Pajak Sebagai Penangkal Teori Kutukan Sumber Daya Alam

Potret buram komoditas sumber daya alam

Realisasi penerimaan target tahun 2012 meradang di kisaran angka 96%. Menteri Keuangan mengatakan bahwa ini dipicu oleh menurunnya pembayaran pajak dari 900 wajib pajak besar yang bergerak di Sektor Dominan dari Perkebunan yakni semisal Kelapa Sawit dan Karet juga dari Pertambangan yaitu Batu Bara dan Timah. Pertanyaanya. Mengapa kelesuan setoran pajak mereka berlaku secara kolektif dan berdampak massif?

Menurunnya setoran pajak sejumlah wajib pajak yang dikemukakan pada paragrap diatas terlihat dari indikasi lesunya produksi agregat sektor tersebut yang tercermin dari defisit perdagangan, dimana nilai impor masih lebih tinggi. Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir tanggal 02 Januari 2013 menunjukkan bahwa total ekspor sepanjang Januari- November 2012 turun 6,25% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Dan dari jumlah total ekspor tersebut porsi sebesar 65,2% berasal dari komoditas Sumber Daya Alam.

Ketika harga komoditas sumber daya alam yang kita miliki sedang tinggi, tentu ini akan memberikan pemasukan yang optimal bagi operasional perusahaan pengelola yang berimbas pada meningkatnya setoran pajak kepada negara, namun begitu terjadi stagnasi harga atau penurunan, maka disaat itulah kebenaran Resource Curse Theory (Teori Kutukan Sumber Daya Alam),yang pernah dibahas ekonom Jeffrey Sachs dan Andrew Warner, terlihat kebenarannya bahwa negeri yang dikaruniai sumber daya alam melimpah justru menjadi bangsa yang tidak maju bila tidak berhati- hati mengelolanya.

Penurunan harga batu bara di pasaran internasional untuk kualitas 6.322 KKal/ Kg menurun tajam menjadi 84 US$ di semester II 2012 dari yang semula 112 US$. Sementara harga karet di pasaran lokal yang sempat berada dikisaran Rp. 13.000- Rp. 22.000/Kg hingga kini anjlok sekitar hanya Rp. 7.000/Kg. Bahkan untuk Sawit, di medio tahun 2012 harganya sempat dibawah Rp. 1.500/Kg. Fakta ini bukan tidak mungkin akan berlangsung sepanjang tahun 2013. Terlebih bila disadari bahwa negeri ini belum mampu menciptakan iklim industri pengolahan yang mampu memberi nilai tambah dan daya saing produk sumber daya alam yang akan dipasarkan. Nilai tiga komoditas utama ini masih turun drastis seiring dengan lesunya permintaan dari negara tujuan ekspor terkait krisis yang melanda Eropa dan Amerika Serikat. Inilah kenyataan yang bisa dimaknai sebagai tantangan bagi jajaran Ditjen Pajak untuk mencari dan menggali potensi penerimaan selain sektor dominan yang berasal dari Sumber Daya Alam (SDA).

Pola kebijakan yang inovatif dan efisien

Potret buram kondisi sektor andalan ini merupakan sinyal bahwa DJP tidak boleh absen melahirkan kebijakan yang inovatif dan efisien. Semua bentuk kebijakan kedepan harus terukur dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki tanpa meninggalkan asas keadilan yang memihak kepada rakyat.

Mari kita lihat Sensus Pajak Nasional. Program ekstensifikasi dengan jemput bola langsung ke lapangan ini berhasil menambah jumlah wajib pajak terdaftar efektif sepanjang dua tahun belakangan. Namun demikian, pendekatan yang digunakan harus berorientasi pada kualitas perolehan data bukan hanya kuantitas angka. Sebab angka hasil objek tersensus akan menjadi tiada guna bila tidak mengandung potensi didalamnya karena tidak ada tindak lanjut yang dapat diambil guna menambah penerimaan.

Penetapan target sensus kepada Kantor Pelayanan Pajak pun harus mempertimbangkan orientasi kualitas agar dalam pelaksanaan di lapangan, para petugas sensus tidak terperangkap dalam pemikiran pragmatis untuk mencapai target angka semata. Sensus Pajak Nasional adalah jalan untuk memperkenalkan pajak lebih dekat kepada masyarakat secara langsung. Namun esensi utamanya lebih dari itu saja yakni bagaimana dengan program ini dapat menambah penerimaan dan memperluas basis pajak.

Selanjutnya adalah wacana pengenaan tarif PPh sebesar 1% atas sektor UMKM dengan omzet hingga Rp 4,8 Milyar. Jelas ini merupakan potensi besar yang selama ini mungkin masuk zona ekonomi bawah tanah (underground economy) dan belum tersentuh pajak secara optimal. Tetapi penerapan rencana yang sudah ada sejak awal tahun lalu ini harus berhadapan dengan pertentangan sejumlah pandangan yang menilai ini kontraproduktif dengan semangat kewirausahaan serta naiknya Tarif Dasar Listrik (TDL) dan Upah Minimum Regional/Provinsi yang tentu akan membebani usaha para pelaku UMKM.

Namun disatu sisi, bagaimanapun harus ada mekanisme yang mengatur agar UMKM yang selama ini lolos sebagai potensi juga harus turut berkontribusi. Terlebih bila dilihat sebagai entitas usaha maka UMKM juga layak dikenai pajak sebagaimana orang pribadi juga demikian. Akan tetapi ini jelas belum mencerminkan asas keadilan secara utuh karena selama ini terkesan bahwa Ditjen Pajak intensif menggali potensi dari usaha yang berskala kecil. Tapi belum optimal terhadap wajib pajak berskala besar, baik Badan maupun Orang Pribadi.

Sudah saatnya para wajib pajak ‘besar’ dibebani tanggung jawab lebih untuk membangun kesadaran bernegara melalui kontribusi lebih dari pajak. Sederhananya, bukan tidak mungkin salah satu alternatif yang dapat diambil adalah dengan menaikkan tarif pajak khusus bagi wajib pajak di lapisan teratas. Ini adalah terobosan yang sama yang diambil Amerika Serikat untuk menghindari defisit anggaran (Jurang Fiskal). Sebuah kebijakan yang sudah selama hampir 4 dekade dihindari Amerika Serikat sejak masa Presiden Ronald Reagen.

Tantangan dan tuntutan di masa mendatang

Dengan semakin meningkatnya beban target penerimaan negara dari pajak, maka DJP dituntut untuk berkinerja lebih melalui inovasi kebijakan yang efisien dan potensial. Kondisi ini sangat sesuai dengan buramnya proyeksi kedepan atas harga komoditi utama yang dijalankan wajib pajak besar yang beberapa tahun belakangan telah menopang dan menjadi andalan penentu pencapaian penerimaan. Semua memang tampak sulit, namun sebagai sebuah keniscayaan maka kita tidak punya pilihan lain juga karena dari sini terlihat bahwa pajak adalah motor utama penggerak negeri kita yang kini terancam oleh kutukan sumber daya alam.

P.S:
-----
Gambar diambil dari sini.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King