Mengapresiasi Kinerja Ditjen Pajak: Kiprah, Tantangan dan Arah Kebijakan
Tahun 2012 tersisa kurang dari dua minggu. Kegaduhan selebrasi budaya pergantian tahun masehi sudah mulai terasa, sebagian mungkin ingin sisa hari di tahun ini berlalu cepat, sebagian bisa jadi tidak, termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebab masa dua minggu tersebut adalah masa- masa yang menentukan tercapai tidaknya target pemenuhan setoran penerimaan negara demi menggerakkan pembangunan. Tahun 2012 ini target total dari PPh Migas dan Non Migas menembus angka Rp. 1032,57 T. Ditengah resesi global yang melanda kawasan Amerika dan Eropa yang ditengarai menuju fiscal cliff (Jurang Fiskal, yang terjadi akibat defisit anggaran) sudah tentu Direktorat Jenderal Pajak harus bekerja ekstra keras untuk memperjuangkan pencapaian target yang ditetapkan. Sebab kuantitas ekspor yang tertuju ke pasar kedua kawasan tersebut mengalami penurunan, belum lagi ditambah gempuran permissif produk impor mengakibatkan industri dalam negeri sedikit gagap dan goncang.
Meski dilanda kondisi eksternal global dan internal lokal yang demikian lesu, tetapi lewat program intensifikasi dan ekstensifikasi berkelanjutan serta penegakan hukum di tubuh internal Direktorat Jenderal Pajak bisa dipastikan bahwa hingga akhir tahun 95% dari target tersebut dapat tercapai sebagaimana diucapkan oleh Direktur Jenderal Pajak Bapak Fuad Rahmani, adapun jumlah pencapaian tersebut setara dengan 13,80% pertumbuhan dari penerimaan pajak tahun 2011. Intensifikasi intensif dilakukan Ditjen Pajak lewat pembersihan secara fundamental atas sektor Pajak Pertambahan Nilai dengan mendata kembali Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang masih layak memegang status tersebut, program ini kemudian ditindaklanjuti dengan mekanisme penerbitan faktur pajak secara digital bagi Pengusaha yang memenuhi persyaratan. Serangkaian program sistematis ini akan dapat menjaring semua transaksi secara menyeluruh sehingga meminimalisir kebocoran potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Dari sisi ekstensifikasi, DJP memperluas basis pajak dengan turun langsung ke lapangan melalui Sensus Pajak Nasional Tahap II. Melalui Sensus, potensi di lapangan yang selama ini belum terjaring kelayakannya untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dapat terdeteksi dan ditindaklanjuti serta disaat yang sama juga menjalankan intensifikasi atas potensi yang selama ini mungkin belum tergali.
Yang cukup menarik untuk dicermati adalah dari segi penegakan hukum (law enforcement), DJP sejauh ini merupakan satu- satunya instansi yang berani melakukan ‘bersih- bersih’ secara inovatif dan total. Sebagai instansi yang memegang peranan vital penyokong pembangunan, perihal ini memang sangat ditunggu- tunggu khalayak. Langkah nyata yang dilakukan DJP adalah meluncurkan program WBS atau Whistle Blowing System yakni sebuah program yang membuka saluran kepada seluruh jajaran DJP atas pengaduan penyimpangan yang dilakukan oknum internal DJP sendiri. WBS terbukti optimal menjaring dan memberantas tindakan disintegritas yang menciderai amanah mulia instansi ini. Implementasi diskursus komitmen kuat DJP dalam penegakan hukum juga tergambar dalam Nota Kesepahaman yang dijalin bersama POLRI dan Kejaksaan. Perjanjian Tripartit ini merupakan landasan kerja sama yang menjadi modal utama DJP untuk terus melakukan terobosan. Dan yang paling mutakhir adalah kebijakan DJP menempatkan pejabat dari Komisi Pemberantasan Korupsi di Direktorat Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak sebagai Direktur sebuah unit yang merupakan jantung pertahanan penegakan hukum yang didambakan. Sebuah keberanian dan komitmen yang layak ditiru instansi lain dalam kerangka melanjutkan Reformasi Birokrasi menuju Indonesia yang lebih baik.
Kilas Balik Kiprah Satu Dekade
Sejak satu dekade terakhir DJP telah dibebani tugas untuk menyokong porsi pembiayaan pembangunan dalam jumlah yang kian besar. Dibanding tahun 2002, target penerimaan pajak di tahun 2012 telah melonjak hingga 473,33%, ini menandakan dinamisasi kehidupan bangsa kian menuntut kemandirian fiskal yang harus dipenuhi demi kesuksesan pembangunan. Beragam tuntutan multiaspek dari tahun ke tahun terus meningkat, ini tercermin dalam APBN tahunan yang mencantumkan target penerimaan negara dari pajak yang juga terus meningkat dengan rata- rata pertumbuhan target (2002- 2012) mencapai 19,86%. Sejarah mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir DJP telah menjalankan tugas tersebut dengan pencapaian realisasi dari target berkisar di persentase terendah 94,31% (2009) dan mencapai surplus 100,02% (2004) serta 106,84% (2008). Dalam tabel berikut dipaparkan komparasi pencapaian (realisasi) terhadap target penerimaan. (Silahkan cek di file terlampir)
Memenuhi target yang telah ditetapkan merupakan tugas yang sulit untuk dipenuhi sehubungan dengan keterbatasan dana operasional yang dianggarkan untuk DJP. Dari catatan, besaran biaya operasional DJP dalam menjalankan tugas sepanjang satu dekade tidak pernah lebih besar dari 0,50% (setara dengan Rp. 2.358, 31 T) dari realisasi yang telah dicapai. Apresiasi tertuju kepada DJP karena dengan fakta tersebut tercatat bahwa efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas telah dilakukan dengan cermat. Tanpa membawa tendensi apapun, besaran biaya operasional tersebut masih jauh dibawah Jepang, Australia atau Singapura yang berada di kisaran 0,9- 1,0%.
Prestasi yang dicapai DJP dalam satu dekade belakangan juga mencakup perbaikan pelayanan dan nilai integritas. Kepuasan Wajib Pajak tercatat membaik seiring program modernisasi berkelanjutan yang dicanangkan. Ini tercermin dari meningkatnya pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) yang terakhir berada rasio kepatuhan sebesar 62,50% di tahun 2012, ini hampir dua kali lipat dari tingkat kepatuhan 10 tahun silam (33,45%). Secara tidak langsung ini menunjukkan kepercayaan masyarakat kepada DJP perlahan mulai pulih dan ini menumbuhkan kesadaran untuk berkontribusi bagi pembangunan. Aspek Integritas DJP pun dinilai baik oleh Komite Pemberantasan Korupsi dengan memperoleh poin 7,65 di tahun 2011, angka ini lebih tinggi dari standar minimal yang ditetapkan sebesar 6,00 dan lebih tinggi dari rata- rata 15 unit yang disurvei yaitu 6,40 (skala 0,00 – 10,00).
Situasi perkembangan terkini makin menunjukkan bahwa kiprah DJP dalam pembangunan negara kian sentral dan vital. Peran penerimaan negara dari pajak dalam mengisi APBN makin dominan diatas angka 74% lebih. Kiprah DJP juga makin memainkan peranan penting bila mengingat bahwa negara ini tidak mungkin terus menerus menggantungkan diri kepada pembiayaan dari Utang. Kemandirian adalah keniscayaan. Selama satu dekade perjalanan DJP, persentase Utang didalam APBN mengalami penurunan seiring peningkatan peran kontribusi penerimaan negara dari pajak dan memang nilai Utang Luar Negeri perlahan harus dikeluarkan dalam unsur APBN. Dengan kondisi bahwa di tahun 2012, nilai Utang Republik Indonesia mencapai Rp 1.816 T atau setara 30% dari PDB, ini merupakan sebuah sinyal bahwa DJP harus siap dihadapkan pada amanah sekaligus kiprah yang lebih besar. Dibawah ini tersaji data komparasi Utang Republik Indonesia terhadap PDB dalam rentang tahun 2004- 2009. (Silahkan cek di file terlampir)
Peningkatan penerimaan negara dari pajak selama satu dekade terakhir ini telah memampukan negara menyelenggarakan program untuk mensejahterakan masyarakat dalam beberapa aspek mendasar seperti kesehatan, pendidikan, penyediaan modal usaha kecil dan menengah, subsidi energi (PLN dan BBM). Dalam skala makro, alokasi penerimaan negara dari pajak yang terus meningkat telah secara perlahan membuka kemungkinan untuk memperbaiki dan membangun infrastruktur secara fundamental berkelanjutan. Ini menjadi sangat penting karena Infrastruktur adalah syarat utama agar Republik Indonesia dapat beranjak dari negara berkembang menjadi negara maju, sebagaimana dikatakan oleh Robert Zoellick bahwa banyak negara berkembang sulit beranjak menjadi negara maju dikarenakan faktor Infrastruktur yang belum mendukung.
Tantangan dan Rekomendasi Kebijakan Strategis
Meningkatkan Kesadaran Masyarakat
Peran vital DJP sebagai instansi yang diamahi tugas penghimpun penerimaan negara harus berhadapan dengan realita masih rendahnya kesadaran partisipasi masyarakat mengenai perpajakan, sebagai perbandingan bahwa dengan jumlah penduduk mencapai 240 Juta jiwa, jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi per April 2012 hanya sebesar 22 Juta, padahal dengan asumsi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 24,3 Juta/ Tahun, maka jumlah yang bisa terjaring akan lebih dari itu, ini selaras dengan standar Bank Dunia mengenai garis kemiskinan yang ditetapkan di angka Rp 6,12 Juta/ Tahun dan disandingkan dengan Pendapatan Per Kapita tahun 2012 Republik Indonesia sebesar Rp 31,80 Juta/ Tahun. Adapun jumlah Wajib Pajak Terdaftar sebanyak 22 Juta orang tersebut, di tahun 2011 menanggung kontribusi penerimaan sebesar Rp 200 T yang dialokasi untuk fasilitas umum yang dinikmati kurang lebih 218 Juta jiwa lainnya.
Terkadang, masyarakat banyak yang belum memiliki NPWP bukan karena mereka enggan berurusan dengan pajak, tapi justru karena mereka belum paham dan kebingungan ihwal apa yang harus mereka lakukan terkait kewajiban perpajakan. Dan ada banyak sekali masyarakat yang berpenghasilan diatas PTKP Rp. 24,3 Juta/ Tahun yang dapat menjadi target sosialisasi. Menilik kepada situasi ini, sosialiasi dari DJP harus kian gencar dijalankan hingga ke jajaran yang terdekat dengan masyarakat serta dengan melibatkan unsur pemerintahan lokal sebagai pendukung. Sosialisasi secara umum dapat dibedakan menjadi sosialisasi langsung kepada sasaran dan ada juga dengan cara yang koersif positif. Cara yang kedua ini adalah dengan menjadikan NPWP sebagai unsur pokok setiap pemenuhan kewajiban administratif publik yang dilakukan masyarakat. Sehingga masyarakat akan tergerak untuk mendaftarkan diri mendapatkan NPWP. Khususnya mereka yang berpenghasilan bersih di atas PTKP.
Potensi Kerugian dari Meningkatnya PTKP
Kebijakan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak menjadi Rp. 24,3 Juta/ Tahun dari semula Rp 15,84 Juta/ Tahun secara tidak langsung tentu mempengaruhi jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi Terdaftar di kemudian hari karena ini akan membuat penambahan jumlah Wajib Pajak menjadi lebih berat. Potensi penerimaan Pajak Penghasilan yang hilang juga tidak bisa dikesampingkan. Walau memang potensi lain muncul dari sektor Pajak atas Konsumsi seiring meningkatnya daya beli karena kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Namun bukankah masyarakat yang berasal dari golongan menengah ke atas tidak akan terpengaruh pola konsumsinya? Jadi dengan kata lain, tidak akan ada jaminan bahwa pengalihan potensi dari PPh ke PPN akan berujung pada perolehan kompensasi yang sama besar atau lebih. Justru ini menjadi potential loss yang baru sebab masyarakat kelas menengah tidak akan berubah volume konsumsinya lantaran kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sebaliknya dampak penambahan potensi akan dapat diperoleh bila selain menaikkan PTKP juga diiringi dengan kebijakan untuk menyesuaikan tarif bagi Wajib Pajak Orang Pribadi di lapisan tertinggi. Sehingga potensi kehilangan yang ada di saat PTKP dinaikkan dapat tertutupi dengan kenaikan pola konsumsi dan daya beli masyarakat menengah ke bawah ditambah dengan kenaikan potensi penerimaan dari PPh masyarakat kelas menengah ke atas yang disesuaikan.
Goyahnya Kepercayaan Publik
Belakangan ini penangkapan oknum pelaku perbuatan disintegritas di tubuh DJP kembali marak, sebagian menilai ini adalah wujud nyata keberhasilan komitmen penegakan hukum di tubuh Ditjen Pajak. Tapi sayangnya, sebagian lagi menilai lain dengan berpendapat bahwa ini adalah cerminan modernisasi yang gagal. Itu soal hak dan perspektif, DJP berhak untuk tidak terpengaruh opini miring tersebut dan terus berkarya. Namun demikian, dipandang perlu untuk meluruskan persepsi publik perihal penangkapan tersebut. Demi menjamin pemahaman publik agar sejalan dengan komitmen modernisasi berkelanjutan di tubuh DJP.
Penangkapan-penangkapan tersebut adalah buah nyata dari program WBS bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi yang diangkat media secara gencar adalah bahwa hal tersebut adalah aksi solo KPK, dan DJP hanya mendapat luapan hujatan emosi publik yang sejak dulu memang dilanda mad of anger. Sudah saatnya bagi DJP tampil mengemuka lebih terdepan di segala lini kehidupan bermasyarakat demi menumbuhkan pemahaman masyarakat bahwa komitmen ‘bersih- bersih’ di tubuh DJP bukan lagi sekedar berputar di tataran wacana semata. Caranya? Dengan mengoptimalkan media informasi lebih gencar lagi agar DJP lebih dapat mempromosikan diri perihal peran dan urgensi keberadaannya demi pembangunan, sebab media adalah sarana edukasi masyarakat yang efektif.
Penutup
Sederetan fakta kondisi terkini yang dihadapi DJP merupakan tantangan tersendiri yang harus selalu diatasi demi terhimpunya penerimaan negara untuk membiayai pembangunan. Kiprah DJP selama satu dekade belakangan ini adalah bukti nyata kontribusi DJP dalam membangun negeri kian sentral dan vital dan kedepan, DJP pun tak lepas dari tantangan yang harus dihadapi demi terwujudnya Republik Indonesia yang mandiri dan bermartabat sehingga diperlukan kebijakan- kebijakan dan terobosan untuk menghadapi tantangan tersebut.
P.S:
------
#Gambar diambil dari sini
#Data Disarikan dari berbagai sumber:
-APBN dan Nota Keuangan 2002- 2012
-Slide Kuliah Pengantar Keuangan Publik Milik Sampurna Budi Utama
-Badan Pusat Statistik
-Internet (www.pajak.go.id)
#Artikel ini dimuat juga disini
Meski dilanda kondisi eksternal global dan internal lokal yang demikian lesu, tetapi lewat program intensifikasi dan ekstensifikasi berkelanjutan serta penegakan hukum di tubuh internal Direktorat Jenderal Pajak bisa dipastikan bahwa hingga akhir tahun 95% dari target tersebut dapat tercapai sebagaimana diucapkan oleh Direktur Jenderal Pajak Bapak Fuad Rahmani, adapun jumlah pencapaian tersebut setara dengan 13,80% pertumbuhan dari penerimaan pajak tahun 2011. Intensifikasi intensif dilakukan Ditjen Pajak lewat pembersihan secara fundamental atas sektor Pajak Pertambahan Nilai dengan mendata kembali Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang masih layak memegang status tersebut, program ini kemudian ditindaklanjuti dengan mekanisme penerbitan faktur pajak secara digital bagi Pengusaha yang memenuhi persyaratan. Serangkaian program sistematis ini akan dapat menjaring semua transaksi secara menyeluruh sehingga meminimalisir kebocoran potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Dari sisi ekstensifikasi, DJP memperluas basis pajak dengan turun langsung ke lapangan melalui Sensus Pajak Nasional Tahap II. Melalui Sensus, potensi di lapangan yang selama ini belum terjaring kelayakannya untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dapat terdeteksi dan ditindaklanjuti serta disaat yang sama juga menjalankan intensifikasi atas potensi yang selama ini mungkin belum tergali.
Yang cukup menarik untuk dicermati adalah dari segi penegakan hukum (law enforcement), DJP sejauh ini merupakan satu- satunya instansi yang berani melakukan ‘bersih- bersih’ secara inovatif dan total. Sebagai instansi yang memegang peranan vital penyokong pembangunan, perihal ini memang sangat ditunggu- tunggu khalayak. Langkah nyata yang dilakukan DJP adalah meluncurkan program WBS atau Whistle Blowing System yakni sebuah program yang membuka saluran kepada seluruh jajaran DJP atas pengaduan penyimpangan yang dilakukan oknum internal DJP sendiri. WBS terbukti optimal menjaring dan memberantas tindakan disintegritas yang menciderai amanah mulia instansi ini. Implementasi diskursus komitmen kuat DJP dalam penegakan hukum juga tergambar dalam Nota Kesepahaman yang dijalin bersama POLRI dan Kejaksaan. Perjanjian Tripartit ini merupakan landasan kerja sama yang menjadi modal utama DJP untuk terus melakukan terobosan. Dan yang paling mutakhir adalah kebijakan DJP menempatkan pejabat dari Komisi Pemberantasan Korupsi di Direktorat Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak sebagai Direktur sebuah unit yang merupakan jantung pertahanan penegakan hukum yang didambakan. Sebuah keberanian dan komitmen yang layak ditiru instansi lain dalam kerangka melanjutkan Reformasi Birokrasi menuju Indonesia yang lebih baik.
Kilas Balik Kiprah Satu Dekade
Sejak satu dekade terakhir DJP telah dibebani tugas untuk menyokong porsi pembiayaan pembangunan dalam jumlah yang kian besar. Dibanding tahun 2002, target penerimaan pajak di tahun 2012 telah melonjak hingga 473,33%, ini menandakan dinamisasi kehidupan bangsa kian menuntut kemandirian fiskal yang harus dipenuhi demi kesuksesan pembangunan. Beragam tuntutan multiaspek dari tahun ke tahun terus meningkat, ini tercermin dalam APBN tahunan yang mencantumkan target penerimaan negara dari pajak yang juga terus meningkat dengan rata- rata pertumbuhan target (2002- 2012) mencapai 19,86%. Sejarah mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir DJP telah menjalankan tugas tersebut dengan pencapaian realisasi dari target berkisar di persentase terendah 94,31% (2009) dan mencapai surplus 100,02% (2004) serta 106,84% (2008). Dalam tabel berikut dipaparkan komparasi pencapaian (realisasi) terhadap target penerimaan. (Silahkan cek di file terlampir)
Memenuhi target yang telah ditetapkan merupakan tugas yang sulit untuk dipenuhi sehubungan dengan keterbatasan dana operasional yang dianggarkan untuk DJP. Dari catatan, besaran biaya operasional DJP dalam menjalankan tugas sepanjang satu dekade tidak pernah lebih besar dari 0,50% (setara dengan Rp. 2.358, 31 T) dari realisasi yang telah dicapai. Apresiasi tertuju kepada DJP karena dengan fakta tersebut tercatat bahwa efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas telah dilakukan dengan cermat. Tanpa membawa tendensi apapun, besaran biaya operasional tersebut masih jauh dibawah Jepang, Australia atau Singapura yang berada di kisaran 0,9- 1,0%.
Prestasi yang dicapai DJP dalam satu dekade belakangan juga mencakup perbaikan pelayanan dan nilai integritas. Kepuasan Wajib Pajak tercatat membaik seiring program modernisasi berkelanjutan yang dicanangkan. Ini tercermin dari meningkatnya pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) yang terakhir berada rasio kepatuhan sebesar 62,50% di tahun 2012, ini hampir dua kali lipat dari tingkat kepatuhan 10 tahun silam (33,45%). Secara tidak langsung ini menunjukkan kepercayaan masyarakat kepada DJP perlahan mulai pulih dan ini menumbuhkan kesadaran untuk berkontribusi bagi pembangunan. Aspek Integritas DJP pun dinilai baik oleh Komite Pemberantasan Korupsi dengan memperoleh poin 7,65 di tahun 2011, angka ini lebih tinggi dari standar minimal yang ditetapkan sebesar 6,00 dan lebih tinggi dari rata- rata 15 unit yang disurvei yaitu 6,40 (skala 0,00 – 10,00).
Situasi perkembangan terkini makin menunjukkan bahwa kiprah DJP dalam pembangunan negara kian sentral dan vital. Peran penerimaan negara dari pajak dalam mengisi APBN makin dominan diatas angka 74% lebih. Kiprah DJP juga makin memainkan peranan penting bila mengingat bahwa negara ini tidak mungkin terus menerus menggantungkan diri kepada pembiayaan dari Utang. Kemandirian adalah keniscayaan. Selama satu dekade perjalanan DJP, persentase Utang didalam APBN mengalami penurunan seiring peningkatan peran kontribusi penerimaan negara dari pajak dan memang nilai Utang Luar Negeri perlahan harus dikeluarkan dalam unsur APBN. Dengan kondisi bahwa di tahun 2012, nilai Utang Republik Indonesia mencapai Rp 1.816 T atau setara 30% dari PDB, ini merupakan sebuah sinyal bahwa DJP harus siap dihadapkan pada amanah sekaligus kiprah yang lebih besar. Dibawah ini tersaji data komparasi Utang Republik Indonesia terhadap PDB dalam rentang tahun 2004- 2009. (Silahkan cek di file terlampir)
Peningkatan penerimaan negara dari pajak selama satu dekade terakhir ini telah memampukan negara menyelenggarakan program untuk mensejahterakan masyarakat dalam beberapa aspek mendasar seperti kesehatan, pendidikan, penyediaan modal usaha kecil dan menengah, subsidi energi (PLN dan BBM). Dalam skala makro, alokasi penerimaan negara dari pajak yang terus meningkat telah secara perlahan membuka kemungkinan untuk memperbaiki dan membangun infrastruktur secara fundamental berkelanjutan. Ini menjadi sangat penting karena Infrastruktur adalah syarat utama agar Republik Indonesia dapat beranjak dari negara berkembang menjadi negara maju, sebagaimana dikatakan oleh Robert Zoellick bahwa banyak negara berkembang sulit beranjak menjadi negara maju dikarenakan faktor Infrastruktur yang belum mendukung.
Tantangan dan Rekomendasi Kebijakan Strategis
Meningkatkan Kesadaran Masyarakat
Peran vital DJP sebagai instansi yang diamahi tugas penghimpun penerimaan negara harus berhadapan dengan realita masih rendahnya kesadaran partisipasi masyarakat mengenai perpajakan, sebagai perbandingan bahwa dengan jumlah penduduk mencapai 240 Juta jiwa, jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi per April 2012 hanya sebesar 22 Juta, padahal dengan asumsi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 24,3 Juta/ Tahun, maka jumlah yang bisa terjaring akan lebih dari itu, ini selaras dengan standar Bank Dunia mengenai garis kemiskinan yang ditetapkan di angka Rp 6,12 Juta/ Tahun dan disandingkan dengan Pendapatan Per Kapita tahun 2012 Republik Indonesia sebesar Rp 31,80 Juta/ Tahun. Adapun jumlah Wajib Pajak Terdaftar sebanyak 22 Juta orang tersebut, di tahun 2011 menanggung kontribusi penerimaan sebesar Rp 200 T yang dialokasi untuk fasilitas umum yang dinikmati kurang lebih 218 Juta jiwa lainnya.
Terkadang, masyarakat banyak yang belum memiliki NPWP bukan karena mereka enggan berurusan dengan pajak, tapi justru karena mereka belum paham dan kebingungan ihwal apa yang harus mereka lakukan terkait kewajiban perpajakan. Dan ada banyak sekali masyarakat yang berpenghasilan diatas PTKP Rp. 24,3 Juta/ Tahun yang dapat menjadi target sosialisasi. Menilik kepada situasi ini, sosialiasi dari DJP harus kian gencar dijalankan hingga ke jajaran yang terdekat dengan masyarakat serta dengan melibatkan unsur pemerintahan lokal sebagai pendukung. Sosialisasi secara umum dapat dibedakan menjadi sosialisasi langsung kepada sasaran dan ada juga dengan cara yang koersif positif. Cara yang kedua ini adalah dengan menjadikan NPWP sebagai unsur pokok setiap pemenuhan kewajiban administratif publik yang dilakukan masyarakat. Sehingga masyarakat akan tergerak untuk mendaftarkan diri mendapatkan NPWP. Khususnya mereka yang berpenghasilan bersih di atas PTKP.
Potensi Kerugian dari Meningkatnya PTKP
Kebijakan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak menjadi Rp. 24,3 Juta/ Tahun dari semula Rp 15,84 Juta/ Tahun secara tidak langsung tentu mempengaruhi jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi Terdaftar di kemudian hari karena ini akan membuat penambahan jumlah Wajib Pajak menjadi lebih berat. Potensi penerimaan Pajak Penghasilan yang hilang juga tidak bisa dikesampingkan. Walau memang potensi lain muncul dari sektor Pajak atas Konsumsi seiring meningkatnya daya beli karena kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Namun bukankah masyarakat yang berasal dari golongan menengah ke atas tidak akan terpengaruh pola konsumsinya? Jadi dengan kata lain, tidak akan ada jaminan bahwa pengalihan potensi dari PPh ke PPN akan berujung pada perolehan kompensasi yang sama besar atau lebih. Justru ini menjadi potential loss yang baru sebab masyarakat kelas menengah tidak akan berubah volume konsumsinya lantaran kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sebaliknya dampak penambahan potensi akan dapat diperoleh bila selain menaikkan PTKP juga diiringi dengan kebijakan untuk menyesuaikan tarif bagi Wajib Pajak Orang Pribadi di lapisan tertinggi. Sehingga potensi kehilangan yang ada di saat PTKP dinaikkan dapat tertutupi dengan kenaikan pola konsumsi dan daya beli masyarakat menengah ke bawah ditambah dengan kenaikan potensi penerimaan dari PPh masyarakat kelas menengah ke atas yang disesuaikan.
Goyahnya Kepercayaan Publik
Belakangan ini penangkapan oknum pelaku perbuatan disintegritas di tubuh DJP kembali marak, sebagian menilai ini adalah wujud nyata keberhasilan komitmen penegakan hukum di tubuh Ditjen Pajak. Tapi sayangnya, sebagian lagi menilai lain dengan berpendapat bahwa ini adalah cerminan modernisasi yang gagal. Itu soal hak dan perspektif, DJP berhak untuk tidak terpengaruh opini miring tersebut dan terus berkarya. Namun demikian, dipandang perlu untuk meluruskan persepsi publik perihal penangkapan tersebut. Demi menjamin pemahaman publik agar sejalan dengan komitmen modernisasi berkelanjutan di tubuh DJP.
Penangkapan-penangkapan tersebut adalah buah nyata dari program WBS bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi yang diangkat media secara gencar adalah bahwa hal tersebut adalah aksi solo KPK, dan DJP hanya mendapat luapan hujatan emosi publik yang sejak dulu memang dilanda mad of anger. Sudah saatnya bagi DJP tampil mengemuka lebih terdepan di segala lini kehidupan bermasyarakat demi menumbuhkan pemahaman masyarakat bahwa komitmen ‘bersih- bersih’ di tubuh DJP bukan lagi sekedar berputar di tataran wacana semata. Caranya? Dengan mengoptimalkan media informasi lebih gencar lagi agar DJP lebih dapat mempromosikan diri perihal peran dan urgensi keberadaannya demi pembangunan, sebab media adalah sarana edukasi masyarakat yang efektif.
Penutup
Sederetan fakta kondisi terkini yang dihadapi DJP merupakan tantangan tersendiri yang harus selalu diatasi demi terhimpunya penerimaan negara untuk membiayai pembangunan. Kiprah DJP selama satu dekade belakangan ini adalah bukti nyata kontribusi DJP dalam membangun negeri kian sentral dan vital dan kedepan, DJP pun tak lepas dari tantangan yang harus dihadapi demi terwujudnya Republik Indonesia yang mandiri dan bermartabat sehingga diperlukan kebijakan- kebijakan dan terobosan untuk menghadapi tantangan tersebut.
P.S:
------
#Gambar diambil dari sini
#Data Disarikan dari berbagai sumber:
-APBN dan Nota Keuangan 2002- 2012
-Slide Kuliah Pengantar Keuangan Publik Milik Sampurna Budi Utama
-Badan Pusat Statistik
-Internet (www.pajak.go.id)
#Artikel ini dimuat juga disini
Comments
Post a Comment
Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.