Indonesia Dalam Jebakan Negara Menengah (?)

Dalam angka PDB, Indonesia adalah Brazil, Afrika Selatan dan Korea Selatan di antara tahun 1975- 1980. Dengan kisaran PDB di posisi USD 3600, Indonesia diprediksi akan masuk kelompok negara dengan skala ekonomi yang besar. Ekspektasi ini bukan tanpa sebab, tren peningkatan PDB sejak tahun 1975 telah menunjukkan peningkatan Indonesia dari negara berpendapatan rendah menjadi kelompok berpendapatan menengah. Ketersediaan sumber daya alam serta berlimpahnya tenaga kerja usia produktif (surplus demografi) adalah alasan laju pertumbuhan tersebut mendapatkan sokongan. Setidaknya sokongan yang memampukan Indonesia masuk ke jajaran negara berpendapatan menengah. Euforia berlanjut dengan proyeksi optimistis. Indonesia akan tumbuh menjadi negara maju (?).

Jika diperhatikan hingga kondisi terkini. Kemajuan Indonesia bertumpu pada sektor- sektor yang mengandalkan produksi bahan baku sebagai komoditas utama. Artinya perekonomian kita masih berbasis bahan baku yang jumlahnya terbatas karena dipasok oleh sumber daya alam. Sementara fakta surplus demografi yang kini tengah kita nikmati juga bersifat temporal selama beberapa dekade saja, ini artinya ada hal yang lebih dari kedua poin tersebut yang harus dipersiapkan untuk mewujudkan ekspektasi yang digadang- gadangkan ke kita. Kedua hal tersebut harus dipahami sejak dini agar kita tidak terperangkap dalam kebanggan yang berujung disorientasi.

Mari berkaca kepada negara maju yang menjadi kiblat perkembangan ekonomi dunia saat ini. Sebut saja Republik Rakyat China. Di zaman Mao, China adalah negara tertutup yang terputus dari arus dinamika global. Pasca era Mao, China berbenah dari hal yang paling mendasar. Membangun sentra industri di beberapa wilayah sandaran utama yang menyerap ribuan tenaga kerja lokal dan menarik investasi dari luar hingga Triliunan Dollar. Dari pergerakan lokal, China membangun secara nasional. Perlahan, seluruh provinsi di China menyentuh nikmat pembangunan melalui tingginya konektivitas yang diprogramkan pemerintahan Deng Xiaoping. Hasil produksi industri dalam negeri China dapat merambah setiap penduduk di wilayah negeri tersebut. Ekonomi China meroket, industri negeri ini memberi ruang bagi optimalisasi potensi sumber daya alam dan kreativitas penduduknya serta lebih jauh lagi menyediakan sarana distribusi dan pasarnya. Dan akhirnya China adalah negara dengan ekonomi terkuat nomor dua di dunia dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 13% (pertumbuhan tertinggi di dunia).

Dari China kita belajar bahwa negeri itu juga pernah berada dalam posisi kita kini. Fokus strategi yang mereka terapkan untuk memacu pembangunan adalah penguatan sektor industri pengolahan sumber daya alam agar memiliki nilai tambah yang tinggi dan membangun keterhubungan antar wilayah China yang luas melalui penyediaan infrastruktur penghubung yang memadai. Mari melihat kedalam kondisi kita kini dan saya kira kita akan menemukan fakta yang kontraproduktif atas ekspektasi optimistis yang kini melambung. Ini adalah tantangan sekaligus ancaman.

Kesadaran bahwa kita masih banyak berbenah adalah mutlak demi mewujudkan mimpi menjadi negara maju. Dari segi basis ekonomi, Indonesia memang tengah dibanjiri arus investasi lokal dan asing. Namun, industrialisasi yang ada lebih menempatkan posisi Indonesia sebagai pemasok bahan baku untuk dijual ke asing tanpa terlebih dahulu mengolahnya supaya memiliki nilai tambah. Kasarnya, industrialisasi hanya menjadikan lahan sumber daya alam negeri ini sebagai perahan kepentingan kapitalis dan kelompok korporatokrasi dunia. Ini menyebabkan negeri ini hidup dalam ironi tak berkesudahan dalam doktrin keberlimpahan. Industrialisasi penyokong pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang sejati adalah industri yang memberi kesempatan luas bagi pemain dalam negeri untuk memberi nilai tambah pada bahan baku yang ada dan tidak membuat manusia selaku pelaku industri tidak tergradasi semata menjadi buruh yang dinilai secara rupiah.

Sementara itu, dari aspek ketersediaan infrastruktur pun harus diakui bahwa kita memang masih kedodoran. Masih banyak wilayah tak tersentuh pembangunan. Dan memang perlu diingat bahwa Indonesia bukan hanya Jawa, lebih khusus lagi bukan hanya Jakarta. Pemerintah juga belum berani dengan frontal mengubah pakem sistem anggaran yang memanjakan subsidi dan belanja non- modal dengan alasan kestabilan sosial. Efek yang sudah pasti dari minimnya infrastruktur ini adalah ekonomi biaya tinggi dan pembangunan yang tidak merata. Harapan Indonesia bertumpu pada MP3EI (2011-2025) (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang dicanangkan pada medio tahun 2011. Infrastruktur yang memadai adalah sebuah harga mati untuk mengangkat posisi Indonesia menjadi negara maju. Sebab, pembiaran secara sistematis atas minimnya insfrastruktur akan membuat Indonesia jatuh pada jebakan utama negara berpendapatan menengah (middle-income country’s trap).

Menurut Global Competitiveness Report 2010- 2011 Indonesia menempati peringkat 82 dari 139 negara dalam hal pilar infrastruktur. Ini masih tertinggal jauh dari negara tetangga semisal Malaysia (30) ,Thailand (35) dan Singapura (5). Kita dikejar oleh Vietnam yang skala agregat perekonomiannya masih jauh dibawah kita. Sementara dalam hal rincian kualitas infrastruktur negeri ini juga masih begitu memprihatinkan. Sebut saja kualitas pasokan listrik (82/139), infrastruktur kereta api (96/139) dan infrastruktur pelabuhan (56/139). Kondisi yang miris ini sesuai dengan kenyataan di lapangan yang kita lihat seputar soal jalan darat yang buruk, kondisi kereta api yang jauh dari nyaman dan minimnya daya angkut pelabuhan antar pulau.

Pembangunan Infrastruktur dan Reorientasi Industri adalah dua hal pendukung utama untuk menyelamatkan Indonesia dari pusaran ekonomi dalam negeri yang berputar jalan ditempat dengan segala polemiknya. Bagaimanapun, kita adalah negeri yang beruntung dikaruniai limpahan sumber daya alam dengan periode surplus demografi. Tapi kedua hal tersebut menjadi tidak relevan lagi jika dijadikan sandaran untuk bisa beranjak menjadi negara maju. Sebab tren ekonomi dunia menunjukkan bahwa penguatan infrastruktur dan Optimlaisasi Industri akan memungkinkan lahirnya inovasi dan teknologi yang menjadi basis ekonomi dunia terkini.

Tanpa adanya hal tersebut, harapan untuk membawa negeri ini pada kejayaan pembangunan hanyalah kebanggan yang sarat ilusi. Ini adalah apa yang terjadi dengan Brazil dan Afrika Selatan setelah 20 tahun yang lalu kedua negara ini pernah bersama berada di posisi yang sama dengan negeri ginseng, Korea Selatan. Belajarlah dari pengalaman, wahai Indonesia!

P.S:
#1. Gambar diambil dari sini.
#2. Data diambil dari Blog BAPPENAS.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja