Tax Ratio. Dilemma lies between GNI & GDP
Mengutip tulisan Andi Candra dalam artikel 'Membentuk Bangsa Yang Mandiri Melalui Pajak' yang dimuat didalam Situs Pajak pada hari Kamis, 22 Nopember, 2012-13:32, dikatakan bahwa "Tax Ratio menunjukkan berapa besar rupiah kenaikan penerimaan pajak akibat meningkatnya Produk domestik Bruto (PDB) sebesar satu rupiah. Dengan bahasa yang lebih sederhana Tax Ratio (TR) didefenisikan sebagai perbandingan antara "penerimaan perpajakan (X) dengan PDB (Y)". Definisi Tax Ratio yang demikian merupakan definisi yang dipakai setiap negara anggota OECD (Organization of Economic Cooperation and Development).
Menarik untuk dicermati dalam formulasi Tax Ratio versi OECD ini adalah penggunaan PDB Produk Domestik Bruto) atau GDP (Gross Domestic Product) sebagai angka dasar pembagi Penerimaan Pajak (TX). PDB dapat dimaknai sebagai angka kumulatif bruto atas kegiatan perekonomian yang terjadi didalam sebuah negara dalam konteks batas geografis. Definisi ini mengandung pengertian bahwa perhitungan PDB tidak memperhatikan siapa pelaku kegiatan ekonomi tersebut. Bisa dimaklumi perihal ini sebagai konsekuensi logis era globalisasi yang mulai memasuki ekonomi dalam negeri, sebut saja CAFTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ini menyebabkan pelaku ekonomi yang dimaknai dalam PDB juga meliputi warga negara asing yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Secara tren, PDB Indonesia cenderung meningkat setiap tahun bahkan muncul proyeksi optimistis bahwa dengan parameter PDB, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 di tahun 2040. Indikator makro yang menggembirakan.
Tren menanjak ini bisa dilihat dari salah satu unsur PDB yakni Foreign Direct Investment Inflows & Outflow atau FDI I/O yakni yang didefinisikan Krugman (1994) sebagai arus modal internasional dimana perusahaan di suatu negara mendirikan atau memperluas perusahaanya di negara lain. Berikut sederet Indikator Foreign Direct Investment Inflows & Outflow Indonesia, yang menunjukkan kecenderungan proporsi investasi asing yang meningkat dari tahun ke tahun, dari Bank Dunia, silahkan dibuka di file yang penulis sertakan dalam tulisan ini.
Terlihat dari data tabel tersebut bahwa persentase arus modal masuk dari negara luar cenderung lebih tinggi dari pada arus modal dalam negeri yang dibawa ke luar. Sehingga ini merupakan indikator bahwa PDB mengandung nilai yang bukan benar- benar milik atau dapat dimiliki bangsa Indonesia.
Masalah kemudian muncul, bila demikian kondisinya dan PDB tetap digunakan sebagai dasar perhitungan maka sesungguhnya kita tengah menghitung Tax Ratio dengan dasar pendapatan yang tidak benar-benar kita nikmati. Mengapa demikian? Karena sebagian pendapatan tersebut justru dinikmati oleh investor asing seiring tingginya gairah investasi di Indonesia, dan tidak ada jaminan kuat bahwa kemajuan investasi kita bisa diiringi secara linier oleh kemampuan sektor perpajakan dalam negeri menjalankan peranannya. Artinya banyak potensi penerimaan dan kepatuhan dari kemajuan investasi dan proyek infrastruktur yang belum sepenuhnya tergali demi kepentingan penerimaan dalam negeri dari perpajakan.
Pertanyaannya. Kemudian apa adil menjadikan PDB sebagai dasar perhitungan?
Selama ini ada unsur pendapatan nasional selain PDB yang meski kalah populer tetapi lebih mengena bila diimplementasikan dalam konteks menghitung Rasio Pajak, karena ini lebih mencerminkan kemampuan kemandirian bangsa dalam menghimpun penerimaan pajak dan menunjukkan kemampuan murni dalam negeri oleh masyarakat nya sendiri. Itulah PNB atau Gross National Income (GNI), atau Pendapatan Nasional Bruto. Sehingga perhitungan Rasio Pajak dengan membagi TX dan GNI bisa menjadi alternatif dalam memaknai kemampuan kemandirian bangsa dari pajak, bukan sekedar ketahanan atau pertumbuhan semu. Sebab, makna kemandirian bangsa berbeda dengan ketahanan bangsa. Ketahanan bangsa belum tentu menunjukkan bahwa bangsa tersebut mandiri sementara kemandirian bangsa bisa mendorong terbitnya daya tahan suatu bangsa. Berikut disertakan beberapa perbandingan Rasio Pajak dengan dasar PDB dan PNB dengan data sumber dari Bank Dunia, silahkan dibuka di file yang penulis sertakan dalam tulisan ini.
Dari perbandingan yang ditunjukkan tabel diatas terlihat nilai Rasio Pajak dari dua dasar perhitungan yang berbeda. Dari sisi keadilan (fairness), dalam konteks pergaulan ekonomi internasional tentu penggunaan PDB sebagai dasar perhitungan adalah sebuah keniscayaan, sehingga menjadi sebuah keharusan yang wajib diikuti untuk mengukur diri dengan parameter global. Tetapi dalam memandang secara introspektif maka ini bisa menjadi semacam renungan bahwa kita masih berkesempatan untuk terus memperbaiki diri agar bisa mengikuti tuntutan ekonomi global yang menerapkan standar yang saat ini masih terasa berat untuk sepenuhnya diikuti. Melihat kedalam dengan parameter GNI atau PNB ini bisa menumbuhkan kesadaran bahwa secara fluktuatif kita telah terus bertumbuh dan membangun. Melihat keluar, PDB sebagai standar dapat menjadi double-knife blade (pisau bermata dua), sebagai pendorong atau justru demotivator. Tapi setidaknya, ketika banyak opini memandang belum optimalnya kinerja Rasio Pajak dari TR/PDB ada pijakan yang melandasi pandangan dari sisi lain (bukan sekedar justifikasi) yakni TX/PNB.
wow, analisa yg bagus...
ReplyDelete@Edi: thanks for visiting :-)
ReplyDelete