Melepas Ego di Gunung Raung


Siang itu ditengah angin kencang, udara dingin, hujan dan kabut pekat, pada ketinggian beberapa puluh meter di bawah Puncak Sejati Gunung Raung 3332mdpl, sekelompok anak muda tengah berjuang untuk meneruskan pendakian. Dan, saat berteduh di sebuah tepi cekungan dibawah Puncak Tusuk Gigi, ternyata disanalah perjuangan yang sebetulnya baru akan terjadi. Puncak Tusuk Gigi, puncak ketiga setelah Puncak Bendera dan Puncak Kemukus.

Adalah aku Ebas (Erikson Bin Asli Azis), Joneh (Bagus Pujo Trilaksono), Poski (Surahman), Ichank (Ichsan Permana) dan Tople (Chairus Topan), keenam pemuda yang tepat pada 24 Desember 2011 kemarin berjibaku dalam dingin dan hujan untuk memenuhi mimpi kami menuju Puncak Sejati Raung dengan dipandu oleh Cak Nyung (Josinyo) dari REGASSPALA.

Apa yang terjadi didetik- detik siang itu, merupakan momen yang sangat berkesan dan akan terkenang selalu. Sebuah momen tentang apa yang oleh Norman Edwin sebut kan dalam kuotasi terkenalnya yang kurang lebih berbunyi: "Bukan Gunung yang kita taklukan tapi diri kita sendiri".

Setelah melewati medan hutan dan tiba di batas vegetasi, semua dari kami sepertinya mulai terperanjat dalam diam, aku yakin ada semacam sensasi komplek ketika melihat hamparan medan karang membentuk bukit terjal menjadi atap hutan hijau nan berkabut dibawah sana, turun naik meliuk- liuk membentuk lajur menuju beberapa titik yang lebih tinggi diatas sana.

Kami terus mengikuti jalur trek bebatuan dan cuaca masih cukup cerah menjanjikan. Hijau hutan dibawah sana lantang terlihat. Dan medan masih cukup landai untuk menuju puncak pertama yaitu Puncak Bendera. Ketika menuju Puncak Bendera ini, ada semacam tumpukan bebatuan yang terjadi secara alamiah betul- betul menakjubkan. Dan ketika sudah tiba di Puncak Bendera, kami bersiap untuk turun menapaki lembah menuju puncak selanjutnya yaitu Puncak Kemukus. Perjalanan menuju puncak Kemukus ini tidak mudah, untuk turun kami memilih cara aman dengan menggunakan webbing.

Tidak ada pilihan lain selain menggantungkan diri menuju jalan ke bawah berpegangan tangan pada seutas webbing, beberapa dari kami yang tidak biasa dengan kondisi ini harus berjuang lebih kuat mempertahankan keyakinan untuk bisa sampai ke bawah, termasuk aku. Disaat ini, hujan mulai turun, udara dingin mulai menyergap kencang dan kabut perlahan menghalangi jarak pandang. Ichank bertanya apa akan diteruskan? Dan berkata: "Kondisi mulai tidak memungkinkan, mungkin sebaiknya inilah puncak sejati kita, disini!! Apa kita yakin akan tetap lanjut?!!!". Aku jawab: "Lanjut!!!"

Saat semua sudah sampai dibawah, kami kembali meneruskan perjalanan menuju Puncak Kemukus, (beberapa menyebutnya Puncak 17 Agustus), dan ketika tiba di puncak ini, udara makin dingin, ditambah medan yang makin berat membuat pegangan tangan pada batu karang menjadi tidak kuat, sementara untuk mencapai Puncak Sejati masih ada satu puncak lagi yaitu Puncak Tusuk Gigi. Alam benar- benar tidak bisa ditebak, memang sepanjang trekking kemarin kami dirundung hujan, namun menurut informasi terakhir di pos awal, kondisi ini jarang terjadi di Puncak sana.

Karena hujan makin deras, angin kian kencang dan dingin kian menyergap serta kabut yang tambah pekat kami memutuskan untuk beristirahat sebentar menunggu kondisi mereda di sebuah cekungan di tepi tebing tepat dibawah puncak Tusuk Gigi. Tapi nyatanya, kondisi tidak membaik sementara kami juga dikejar waktu agar bisa segera turun kebawah secepatnya. Saat itu aku masih ingin meneruskan hingga ke Puncak Sejati, tekad ku sudah bulat (atau nekad?) namun di tim ternyata Joneh, Ichank dan Tople memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan. Hanya Poski yang bersedia lanjut. Dari sini, konflik bermula.

Lebih ngeri dari itu semua adalah kilatan petir ditengah gemuruh awan pada langit hujan, Cak Nyung memberikan peringatan untuk kembali mempertimbangkan dengan kondisi petir ini. Setelah kembali meyakinkan semua anggota tim akhirnya fixed bahwa Joneh, Tople dan Ichank menunggu dibawah, ditengah dingin hanya berlindung jas hujan dan sedikit ransum. Sementara aku dan Poski akan tetap menuju Puncak Sejati. Bendera- bendera titipan saudara dari Bekasi sudah aku pegang untuk dibawa keatas dan dikibarkan. Joneh, Tople dan Ichank memberikan semangat dalam diam mereka. Kami semua speechless. Belum pernah aku seemosional ini dalam sebuah pendakian.

Tapi di titik ini, saat semua kami terdiam merenungi kondisi yang benar- benar tidak terduga ini, Poski dan Cak Nyung berdiskusi berdua dalam bahasa Jawa, dan suasana kembali berubah. Kondisi ku yang sempat kelelahan ketika trekking dari camp 8 ke Pos 4 membuat Cak Nyung khawatir jika aku turut serta keatas, terkesan dipaksakan tanpa menimbang resiko apalagi medannya tentu lebih berat karena menanjaki bebatuan sambil dikepung udara dingin, khawatir nanti akan membuat waktu tempuh lebih lama sementara waktu kami terbatas dan tentu akan membuat mereka bertiga menunggu lebih lama dibawah bertahan dalam dingin, bagaimana kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan?

Aku paham maksud nya sampai disini, intinya Cak Nyung selaku pemandu kami, khawatir bila aku ikut serta keatas, namun beliau segan untuk menyampaikannya mengingat aku begitu bersemangat menggebu- gebu sejak awal. Poski yang menyampaikan kepadaku, sambil menawarkan solusi supaya cukup ia dan Cak Nyung saja yang keatas dengan memberikan pertimbangan kondisi medan yang berat, fisikku yang sempat drop di bawah tadi. Aku keberatan saat itu! Puncak Sejati sudah terlihat sangat dekat dari tempat kami beristirahat, bagaimana mungkin aku dengan mudah melepasnya, setelah dua bulan lebih aku merindukannya!!

Gambaran- gambaran euforia pendakian Raung beberapa minggu lalu pun melayang- layang didalam benakku. Ketika hunting alat, ketika pesan tiket yang useless, ketika mencari pelarian ke Gunung Gede, ketika latihan fisik, ketika main ke Cibogo, ah terlebih lagi bila ingat tahun depan aku sudah pindah domisili ke Sumatera Selatan, maka entah kapan lagi aku bisa mendaki Raung ini. Semacam obsesi. Mulailah, disini pertarungan yang melibatkan ego/ambisi menuju puncak Sejati dengan sikap berbesar hati makin memuncak. Bagai orkestra dengan segala instrumen yang dimainkan dengan nada yang tinggi, lalu meninggi dan meninggi kemudian makin meninggi. Tapi, tiba- tiba berhenti. Klimaks, Lalu tenang dan Terdiam.

"Bang, abang kan tadi sempat drop dibawah, kalau kita paksakan keatas bertiga nanti takutnya abang gak bisa cepat ngikutin kita, malah memperlambat, jadi kasihan dengan mereka bertiga yang menunggu dibawah, kelamaan kedinginannya, apalagi kan kita diburu jadwal kereta besok. Atau cukup aku dan Cak Nyung aja yang keatas, abang menunggu disini saja sama mereka, lebih meminimalkan resiko itu, kami paling 2 jam saja sudah balik lagi kesini. Gimana Bang?" Poski berkata.

"Ya sudahlah, aku tunggu disni saja sama mereka. Kalian berdua yang keatas" Aku jawab demikian sambil mengingat- ingat kembali alat- alat yang mungkin perlu mereka bawa keatas, termasuk bendera Caracol Veneno, Nandjak Adventure dan Bendera Merah Putih lalu menyerahkannya. Lalu Poski dan Cak Nyung mulai menuruni jalur menuju puncak Tusuk Gigi hingga akhirnya tiba di Puncak Sejati. Saat itu aku mulai mencoba memaknai pendakian ini sebagai pendakian oleh satu team, bukan secara personal yang kebetulan sedang bersama. Hingga aku rela melepas raungan ego, ditengah kondisi alam yang sedang tidak bisa ditebak dapat saja membahayakan, penuh resiko.

Dua jam selanjutnya aku habiskan bersama Joneh, Tople dan Ichank sambil berlindung jas hujan, kami menyalakan api untuk menghangatkan diri. Sesekali badai berlalu, kabut pekat lewat berganti cerah, namun sesaat kemudian datang lagi bersama hujan, sampai dua jam berselang, Poski dan Cak Nyung kembali lagi, walau belum sepenuhnya lepas namun setidaknya saat itu aku mulai belajar memandang keutuhan kebersamaan ini atas nama satu tim. Keberhasilan Poski dan Cak Nyung sampai ke Puncak Sejati kucoba untuk kumaknai sebagai keberhasilan tim ini. Bendera yang dititipkan sudah berhasil dikibarkan. Kami berjalan kembali untuk pulang ke pos peristirahatan dibawah sana.

"Don't look back and keep walking". Begitu seharusnya, namun sesekali aku masih sempat menoleh kebelakang melihat puncak sejati dari kejauhan, secara personal aku memang tidak mencapai Puncak Sejati, namun secara mental aku telah berhasil mencapai puncak yang lebih tinggi yaitu puncak penaklukan ego untuk tidak melawan alam dan bersifat realistis terhadap kondisi diri dan keadaan. Sebuah pembelajaran baru yang aku dapat dari pendakian Gunung Raung. Gunung yang bagiku sepertinya bukan hanya sekedar gunung namun lebih dari itu seperti guru yang keras dalam menempa para pendaki yang ingin memaknai arti sebuah pendakian. Ditengah hujan, dingin dan kabut, Puncak Sejati makin jauh terlihat namun kenangan dan pelajaran darinya makin dekat dan terasa sayang untuk dilepas.

Keesokan harinya:

Aku sudah di bandara Juanda Surabaya, pulang mendahului Tople, Ichank, Poski dan Joneh karena dikejar jadwal Yudisium yang wajib diikuti dikampus ku. Bagai manusia dengan jiwa yang baru saja aku disini. Pagi disini sudah ramai, riuh rendah suara calon penumpang beradu pelan dengan bunyi derit troli kereta dorong mereka. Tapi suara gemuruh suasana kemarin siang di Puncak Raung sana marih meraung kencang memberi tanda untuk selalu ingat tentang makna sebuah pendakian, kebersamaan dan lebih jauh lagi adalah tentang kehidupan.

Alhamdulillah ya ALLAH, semoga hamba dan saudara- saudara sependakian kemarin termasuk dalam golongan hambaMU yang dapat mengambil pelajaran, Amin.

Diatas langit Surabaya, Pesawat Garuda Citylink ini terbang membawaku menuju Jakarta menderukan mesin seperti sedang membuang obsesi ku mencapai Puncak Sejati dan menggantinya dengan setumpuk pelajaran berharga nan tak ternilai. Bukan lah gunung yang kita taklukan namun diri kita sendiri.

Oh ya, hari ini aku Yudisium, statusku sudah bukan Mahasiswa lagi, tinggal menunggu masa magang dan akhirnya kembali kekantor, insyaALLAH di Palembang, Sumatera Selatan.

P.S:
-----
Untuk foto- foto di puncak Sejati, file nya belum terkumpul.

Comments

  1. Wah bagus cerita oleh-oleh pendakiannya son, sayang juga sih ya udah tinggal dikit lagi nyampe puncak padahal..

    btw km dah pasti pulang kampung nanti penempatannya?enakan di sini aja son, lihat monas hehe good luck yah..

    ReplyDelete
  2. @Seagate: dibilang sayang ya sayang.. tp begitu deh,, dari sini sekalian belajar memaknai suatu pendakian :D. Udah Mas, tp belum pengumuman penempatan, mintanya memang ke Palembang, hahaha.. yang ada Monasnya yang bosan ngeliat saya Mas.. :)

    ReplyDelete
  3. salam kenal dari anak Bondowoso
    keren pengalamannya bang. btw regasspala tuh bisa bantu mendampingi buat mendaki puncak sejati ?

    ReplyDelete
  4. @absori: ya bisa, memang mereka sering nemenin. Recommended deh pokoknya, mereka murni nemenin g pasang tarif apa lagi cari2 duit, kecuali kl urusan ojek ke pos entry poin yaa.. mereka siap sampai kawah juga malah hahaha.. salam kenal juga, trims dah mampir.

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja