kalau memang ada caranya supaya ini bisa cepat selesai, kasih tahu saja ya! Nanti saya siapkan”
Begitulah adanya memang, selalu saja ada alasan demi kepentingan pribadi. Pada cerita diatas, terlihat sekali bahwa wajib pajak tersebut tanpa sadar menunjukkan bahwa pola pikirnya sama sekali belum berubah mengiringi modernisasi di tubuh Ditjen Pajak. Padahal siapapun tentu ingin semua urusanya selesai secepatnya namun bukan dengan labrak sana sini semau sendiri. Apalagi untuk permohonan status Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan survey lapangan untuk memastikan kebenaran alamat dan kelayakan usaha, wawancara seputar gambaran bisnis dan lainnya. Jika tahapan ini dilanggar, siapa yang jamin bahwa setiap pemohon layak dikukuhkan sebagai PKP? Siapa yang jamin nanti kalau suatu saat mereka melakukan transaksi fiktif?
Birokrasi yang profesional hanyalah mungkin terwujud jika perubahan yang diusung ditanggapi profesional oleh masyarakat, termasuk birokrasi yang mengalir didalam tubuh Ditjen Pajak.
Comments
Post a Comment
Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.