Jalan Pulang

Aku belum genap berusia kepala dua saat untuk pertama kalinya aku mulai memasuki dunia kerja, tahun itu adalah tepat setahun setelah aku menyelesaikan pendidikan kilatku, aku sudah tidak perlu lagi bersusah payah mencari pekerjaan, memasukkan surat lamaran ke gedung tinggi perkantoran yang kata kebanyakan orang merupakan simbol dunia modern, paradoksal metropolitan, eksotika Jakarta atau apapun lah namanya. Bahkan ada satu dua nama jalan di Jakarta ini yang pernah aku dengar dari beberapa orang temanku, jika ada seseorang yang bekerja disalah satu bangunan tinggi di jalanan itu, maka sudah jaminan hidupnya kaya dengan gaji diatas standar rata-rata, pakaian necis dan status sosial yang mengundang rasa kagum.

Aku tersenyum kecil bila mengingat kata-kata itu, bagiku, jangan kan nama jalanan itu, daerah di seputaran Jakarta pun belum banyak yang aku tahu, walau memang aku sudah lebih dari setahun ini tinggal di kota ini, kawasan Bintaro tepatnya. Didaerah itu aku berkuliah di sebuah kampus kedinasan bernama Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, STAN begitu singkatnya. Aku bersyukur karena kampus ini menyediakan fasilitas jaminan kerja begitu aku lulus. Namun aku juga tidak bisa berbohong bahwa pendidikan kilat dan kewajiban kerja ini membuatku kadang merasa ada suatu babak yang hilang dalam hidupku sebagai seorang anak muda. Terutama jika aku ingat bahwa sebagian besar teman-teman ku masih menikmati kehidupan mereka dengan menyandang status Mahasiswa.

Kala itu biasanya segera aku menendang kebodohan sisi lain seorang aku yang kadang aku dapati tidak bersukur dengan membanding-bandingkan duniaku dengan dunia orang lain. Sebuah kesalahan besar yang selalu sebisa mungkin aku buang jauh-jauh agar tidak meracuni niat tulus ku menjalani hidupku. Niat tulus yang membuatku tetap mampu berdiri tegar menjalani hari-hariku: Demi Keluarga ku di Sumatera!. Sampai Sekarang.

Dalam langkah tegapku memasuki hari-hari pertamaku dikantor seorang aku adalah pemuda sederhana yang berusaha selalu tampil sebaik mungkin walau tidak sesempurna dalam gambaran pakaian necis, sepatu pantofel hitam kilau mengkilap, dan seragam jas berdasi. Bukan karena aku tidak bekerja di salah satu dari nama dua jalanan yang itu tadi, tapi lebih karena pembawaanku memang begitu, sejak dulu tepatnya sejak aku bersekolah di Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas hingga Kuliah.

Ketika aku duduk di bangku SMA aku bahkan cenderung menghindari obrolan dengan teman-temanku jika tema yang dibicarakan mulai berkisar tentang merk atau model HP terbaru, trend baju anak gaul masa kini atau harta, pangkat dan jabatan orang tua. Bukan karena aku percaya pada streotyping nya Dian Sastro terhadap anak muda Indonesia jaman sekarang tapi justru karena aku sadar bahwa aku berasal dari keluarga yang jika sudah bisa menyekolahkan anak-anaknya dan cukup makan sehari-hari maka kata Alhamdulillah sudah sangat kuat untuk mewakili betapa kami belum membutuhkan segala gadget modern itu.

Namun aku selalu pasang telinga lebar-lebar jika topik yang dibahas adalah seputar informasi beasiswa pendidikan gratis, buku literatur keluaran terbaru dari penerbit semisal Erlangga, Tiga Serangkai dan lain sebagainya serta informasi tawaran ujian masuk ke perguruan tinggi ternama di negeri ini.

Ya, aku memang fanatik dalam dunia pendidikan, bagiku pendidikan adalah jalan untuk bisa mendapat tempat seluas-luasnya meluluskan hasrat Need of Achievement (N-Ach) ku yang kurasa begitu tinggi, begitu paling tidak kata salah satu teori motivasi dari David McClelland (CMIIW). Pendidikan juga yang menjadi landasan pikiran ku bahwa kemiskinan secara fisik itu diawali dari kemiskinan akan ilmu pengetahuan yang hanya bisa diatasi dengan bersekolah.

P.S:
-----
#Postingan ini dibuat untuk refleksi dan introspeksi diri, agar kedepan, semua aku bisa belajar menghindari hal-hal yang membuat aku menjadi semakin bukan aku, sehingga aku bisa tetap menjadi seorang aku. Halahh... lebay!! hahahahha.. :D

#gambar diambil dari: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://people.ucsc.edu/~bkdaniel/number-water-footprint.jpg&imgrefurl=http://people.ucsc.edu/~bkdaniel/&usg=__FwDbTfdfzn6GhFKUTQBXnvt7xfk=&h=294&w=468&sz=12&hl=en&start=0&sig2=RRBmi2iU5bsP9ynN9YryOw&zoom=1&tbnid=ZfAhyNdfvCguTM:&tbnh=123&tbnw=170&ei=79SGTPTcH4OCvgPMltG-BA&prev=/images%3Fq%3Dfootprint%26hl%3Den%26client%3Dfirefox-a%26channel%3Ds%26rls%3Dorg.mozilla:id:official%26biw%3D1280%26bih%3D534%26gbv%3D2%26tbs%3Disch:10%2C39&itbs=1&iact=hc&vpx=347&vpy=213&dur=12334&hovh=178&hovw=283&tx=234&ty=79&oei=wdSGTJTCN5OXcfz_mMsF&esq=2&page=1&ndsp=24&ved=1t:429,r:10,s:0&biw=1280&bih=534

Comments

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King