Cerita Porter Gunung


Ketika sekelompok orang, mungkin aku salah satunya, memaknai sebuah pendakian sebagai sebuah pelarian dari hingar bingar kehidupan, atau dengan sederet alasan filosofis lainnya, maka ada sebagian kelompok yang lain beranggapan bahwa mendaki gunung untuk menyambung hidup, mereka adalah para porter (pengangkut barang). Dan, memang begitu kenyataannya, keberadaan mereka para porter bisa dengan cukup mudah ditemui misalnya di Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Namanya Roni, berkepala plontos, dengan senyum ramah dan polos. Usianya baru 19 Tahun, aku berkenalan dengannya Juni lalu ketika mendaki Rinjani, ia diminta pihak Balai Taman Nasional Gunung Rinjani untuk menjadi porter yang akan menemani perjalanan aku dan kedua temanku. Awalnya aku menyangsikan tubuh mungilnya untuk mengangkat barang- barang kami yang berat. Namun, entah betisnya yang khilaf atau tubuhnya yang kalap, tapi kedua pundaknya seperti tampak biasa dibebani dua keranjang penuh isi, kakinya pun tetap lincah untuk sedikit berlari. Agak malu juga aku kalau sempat tertinggal jauh jadinya.

Di waktu istirahat, kami bercerita tentang apapun seputar Gunung Rinjani, sampai ke pengalaman Roni menjadi porter, yang intinya bahwa menjadi porter bagi penduduk kampung gerbang masuk kawasan pendakian Rinjani sudah menjadi semacam pekerjaan tetap disamping pekerjaan mereka sebagai petani musiman, mereka menyambung hidup dengan naik turun gunung. Upah yang mereka terima lumayan besar daripada menggantung hidup sebagai petani, itu kenapa pilihan menjadi porter lebih menarik, apalagi jika yang dibantu adalah pendaki dari luar negeri, mereka kadang terkenal royal.

Satu hal yang mereka antisipasi adalah ketika pihak balai menutup kawasan di periode Desember- Januari biasanya, disitu tidak ada aktivitas pendakian, sehingga banyak dari mereka mengalihkan sumber pencaharian dengan menjadi buruh kasar musiman di Malaysia dan kembali lagi menjadi porter bila jalur sudah dibuka kembali.

Haha, yang lucu adalah ketika mereka pulang dari Gunung maka kabar itu akan menyebar ke satu kampung dan mereka akan didatangi oleh sanak famili untuk mencicipi cipratan rejeki porter. Dan yang menyentuh adalah waktu aku sampai pada kesimpulan bahwa, mungkin inilah salah satu maksud ALLAH.SWT menciptakan Gunung Rinjani. Tanpa keberadaan Rinjani mungkin mereka sudah kehilangan pilihan untuk menopang hidup. Aku hanya khawatir dan jangan sampai Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani senasib dengan Kawasan Taman Nasional Batang Gadis di Sumatera Utara yang digadang- gadang akan dijadikan areal proyek tambang jika betul demikian maka tentu saja dapat mengancam keseimbangan ekologi dan sumber rejeki penduduk lokal (para porter, red).

Dan akhirnya, ketika sekelompok orang, mungkin aku salah satunya, memaknai sebuah pendakian sebagai sebuah pelarian dari hingar bingar kehidupan, atau dengan sederet alasan filosofis lainnya, maka inilah Roni, berkepala plontos, dengan senyum ramah dan polos. Usianya baru 19 Tahun dan sudah menikah serta beranak satu, ia memaknai pendakian sebagai upaya untuk menyambung hidup. Just for a living, nothing more.

Ebas
Ditengah persiapan menuju Gunung Raung besok 16 Desember.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja