BBM Dan Politik Yang Menyandera

Anggaran Pendapatan Belanja Negara Republik Indonesia makin kedodoran dengan besarnya porsi subsidi energi yang tetap dipertahankan. Apapun motif untuk melanjutkan kebijakan ini, ekses utama sangat terasa pada kebebasan ruang gerak fiskal untuk tujuan pembangunan. Tuntutan pembangunan infrastruktur untuk menopang pembangunan tersandera oleh alokasi tak seimbang yang tertuju dominan untuk subsidi energi sebesar Rp 274,743 Triliun dengan porsi untuk BBM mencapai Rp 193,800 Triliun. Dengan kuota subsidi demikian, sampai titik ini kita masih akan menikmati harga BBM tanpa kenaikan. Namun begitu, pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah Akan Sampai Kapan?


Jawaban dari pertanyaan diatas ada pada peringatan yang disampaikan oleh dua ahli ternama yaitu Michael Klare dalam bukunya The New Geopolitics of Energy dan Daniel Yergin dalam The Quest. Kedua nya memperingatkan bahwa era minyak murah di dunia sudah berakhir (disadur dari Kompas Edisi 25 Januari 2013 Kolom Opini), termasuk di Indonesia. Peringatan itu bukan tanpa alasan, ada beberapa kondisi yang perlu diketahui bersama untuk membuka mata masyarakat agar tidak selalu tergantung kepada kebijakan populis melalui pemberian subsidi yang sifatnya hanya akan menyebabkan masalah yang lebih besar di masa mendatang.

Faktanya adalah Indonesia sudah menjadi Importir Netto Minyak Mentah dan BBM ini dikarenakan kebutuhan akan minyak domestik tidak diiringi oleh peningkatan volume produksi minyak itu sendiri, akibatnya untuk mencegah kerugian yang lebih besar maka impor menjadi pilihan. Hal ini didukung pula oleh minimnya eksplorasi kilang- kilang minyak baru sehingga ladang minyak mentah dalam negeri hingga kini sebagian besar adalah kilang dari ladang yang ditemukan lebih dari tiga dekade silam. Ihwal eksplorasi bukanlah hal yang mudah, tingginya biaya dan rendahnya rasio keberhasilan temuan dalam sejumlah eksplorasi menjadi tantangan sendiri yang hingga kini belum terpecahkan.

Ini berarti kita tengah dihadapkan pada realita bahwa volume produksi minyak secara alamiah akan terus menurun ditengah peningkatan kebutuhan yang melonjak. Ini akan menjadi tanda bahwa beban biaya impor bukan tidak mungkin akan terus meningkat untuk mengejar pemenuhan kebutuhan yang belum tertutupi tersebut. Ditambah dengan subsidi yang tetap dipertahankan maka jelas APBN akan makin tersedot untuk membiayai dua keadaan tersebut. Sejauh ini jalan tengah yang diambil pemerintah adalah dengan melakukan pembatasan alokasi subsidi secara bertahap dan berkelanjutan selama beberapa tahun. Kebijakan ini aman untuk jangka menengah karena menekan dampak inflasi, meredam potensi kekacauan psikologis sosial di masyarakat dan mencegah defisit APBN yang terancam meruyak.

Akan tetapi, kebijakan jalan tengah ini belum mampu menjawab untuk jangka panjang, apakah kita akan terus menerus memberikan subsidi dengan mempertaruhkan pembangunan lewat alokasi belanja modal yang kian tidak berimbang? Saya kira tidak. Ini artinya kenaikan BBM hanya soal waktu, tidak ada pilihan lain. Sekarang atau pasca 2014?

Politik yang menyandera

Ada garis perbedaan yang sangat jelas antara ekonomi dan politik dalam sebuah proses pengambilan keputusan, dalam lingkup ekonomi, keputusan harus segara diambil dan dijalankan namun dalam politik keputusan adalah objek yang dapat terus diperdebatkan sampai keputusan ini menjadi tidak lagi relevan. Efektivitas sinergi dua sudut pandang ini akan menentukan hasil akhir. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini BBM adalah komoditi politik untuk mendapatkan simpati di tingkat akar rumput. Apalagi kini Partai Politik tengah memoles citra terkait agenda elektoral pemilu 2014.

Dominasi politik di panggung kehidupan bernegara di negeri ini begitu kental terasa. Sejarah mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir belum pernah ada sebuah keputusan yang tegas untuk mengakhiri kebijakan karitatif terkait BBM. Padahal cengkaraman porsi subsidi BBM yang besar telah membuat bangsa ini terseok- seok menuju pemerataan kesejahteraan. Arah kebijakan yang diambil cenderung populis dan ‘cari aman’ dengan mengatasnamakannya pada tujuan untuk mencegah kekacauan/ kepanikan sosial. Harapan akan munculnya kepemimpinan yang tegas dan berani kembali dipenjara oleh kepentingan politik secara temporal kaum elitis.

Meski begitu, pencarian simpati publik oleh elit politik dengan menentang kenaikan BBM sudah tidak bisa lagi terus dibiarkan. Karena ini sama dengan memberikan keuntungan secara politis bagi elite namun menyengsarakan negara di masa mendatang kelak. Ekses utamanya adalah akan semakin menumpuknya hutang dan semakin tertinggalnya pembangunan infrastruktur. Alhasil, negeri ini akan memanen kekacauan sosial akibat terbatasnya ruang gerak fiskal yang menahun.

Kenaikan BBM, mungkin akan menjadi pil pahit yang harus kita telan untuk menyembuhkan daya tahan fiskal. Akan tetapi, agar negeri ini bisa mengejar ketertinggalan di sektor lain yang selama ini tersandera hiruk pikuk politik, hal tersebut merupakan sebuah keharusan. Kita sudah tidak punya banyak waktu untuk terus berdebat. Politik sudah tidak boleh lagi menyandera. Negeri ini harus mengambil langkah berani untuk menjadi sejahtera, sebenar- benarnya sejahtera.

P.S:
-----
Gambar diambil dari harian berdikarionline via google..

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja