Realita Untuk Dirga (I)

Maret 2000

Ada semangat menyala di dada Dirga. Seorang pelajar SMA kelas 3 yang sebentar lagi akan lulus. Meski belum tahu persis mau jadi apa, Dirga memang bukan pemuda biasa. Ia ingin berhasil dan sukses dalam hidupnya. Tidak ada hari terlewat tanpa ia memikirkan rencana lanjutan studinya. Ia menulis besar- besar sederet nama kampus beken di negeri ini yang akan jadi incarannya. Tidak tanggung- tanggung, sebuah jurusan yang konon biayanya selangit pun berani ia cantumkan di urutan nomor 1.

"Ga, gak kerasa nih, dua bulan lagi kita ujian akhir. Mudah- mudahan kita lulus dan bisa lanjut sekolah di kampus idaman masing- masing!" Julian berujar santai ke Dirga usai lonceng tanda jam pelajaran berbunyi.

"Aamiin, iya Jul. Gue kepengen banget jadi advocat atau kalo enggak ya psikolog, gua mau ambil studi hukum atau psikologi aja rencananya di Universitas Gajah Mungkur" Sembari mengambil tas gendongnya, Dirga menimpali ucapan Julian.

"Yakin Ga? Gue gak minat kesitu. Rencananya gue mau ambil Manajemen di Arilangga, Surabaya aja". Mereka lanjut berbagi cerita sampai berpisah di depan gerbang sekolah. Julian sudah dijemput oleh sopir keluarga, sementara Dirga berjalan kaki pulang kerumahnya yang berjarak sekitar 1,5 Km.

Dirga dan Julian berteman akrab sejak kelas 1. Mereka menyukai bidang yang sama, Sosial. Olahraga mereka pun sama yakni Sepak Bola. Seperti kebetulan, mereka menggandrungi satu klub yang sama, Sridijaya FC. Mungkin banyaknya kesamaan ini yang membuat mereka dekat. Tapi ada satu hal yang membedakan Dirga dan Julian. Status ekonomi keluarga. Hal yang tidak pernah mereka anggap jadi penghalang pertemanan. Dirga berasal dari keluarga sederhana, ayahnya seorang montir handal tempaan pengalaman sedangkan Julian dibesarkan di lingkungan mewah, terlahir sebagai anak dari seorang eksportir meubel yang kaya raya.

Juli 2000

"Ayah, Ibu, Dirga mohon doanya semoga bisa mengerjakan ujian hari ini" Ujar Dirga sembari mencium punggung tangan kanan kedua orangtuanya. Ayah Dirga mengangguk sambil terbaring lemas di ranjang rumah sakit tempat sebulan belakangan ini ia dirawat. Ibu Dirga tersenyum melepas anaknya. Ibunya sejak sebulan ini pula menghabiskan waktu menjaga ayah Dirga. Ayahnya menderita Diabetes dan pekan depan akan dilakukan amputasi pada kaki kirinya yang sudah membusuk.

Sementara ini bengkel mata pencaharian ayah Dirga terpaksa tutup. Dirga fokus pada ujian akhir sekolah dan segala persiapan mencapai mimpinya sehingga tidak ada yang bisa menjaga bengkel sejak ayahnya sakit.

"Ga, wish us luck!" ujar Julian yang dijawab dengan anggukan tenang oleh Dirga. Sesaat sebelum ujian dimulai, keduanya berbincang singkat tentang rencana merantau keluar kota begitu ujian usai untuk mengikuti bimbingan belajar persiapan masuk universitas.

Hari demi hari lewat, ujian pun selesai. Masa menunggu pengumuman Dirga gunakan untuk merawat dan menemani ayahnya di Rumah Sakit. Kondisi kesehatan ayah Dirga semakin menurun, padahal lusa Amputasi akan dilakukan. Dirga mulai cemas, ia bahkan belum menjawab tawaran Julian untuk ke luar kota. Dirga teringat pesan ayahnya beberapa bulan silam: "Ga, selagi ayah mampu membiayai sekolah kamu, teruskanlah!". Tapi yang kini ia lihat adalah ayahnya yang terbaring lemah dan kurus. Dada Dirga sesak oleh bimbang. Semangatnya yang menyala berubah menjadi tanda tanya.

"Dirga, Ibu gak tahu mesti ngomong apa. Tapi rasanya Ibu harus jujur kalau tabungan Ayah dan Ibu sudah menipis untuk biaya berobat Ayah mu ini. Apalagi untuk persiapan operasi besok. Ibu kira sebaiknya rencana kuliahmu nanti saja kita bahas kalau Ayahmu sudah sembuh, ya nak". Sambil memijit tangan ayahnya, Dirga termenung mendengar penuturan ibu nya. Ibu Dirga tampak merasa sedih dan terpaksa bertutur demikian.

Dirga tak menjawab perkataan ibunya, ia diam. Benaknya masih dipenuhi asa untuk sekolah di Univ. Gajah Mungkur dan menjadi psikolog atau advocat. Tapi hatinya sudah mulai disusupi tanya dan ragu terlebih jika ia menatap ke ayahnya yang seharian ini cuma menerawang kosong ke langit- langit kamar rumah sakit ini. Sepi, tidak ada percakapan atau suara lagi antara mereka selain bunyi berisik gemericik gelembung udara dari tabung oksigen di sebelah ranjang ayah Dirga. Untuk persiapan operasi besok, tabung itu memang disambungkan lewat selang ke hidung ayahnya. Entah mengapa sejak semalam Ayah Dirga kesulitan bernafas.

Agustus 2000

"Bu, Dirga kesekolah dulu ya. Hari ini pengumuman kelulusan. Nanti Dirga langsung nyusul ke ruang tunggu operasi saja kalau sudah pulang. Mohon doanya Bu". Dirga pamit dan mencium tangan ibunya lalu memeluk ayahnya yang seperti hanya membalas dengan kerlingan mata. Pengumuman kelulusan memang pas dihari yang sama dengan operasi amputasi kaki ayah Dirga.

Sepanjang jalan tidak henti- hentinya Dirga berdoa semoga ayahnya sembuh. Ia belum siap bila harus menunda sekolahnya. Sementara ini ia menolak halus ajakan Julian merantau keluar kota.

"Aku belum bisa kemana- mana sementara ini, ayahku sakit. Mungkin nanti kalau situasinya pas aku kabari Jul" Dirga menjelaskan ke Julian. Keduanya sudah sejak 15 menit yang lalu berdiri paling depan menanti pengumuman kelulusan dari kepala sekolah. Tibalah saat pengumuman, di podium sambil berdiri, kepala sekolah membacakan hasilnya. Ketika diumumkan Dirga bahagia bukan main, tak cuma lulus, Dirga bahkan meraih nilai tertinggi untuk kelompok ilmu sosial, bahkan jauh diatas Julian teman dekatnya.

"Selamat Ga, gue bangga punya sohib kayak loe!" Julian mengucapkan selamat ke Dirga. Mereka berdua berjabat tangan. "Ga, semoga ayah loe cepat sembuh ya, kalo mau nyusul gue ke luar kota kabari aja ya!" Dirga membalas dengan mengucapkan terima kasih ke Julian. Kegembiraan ini cukup pikir Dirga, ia harus segera kembali ke rumah sakit menemani ibunya yang tengah menunggu ayahnya dioperasi.

Bersambung...

Ebas.
Pangkal Pinang. 29092014.00:06.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King