Pajak & Kestabilan Sosial
Ironi Konflik Tak Berkesudahan
Pusaran polemik nasional yang belakangan marak mengemuka sejatinya adalah akumulasi dari konflik multidimensi di banyak wilayah yang dalam jangka panjang dibiarkan mencari solusi nya sendiri. Konflik tersebut sebagian menguap, sebagian lagi mengendap menjadi sedimentasi rapuh yang dengan mudah menyulut emosi massa secara massif. Ambil contoh konflik yang terjadi di Way Panji (Lampung), Mesuji (Sumatera Selatan) dan Abepura (Papua) atau beberapa konflik yang terjadi di sepanjang tahun 2012 ini. Wilayah- wilayah tersebut tercatat pernah dilanda konflik sosial sebab pasal sepele yang tidak sepatutnya membuat kestabilan sosial sebagai harga mahal. Ini juga termasuk konflik sosial sarat ironi yang melanda Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) beberapa pekan silam terkait kelangkaan dan ketidakadilan distribusi persediaan minyak. Semua polemik tersebut mau tidak mau, suka tidak suka telah menyadarkan kita bahwa efek berantai terujung sebuah konflik pada akhirnya akan menimpa masyarakat dan berpengaruh kepada kestabilan sosial dalam negeri.
Konflik memang sulit untuk dihindari, sesempurna apapun kita mencoba menata hidup dan kehidupan. Namun memetakan konflik dan mengelolanya adalah sebuah seni tersendiri yang mutlak diperlukan untuk meminimalisir dampak yang bisa lebih destruktif serta untuk mencegah kemungkinan munculnya gesekan baru pemicu konflik yang bisa jadi datang di kemudian hari. Dalam diskursus kehidupan nasional, konflik yang kadung terjadi sudah tidak bisa lagi direduksi menjadi dikotomi konflik sosial dan non-sosial. Mengapa? Karena pemicunya adalah konflik multidimensi di banyak wilayah sehingga skala penanganannya pun sebaiknya mengalir dalam mekanisme top- down. Ya, keadilan dan angin segar itu harus datang dari atas dan dialirkan kebawah hingga ke tingkat akar rumput yang menyentuh lapisan masyarakat terbawah sebagai mata rantai terakhir suatu hirarki kenegaraan. Di tataran realita kenegaraan, analogi keadilan dan angin segar tersebut dapat merujuk pada kekuatan ekonomi yang lebih besar untuk menangkal instabilitas sosial, kekuatan ekonomi tersebut tersedia untuk dibagikan secara adil menurut porsi kebutuhan. Dari konteks kekinian, maka kekuatan ekonomi itu adalah hasil penerimaan dari Pajak.
Korelasi linier Pajak dan Kestabilan Sosial
Ilustrasi sederhana mengenai keterkaitan antar keduanya bisa diwakilkan dalam satu urgensi kekuatan negara membiayai pembangunan dalam kehidupan bisnis yang makin kompleks. Tugas pokok sebuah negara untuk menyediakan kehidupan yang berkeadilan, makmur dan sejahtera bagi rakyatnya akan lebih optimal dijalankan dengan dukungan kekuatan dana yang mandiri, dalam hal ini penerimaan negara dari pajak. Sebuah goncangan dapat terjadi di satu sendi pembangunan bila upaya pengamanan penerimaan negara dari pajak tidak tercapai, sebab sudah jelas ini akan menyebabkan pembangunan melambat. Perihal ini merupakan kesadaran yang harus dijaga secara kolektif oleh seluruh elemen bangsa ditengah binar pencantuman Indonesia dalam senarai negara yang tangguh disaat ekonomi Amerika dan Eropa dilanda kelesuan menuju fiscal cliff (penurunan tajam oleh deficit anggaran). Peran pajak sebagai penopang ketangguhan ekonomi bangsa menjadi sangat penting terutama untuk mewujudkan percepatan pembangunan infrastruktur ke penjuru negeri. Penguatan infrastruktur sebagai aspek belanja modal adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk ketahanan jangka panjang.
Ironisme yang sudah kita sama- sama tahu, bahwa belanja modal di RAPBN 2013 (disahkan Agustus 2012) tidak lebih tinggi dari belanja pegawai dan belanja subsidi (subsidi BBM Rp 193,8 T dan subsidi PLN Rp 80,1 T). Kondisi ini semestinya tidak perlu dihadapi atau kelak mungkin dapat teratasi jika penerimaan negara dari pajak bertambah signifikan. India memberi contoh abainya pemerintah terhadap aspek infrastruktur justru membuat negara ini tidak mampu mengimbangi dinamika ekonomi dunia yang justru pada akhirnya menenggelamkan angka pertumbuhan ekonominya secara tajam di angka 3-4%. Pada akhirnya ketimpangan pembangunan di satu sendi dapat memicu kekecewaan secara pelan dalam jangka waktu yang panjang, terakumulasi mengendap menjadi bom waktu yang meledak menjadi konflik sehingga mengganggu kestabilan sosial. Kondisi yang tidak patut terjadi jika ekonomi dalam negeri bisa berdiri tangguh mandiri lewat penerimaan pajak. Karena ketangguhan dan kemandirian ekonomi adalah salah satu jalan untuk menciptakan keadilan di tiap penjuru negeri, membuka peluang untuk mensejahterakan masyarakat, meredam gesekan penyulut konflik yang sekali lagi dapat membuat keutuhan bangsa gagap sekaligus ringkih.
Pusaran polemik nasional yang belakangan marak mengemuka sejatinya adalah akumulasi dari konflik multidimensi di banyak wilayah yang dalam jangka panjang dibiarkan mencari solusi nya sendiri. Konflik tersebut sebagian menguap, sebagian lagi mengendap menjadi sedimentasi rapuh yang dengan mudah menyulut emosi massa secara massif. Ambil contoh konflik yang terjadi di Way Panji (Lampung), Mesuji (Sumatera Selatan) dan Abepura (Papua) atau beberapa konflik yang terjadi di sepanjang tahun 2012 ini. Wilayah- wilayah tersebut tercatat pernah dilanda konflik sosial sebab pasal sepele yang tidak sepatutnya membuat kestabilan sosial sebagai harga mahal. Ini juga termasuk konflik sosial sarat ironi yang melanda Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) beberapa pekan silam terkait kelangkaan dan ketidakadilan distribusi persediaan minyak. Semua polemik tersebut mau tidak mau, suka tidak suka telah menyadarkan kita bahwa efek berantai terujung sebuah konflik pada akhirnya akan menimpa masyarakat dan berpengaruh kepada kestabilan sosial dalam negeri.
Konflik memang sulit untuk dihindari, sesempurna apapun kita mencoba menata hidup dan kehidupan. Namun memetakan konflik dan mengelolanya adalah sebuah seni tersendiri yang mutlak diperlukan untuk meminimalisir dampak yang bisa lebih destruktif serta untuk mencegah kemungkinan munculnya gesekan baru pemicu konflik yang bisa jadi datang di kemudian hari. Dalam diskursus kehidupan nasional, konflik yang kadung terjadi sudah tidak bisa lagi direduksi menjadi dikotomi konflik sosial dan non-sosial. Mengapa? Karena pemicunya adalah konflik multidimensi di banyak wilayah sehingga skala penanganannya pun sebaiknya mengalir dalam mekanisme top- down. Ya, keadilan dan angin segar itu harus datang dari atas dan dialirkan kebawah hingga ke tingkat akar rumput yang menyentuh lapisan masyarakat terbawah sebagai mata rantai terakhir suatu hirarki kenegaraan. Di tataran realita kenegaraan, analogi keadilan dan angin segar tersebut dapat merujuk pada kekuatan ekonomi yang lebih besar untuk menangkal instabilitas sosial, kekuatan ekonomi tersebut tersedia untuk dibagikan secara adil menurut porsi kebutuhan. Dari konteks kekinian, maka kekuatan ekonomi itu adalah hasil penerimaan dari Pajak.
Korelasi linier Pajak dan Kestabilan Sosial
Ilustrasi sederhana mengenai keterkaitan antar keduanya bisa diwakilkan dalam satu urgensi kekuatan negara membiayai pembangunan dalam kehidupan bisnis yang makin kompleks. Tugas pokok sebuah negara untuk menyediakan kehidupan yang berkeadilan, makmur dan sejahtera bagi rakyatnya akan lebih optimal dijalankan dengan dukungan kekuatan dana yang mandiri, dalam hal ini penerimaan negara dari pajak. Sebuah goncangan dapat terjadi di satu sendi pembangunan bila upaya pengamanan penerimaan negara dari pajak tidak tercapai, sebab sudah jelas ini akan menyebabkan pembangunan melambat. Perihal ini merupakan kesadaran yang harus dijaga secara kolektif oleh seluruh elemen bangsa ditengah binar pencantuman Indonesia dalam senarai negara yang tangguh disaat ekonomi Amerika dan Eropa dilanda kelesuan menuju fiscal cliff (penurunan tajam oleh deficit anggaran). Peran pajak sebagai penopang ketangguhan ekonomi bangsa menjadi sangat penting terutama untuk mewujudkan percepatan pembangunan infrastruktur ke penjuru negeri. Penguatan infrastruktur sebagai aspek belanja modal adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk ketahanan jangka panjang.
Ironisme yang sudah kita sama- sama tahu, bahwa belanja modal di RAPBN 2013 (disahkan Agustus 2012) tidak lebih tinggi dari belanja pegawai dan belanja subsidi (subsidi BBM Rp 193,8 T dan subsidi PLN Rp 80,1 T). Kondisi ini semestinya tidak perlu dihadapi atau kelak mungkin dapat teratasi jika penerimaan negara dari pajak bertambah signifikan. India memberi contoh abainya pemerintah terhadap aspek infrastruktur justru membuat negara ini tidak mampu mengimbangi dinamika ekonomi dunia yang justru pada akhirnya menenggelamkan angka pertumbuhan ekonominya secara tajam di angka 3-4%. Pada akhirnya ketimpangan pembangunan di satu sendi dapat memicu kekecewaan secara pelan dalam jangka waktu yang panjang, terakumulasi mengendap menjadi bom waktu yang meledak menjadi konflik sehingga mengganggu kestabilan sosial. Kondisi yang tidak patut terjadi jika ekonomi dalam negeri bisa berdiri tangguh mandiri lewat penerimaan pajak. Karena ketangguhan dan kemandirian ekonomi adalah salah satu jalan untuk menciptakan keadilan di tiap penjuru negeri, membuka peluang untuk mensejahterakan masyarakat, meredam gesekan penyulut konflik yang sekali lagi dapat membuat keutuhan bangsa gagap sekaligus ringkih.
Setuju mas bro, besar kecilnya penerimaan dari sektor pajak memang bisa menjadi tolok ukur sebuah negara atas kemakmuran dan kestabilan ekonomi masyarakatnya, namun sayangnya kesadaran membayar pajak masyarakat kita masih rendah dengan ditandai masih kecilnya tax ratio kita.
ReplyDeleteTapi dengan komitmen dan kerja keras Dirjen Pajak serta dukungan dan partisipasi dari masyarakat pembayar pajak saat ini, saya yakin suatu saat nanti pajak akan mampu menciptakan keadilan dan kemakmuran serta mengurangi gesekan sosial di masyarakat.
@Sigit: terima kasih Mas. Kuat nya tekad DJP berhadapan dengan rapuhnya kepercayaan masyarakat. TRUST lagi2 menjadi barang mahal. tapi kl ini sbg tantangan maka jalan terus saja kita sampai nanti semua terbuka matanya. :D
ReplyDelete