Menuju Rinjani (III)


Sore itu, Sebuah setapak kecil yang menjadi jalan masuk ke jalur pendakian di Desa Sembalun menjadi saksi bisu langkah langkah kecil kaki kami menuju Rinjani, Bismillah. We start to live off the land.

Tapi suasana dramatis sebelum mulai trekking ini agak rusak karena ada adegan sikat gigi ku yang jatuh ke got untunglah ada penduduk setempat yang baik hati mau turun ke bawah mengambilkan, kalau tidak ahhh.. tebal juga jadi nya gigi ku nanti. (Poto diatas adalah poto Bang Fian, Bang Ashwan dan Wan, diambil sesaat sebelum kami meninggalkan Pancor) Hehehe...

Sebagai pembuka, jalur awal masih didominasi perumahan penduduk setempat yang nampaknya bekerja sebagai peternak dan petani, ada banyak lahan padi dan kotoran Sapi disepanjang jalur makin kedalam. Kemudian lepas dari kawasan lahan padi dan perumahan penduduk, kami mulai masuk ke hutan kecil pembatas vegetasi menuju Savana, dan di Savana dekat inilah rupanya penduduk setempat biasa melepas ternak mereka untuk merumput. Sambil terus berjalan tidak terasa sudah terdengar azan Magrib berkumandang, kami terus berjalan menusuri Savana yang makin lama makin terlihat luas, aku dibuat seperti ada di lautan hijau kekuningan lantaran senja yang baru saja menghilang.

Walau sadar hari sudah mulai gelap, namun terang cahaya bulan yang beradu seimbang dengan sisa matahari membuat ku enggan menyalakan headlamp dan tampaknya begitu juga dengan yang lain. Jalan datar yang kami tempuh memberikan pemandangan yang tidak biasa terjamah sekaligus luar biasa indah. Saya berada di belakang Yoga sementara Mido dan Adit berada didepan, tampak sekali mereka begitu menikmati perjalanan ini, sebuah pengalaman yang tidak bisa dibeli dengan uang. Sementara Bang Roni dengan tenang berjalan dengan beban di pundaknya yang tampak seperti ringan ia bawa. Dibelakangnya Tamsin berjalan mengikuti.

Kemudian waktu Matahari betul-betul sudah tenggelam, headlamp kami nyalakan dan tepat saat itu sekitar hampir 40 menit pertama perjalanan, dihadapan kami sudah berdiri satu bukit yang harus dilewati agar bisa meneruskan perjalanan. Saat itu aroma trekking yang kian menanjak mulai tercium, dan ujian ketahanan fisik dimulai perlahan. Buat siapapun bahkan pendaki yang sudah tinggi jam terbangnya pun menurutku akan merasakan penyesuaian tubuh ketika pendakian mulai memasuki medan yang berat, bentuk nya bermacam-macam, ada yang di nafas, di pinggang, di kaki atau di betis. Kelelahan yang membutuhkan pembiasaan agar rasa lelah itu menjadi lelah menyertai, tapi itu bukan berarti kemudian kami memaksakan diri, sebisanya kami beristirahat barang beberapa menit untuk merenggangkan tubuh.

Tapi sejujurnya aku mulai khawatir dengan Yoga dan Tamsin, khususnya Yoga, (karena kalau aku dan Tamsin sudah lumayan sering latihan fisik sejak sebulan sebelumnya) ada semacam rasa menyesal, akibat terlalu bersemangat aku lupa memperhitungkan resiko bagi kedua kawan ku yang baru pertama kali naik gunung ini, dan sebisanya sambil jalan aku menyemangati mereka. Tapi takdir berkata lain, jalan cerita pendakian kami mulai naik turun disini, Yoga sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan perjalanan, sementara sudah tidak mungkin lagi untuk mundur, lagipula aku yakin dengan semangatnya, hanya saja bagaimanapun juga aku harus memaklumi kondisi fisiknya yang mungkin belum terbiasa dengan keadaan pendakian ini.

Sembari beristirahat setelah melewati satu bukit yang tadi, kami berpikir bagaimana meneruskan perjalanan dengan semua personel lengkap ikut serta, ada opsi untuk menambah porter untuk membawakan carriel Yoga, ketika dicoba ternyata tidak bisa karena sudah malam dan mungkin kami sudah agak cukup jauh berjalan. Akhirnya aku berinisiatif, aku mencoba mendekati Adit dan Mido menyampaikan satu usulan, dan alhamdulillah mereka menyetujui, alhasil Adit membawakan carriel Yoga dan aku membawa dua yaitu carriel kusendiri yang kugendong di belakang dan daypack Adit yang kugendong di belakang. Inilah rupanya hikmah perjumpaan kami dengan mereka berdua di Rinjani Information Centre Sembalun tadi sore. Tidak ada yang terjadi dengan kebetulan bukan?

Perjalanan kemudian kami teruskan, saat itu mungkin sekitar jam 19.00 WITA, dan medan Savana yang luas kian menenggelamkan kami dalam trekking melewati lembah yang naik turun menuju Pos I, namun saat itu kaki ku terasa sakit seperti ada sesuatu ditumit ku jadinya istirahat sejenak untuk memeriksa, ketika aku buka sepatu, ternyata, kulit sepatu telah membuat kulit tumit kakiku mengelupas, mungkin kaos kaki ku kurang tebal, nanti saja kupasang plaster kupikir. Setelah itu kami lanjut jalan, dan pukul 20.22 WITA kami benar saja sudah tiba di Pos I, kami istirahat sekitar 30 menit, udara dingin mulai terasa, walau aku malas bongkas carriel untuk ambil jaket, cukup pasang sarung tangan saja.


Dari Pos I ini, apa lagi dimalam hari bisa terlihat dengan jelas api yang menyala, karena ada kebakaran didekat situ, mungkin karena puntung rokok yang menjalar di rerumpuran Savana kering lalu tertiup angin, akibatnya api nya kian menjadi dan menjalar. Kurang dari 1 jam berjalan, kami kemudian sampai di Pos II, pukul 21.00 WITA, dan sesuai kesepakatan akhirnya kami bermalam di Pos II ini, suatu Pos yang dekat dengan jembatan, tempatnya memang tidak luas, hanya cukup untuk dua tenda muatan medium. Setelah mendirikan tenda, Bang Roni membuatkan kami minuman hangat dan kami mulai beristirahat, akan tetapi Adit dan Mido memilih meneruskan perjalanan, dan dengan baik hati pula mereka meninggalkan daypack mereka dan tetap membawakan carriel Yoga, kami sepakat untuk bertemu dengan mereka Minggu pagi di Danau Segara Anak, karena mereka memang mentargetkan untuk langsung nge-camp malam ini di Camp Area terakhir sebelum summit attack




Setelah Mido dan Adit meneruskan perjalanan (sempat balik lagi karena rokoknya ketinggalan) kami mulai beristirahat, waktu itu pukul 22.30 WITA untuk menyiapkan energi besok hari yang akan kami jalani dengan medan yang lebih berat dan ketahanan fisik yang sebenarnya yaitu Bukit Penyesalan. Bukit yang katanya membuat banyak pendaki menyesal mendaki Rinjani karena harus melewati bukit ini. Lalu tidak ada apa-apa lagi didalam tenda itu, selain mata kami yang mulai terlelap dan keheningan malam Pos II Jalur Sembalun. Senyap.

Day 5- Jumat, 10 Juni 2011
Pagi kami mulai bangun dan mulai bergerak keluar tenda, untuk menikmati udara luar dan berjalan agak menjauh untuk melihat padang Savana yang luas. Sementara itu Bang Roni sibuk berbenah dan memasak sarapan pagi. Keluar menikmari pemandangan Savana ini membuat ku seperti sedang menikmati lagu Pelangi dan Hujan-nya BIP, pas mantap sama liriknya. Only God knows how deep it is and how happy i am. Dari Savana Pos II ini, Rinjani dan lengkungan medan pasirnya terlihat cukup jelas, apa lagi sisa erupsinya yang membentuk jurang curam di tepiannya. Aku membayangkan jika Rinjani masih utuh kurasa ia akan membentuk kerucut sempurna dengan ketinggian yang lebih mencuat lagi.


Begitu juga dengan yang ini.. :D




Setelah itu, kami lanjutkan pagi itu dengan sarapan pagi tak lupa sikat gigi dan repack lagi sehingga pas pukul 08.30 kami kembali trekking menuju pos III, Yoga alhamdulillah sudah kembali fisiknya, akhirnya ia bisa membawa daypack milik Adit yang sengaja ia tukar untuk membantu meringankan beban kami. Perjalanan menuju Pos III adalah batas terakhir medan Savana karena menjelang tiba di Pos III kami sudah masuk ke vegetasi hutan Cemara, dan aroma medan perbukitan yang terus menanjak kian kental dan benar saja walau kemudian tepat pukul 09.30 kami sudah tiba di Pos III, itu sama dengan kami tiba di awal pendakian yang sebenarnya, Bukit Penyesalan.




Setelah beristirahat sejenak di Pos III, kami meneruskan perjalanan, tadi nya kukira kami sudah mulai menanjaki Bukit Penyesalan, karena medan perbukitan makin terasa berat, tapi rupanya belum, masih 1 jam lagi, hingga pas pukul 11.45 WITA kami siap menapak Bukit Penyesalan. Dari sini saya terus berpikir positif, karena nama medan ini benar-benar mematahkan semangat, Bukit Penyesalan terdiri dari banyak bukit semuanya menanjak namun ada mungkin empat yang ibaratnya sama seperti mendongak kelangit karena curamnya. Untuk para porter seperti Bang Roni mungkin hanya butuh waktu 2 jam untuk menyelesaikan Bukit Penyesalan ini, namun untuk seperti kami-kami ini, ah berikanlah deviasi 2 jam hehehehehe..


Bukit penyesalan benar-benar menguji ketahanan dengkul dan betis sekaligus menguji kesabaran, karena dalam keadaan seperti ini alam bisa menjadi lebih ganas dari manusia, tanpa toleransi sedikitpun untuk menurunkan kecuramannya, hanya sedikit area bonus, itupun tak luas. Bahkan cerita seorang Porter bernama Habibi, yang kebetulan bareng seperjalanan dengan kami, minggu lalu serombongan pendaki dari Jakarta yang kebanyakan cewek menangis di Bukit ini, menyesal sementara tidak mungkin untuk turun kembali, sudah terlalu jauh. Pukul 13.50 WIB, kami tiba di pertengahan Bukit Penyesalan, sedikit minum air untuk menambah energi sangatlah perlu sambil beristirahat menghela nafas dan meluruskan kaki. Sembari itu banyak sekali para pendaki yang mayoritas dari Turis Asing melintas naik turun bukit itu, tampaknya mereka kuat sekali, gagah seperti kuda. Iri betul melihatnya.




Ketika pukul 15.30 WITA, akhirnya selesai juga Bukit Penyesalan kami lewati, semua medan bukit ini memang berat, dan karena itu setiap langkah yang aku ambil selalu aku tekadkan untuk tidak aku toleh kembali, baru aku lihat nanti ketika setelah selesai, dan benar saja ketika aku menoleh ke belakang, yang ada hanya tebing curam yang bawahnya tertutup kabut putih tebal dan sesekali menipis tertiup angin, senang rasanya bisa melewati Bukit ini, apalagi ketika dua kawan ku berhasil melewati nya juga, aku kelelahan, segera kulepas carriel ku untuk beristirahat, lalu tidur sejenak sekitar 15 menit dibawah pohon cemara. Namun demikian ini belum jadi akhir untuk menuju Pelawangan Sembalun (tempat terakhir camp sebelum summit attack) rupanya dari ujung Bukit ini masih harus naik turun 2 tanjakan dan 2 turunan. Sempat hopeless juga aku sebetulnya namun kupaksakan langkah kaki ini kembali menapak. Tapi semua lelah ini mulai terbayar waktu aku toleh ke sebelah kanan dimana pemandangan Danau Segara Anak mulai terlihat. Begitu indah, Maha suci ALLAH yang telah menciptakannya.


Setelah berjalan hampir 1 jam, tepat pukul 16.20 WITA (plus istirahat 10 menit) tiba juga akhirnya kami di Pelawangan Sembalun, segera kami mendirikan tenda dan Bang Roni bersiap-siap memasak untuk kami. Setelah tenda didirikan, sayang kalau melewatkan sore ini hanya dengan tiduran didalam tenda, jadi aku duduk di batu karang tepi jurang untuk menanti sunset sambil menatap kebawah menikmati indahnya Danau Segara Anak, diseberang sana ada Gunung Sangkuriang yang semua medannya adalah bebatuan karang. Sambil duduk santai itu aku makan indomie kering yang hanyaku taburi bumbu langsung dibungkusnya yang rupanya menarik perhatian sekelompok pendaki dari turis asing yang juga sedang menanti sunset, mereka serempak menoleh ke saya melihat indomie yang aku makan kering langsung, mungkin di negara mereka tak ada kurasa. Kudengar dari aksenya, sebagian dari mereka mungkin berasal dari England dan selebihnya Amerika, kecuali satu yang dari Amerika Latin yaitU Brazil.

Kemudian tak lama, Yoga dan Tamsin pun keluar dan menikmati Sunset, pelan-pelan dengan khidmat kami menikmati turunnya Mentari sambil memanfaatkan tiap detiknya dengan berpoto mengabadikan momen tersebut.






Setelah hari mulai gelap, kami semua masuk ke tenda beristirahat, karena diluar pun dingin sekali sudah. Aku memakai tiga lapis baju dan satu celana panjang lalu setelah itu tak lama kemudian, kami menyantap makan malam yang disiapkan Bang Roni, barulah kami bisa lega beristirahat, kami beruntung juga rupanya karena Bang Roni ini pandai dan mau memijit (tarif bebas kayak operator HP asal nego nya pakai hati), jadilah didalam tenda terjadi adegan pijat memijat dengan alasan memulihkan tenaga untuk menuju puncak dini hari nanti, setelah itu kami mulai tertidur setelah sebelumnya menyalakan alarm pukul 00.30 WITA untuk mulai siap2 summit attack dan agar Bang Roni bisa menyiapkan Bubur Nasi penambah energi kami.

Bersambung ke Bagian IV.

Comments

  1. son foto yg di pancor kok g kliatan di browserku

    ReplyDelete
  2. kau pakai apa? ini aku Mozzile v.4 bisa? coba ganti chrome atau opera aja.. btw, itu yang bagus2 Tamsin yang ambil potonya bebakat dia jadi potografer

    ReplyDelete
  3. Awesome...*terharu deh baca perjuangan bersama 2 teman debut,ihihihi...Bukit penyesalan yak..mirip2 bukit cinta-nya mahameru mungkin ya*sotoybangetlahini

    Aku mau ambil foto segara anak itu,tp ada fotomu bang er,kirimlah foto yg nggak ada foto manusianya,hehhe,

    Suka deh sama foto sunset yang ke 2,kalo yg pertama kek mahatma gandhi gitu ya gayanya*kabuurrrr sambil gowes2 menuju IV

    ReplyDelete
  4. @Putri: heheheh.. sesuai saran nanti coba dimintakan kespes dr mereka berdua supaya dimasukkan di bagian IV, btw, mana emailnya tar kukirim yang pure full danau aja.

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Touring Palembang- Baturaja