Pajak, Kontroversi Daming dan Sensitivitas Kemanusiaan
Rekomendasi pemberhentian dari Komisi Yudisial tertuju kepada Ketua Pengadilan Tinggi Palembang Daming Sunusi lantaran ucapannya tentang pemerkosaan dinilai masuk kategori pelanggaran etik yang pantas diganjar sanksi berat. Bagaimana tidak, dengan enteng seorang Daming berpendapat ihwal hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan sebaiknya dipikirkan ulang karena baik pelaku maupun korban sama- sama menikmati. Dari sini, kontoversi bergulir. Dimata saya Daming bagai tuna nurani saja. Kendali akal budinya entah kemana.
Mari berkaca dari kontrovesi Daming. Benang merah kemanusiaan seorang pribadi yang semula kusut menjadi terurai lewat lisan. Ya. Lisan adalah cermin isi hati dan pikiran. Lewat lisan lah ungkapan Homo Homini Lupus dapat menjadi kebenaran. Sebuah premis sederhana yang patut dipegang siapapun yang mengaku sebagai mahluk sosial.
Terkait Pajak, dalam kehidupan sehari- hari, acap kali kita dihadapkan pada masyarakat awam yang mendiskreditkan institusi Direktorat Jendeal Pajak (DJP). Mereka bisa siapa saja, mulai dari Sopir Angkot, Karyawan Swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian/Badan, Pedagang Kaki Lima atau bahkan dari keluarga dekat kita. Mereka bicara tanpa pengetahuan, kalaupun ada mungkin sangat minim sehingga nature untuk berpikir positif justru termakan oleh opini yang tidak sepenuhnya benar. Pernyataan mereka sesekali bisa jadi menohok harga diri! Contohnya: "Kerja di Pajak ya Mas! Pasti nanti baru setahun kerja sudah bisa beli mobil bagus! Pajak emang gitu sih!"
Respon kita? Panas? Gerah? Terpancing? Geram? Itu wajar! Tapi tunggu sebentar! Sebaiknya usahakan untuk menahan respon reaktif itu dengan menyadari kapasitas mereka. Mengapa? Karena mereka hanya kaum awam yang mendamba kesejahteraan. Bisa jadi mereka adalah golongan yang meyakini konsep bahwa hidup cuma sebatas 'cari makan'. Sesaat saja melihat dari sudut pandang mereka. Melihat dengan hati. Empati. Dengan pertimbangan ini, potensi respon reaktif yang tadi mencuat dapat mengendap dan menyisakan respon sikap yang lebih tenang dan tutur lisan yang positif. Sekaligus menjadi kesempatan mengasah sensitivitas kemanusiaan. Sulit, tapi dapat dipelajari.
Mengapa ini menjadi begitu penting? Sebab menuruti respon reaktif justru akan membuat kita menjadi Daming- Daming Perpajakan yang membuat jarak antara institusi ini dengan masyarakat kian jauh. Bahkan mempertebal resistensi yang memang sudah lama mengendap di pola pikir kebanyakan masyarakat akan Pajak. Proliferasi resistensi ini kotraproduktif dengan agenda modernisasi DJP.
Kontroversi Daming memberi kita pelajaran bahwa sebagai pribadi yang diamanahi peran menjadi pelayan publik, maka setiap ucapan dalam rangka kepentingan publik juga akan membawa kapasitas diri sebagai taruhan. Sensitivitas Kemanusiaan adalah modal utama untuk berbicara dalam kapasitas tersebut. Salah sedikit, bukan tidak mungkin akan melukai batin banyak jiwa. Sebagaimana hal itu juga krusial bagi kita para pegawai sebuah institusi yang hidup ditengah ekspektasi bangsa dan determinasi negara. Itulah Ditjen Pajak. Untuk itu, Daming, sekali lagi, saya ulangi, sudah memberi kita satu pelajaran mahal.
Mari berkaca dari kontrovesi Daming. Benang merah kemanusiaan seorang pribadi yang semula kusut menjadi terurai lewat lisan. Ya. Lisan adalah cermin isi hati dan pikiran. Lewat lisan lah ungkapan Homo Homini Lupus dapat menjadi kebenaran. Sebuah premis sederhana yang patut dipegang siapapun yang mengaku sebagai mahluk sosial.
Terkait Pajak, dalam kehidupan sehari- hari, acap kali kita dihadapkan pada masyarakat awam yang mendiskreditkan institusi Direktorat Jendeal Pajak (DJP). Mereka bisa siapa saja, mulai dari Sopir Angkot, Karyawan Swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian/Badan, Pedagang Kaki Lima atau bahkan dari keluarga dekat kita. Mereka bicara tanpa pengetahuan, kalaupun ada mungkin sangat minim sehingga nature untuk berpikir positif justru termakan oleh opini yang tidak sepenuhnya benar. Pernyataan mereka sesekali bisa jadi menohok harga diri! Contohnya: "Kerja di Pajak ya Mas! Pasti nanti baru setahun kerja sudah bisa beli mobil bagus! Pajak emang gitu sih!"
Respon kita? Panas? Gerah? Terpancing? Geram? Itu wajar! Tapi tunggu sebentar! Sebaiknya usahakan untuk menahan respon reaktif itu dengan menyadari kapasitas mereka. Mengapa? Karena mereka hanya kaum awam yang mendamba kesejahteraan. Bisa jadi mereka adalah golongan yang meyakini konsep bahwa hidup cuma sebatas 'cari makan'. Sesaat saja melihat dari sudut pandang mereka. Melihat dengan hati. Empati. Dengan pertimbangan ini, potensi respon reaktif yang tadi mencuat dapat mengendap dan menyisakan respon sikap yang lebih tenang dan tutur lisan yang positif. Sekaligus menjadi kesempatan mengasah sensitivitas kemanusiaan. Sulit, tapi dapat dipelajari.
Mengapa ini menjadi begitu penting? Sebab menuruti respon reaktif justru akan membuat kita menjadi Daming- Daming Perpajakan yang membuat jarak antara institusi ini dengan masyarakat kian jauh. Bahkan mempertebal resistensi yang memang sudah lama mengendap di pola pikir kebanyakan masyarakat akan Pajak. Proliferasi resistensi ini kotraproduktif dengan agenda modernisasi DJP.
Kontroversi Daming memberi kita pelajaran bahwa sebagai pribadi yang diamanahi peran menjadi pelayan publik, maka setiap ucapan dalam rangka kepentingan publik juga akan membawa kapasitas diri sebagai taruhan. Sensitivitas Kemanusiaan adalah modal utama untuk berbicara dalam kapasitas tersebut. Salah sedikit, bukan tidak mungkin akan melukai batin banyak jiwa. Sebagaimana hal itu juga krusial bagi kita para pegawai sebuah institusi yang hidup ditengah ekspektasi bangsa dan determinasi negara. Itulah Ditjen Pajak. Untuk itu, Daming, sekali lagi, saya ulangi, sudah memberi kita satu pelajaran mahal.
Comments
Post a Comment
Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.