Kalkulasi BBM di Lorong Politik

Menjadi presiden dan wakil presiden terpilih pasca Pilpres 2014, Jokowi-JK langsung dihadapkan pada polemik menahun BBM yang sejak dulu timbul tenggelam mengemuka. BBM, yang kerap dipelintir sebagai akronim dari Benar- Benar Masalah, merupakan batu sandungan yang mempersingkat masa bulan madu Jokowi-JK dengan 70 juta lebih pemilihnya. Dikatakan menjadi batu sandungan bukanlah tanpa sebab, karena sejelas apapun nalar  ekonomi Jokowi-JK dan Tim Transisi untuk menaikkan harga BBM, implementasinya akan masuk ke jalur politik yang panjang lagi penuh intrik.

Kita sudah sejak lama tahu bahwa isu kenaikan harga BBM telah menjadi komoditi yang paling empuk untuk menggiring opini publik bahwa sang penguasa tidak memihak wong cilik. Akhirnya kebijakan ini dianggap sebagai kebijakan tidak populer yang sebisa mungkin harus dijauhi. Tetapi Jokowi-JK sepertinya tidak punya opsi lain, rencana untuk meminta SBY-Boediono menaikkan harga BBM di akhir masa jabatannya telah gagal setelah hasil pertemuan di Bali tanggal 30 Agustus 2014 beakhir nihil. Alasan apapun yang ada di benak SBY patut dimaklumi. Konklusi sederhananya adalah: Setiap pemerintahan memiliki ujiannya masing- masing. Itu benar, meski kita juga mungkin sepakat bahwa ujian BBM yang menimpa Jokowi-JK ini hadir terlalu dini.

Saat membuat tulisan ini, saya tidak memposisikan diri sebagai fans die hard Jokowi-JK, bahkan saya tidak memilih mereka Pilpres kemarin, meski saya akui saya adalah penggemar Jusuf Kalla (untuk sikap gesit dan beraninya). Murni saya letakkan diri saya sebagai bagian masyarakat yang hendak memberi sudut pandang yang lebih realistis disaat sebagian yang lainnya mungkin masih terseret sisa drama dan sentimen gelaran pilpres kemarin. Mari kita bicara realita, data dan fakta.

Apa yang kini dihadapi Jokowi-JK sebetulnya adalah persoalan yang telah berlarut-larut dan menimbulkan komplikasi dalam tata kelola arah pembangunan bangsa. Bertahun- tahun lamanya, masyarakat telah dimanja oleh subsidi BBM yang sebenarnya telah menciptakan ruang gerak pembangunan yang sempit. APBN tertekan, bahkan diambang defisit dibuatnya. Sayangnya, praktik politik pragmatis yang selama ini berjalan diparlemen dan eksekutif justru mendorong bertahannya pola ini selama 1 dekade teakhir. Mereka mengatasnamakan rakyat. Padahal sejatinya hanya menanam bom waktu yang justru semakin menyengsarakan rakyat.

Percaya atau tidak, faktanya adalah Indonesia telah menghabiskan hampir Rp1.650 Triliun untuk mendanai subsidi BBM dalam lima tahun terakhir. Di tahun 2014 yang hanya tersisa 4 bulan lagi, anggaran subsidi BBM telah menyentuh level hampir Rp400 Triliun atau setara lebih dari 30% APBN 2014.  Dan program ini dijalankan ditengah keadaan produksi minyak bumi yang terus menurun selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2004 produksi minyak bumi Indonesia mencapai 1,1 juta barrel/hari menjadi hanya 0,82 juta barrel/hari saja di tahun 2014. Sementara itu, cadangan minyak kita pun terus menurun dari 4,7 Miliar barrel pada tahun 2004 menjadi 3,7 Milliar barrel pada tahun 2014. Keterangan ini bersumber dari mantan pejabat tinggi PERTAMINA, Ari Soemarno.

Pergerakan konsumsi BBM bersubdisi yang eksponensial itu menjadi duka tersendiri karena subsidi yang semula ditujukan kepada masyarakat miskin, nyatanya lebih banyak dinikmati oleh mereka dari kalangan yang sebetulnya mampu. Berdasarkan hasil penelitian Kompas, pada sektor transportasi darat, terpapar data bahwa 53% penikmat subsidi BBM adalah mobil pribadi, 40% sepeda motor, 3% mobil angkutan umum dan 4% untuk mobil pengangkut barang. Konsumsi sektor transportasi darat ini meliputi 97,3% dari total pemakaian BBM bersubsidi di semua sektor, sektor lainnya adalah rumah tangga, usaha kecil, transportasi air dan perikanan dengan konsumsi masing- masing tidak sampai 1%. Sampai disini, seharusnya kita bertanya: Mengapa kita masih berani memanjakan diri lewat subsidi ditengah cadangan dan produksi yang semakin menipis? Mengapa kita berteriak bahwa BBM telah telah membantu rakyat miskin bila nyatanya mereka yang kita suarakan itu mengkonsumsi tak sampai 1% dari kuota yang ada?

Mungkin kita sepakat untuk mengamini pernyataan Jokowi disaat sesi debat Pilpres kemarin bahwa ada solusi Revolusi Energi yang dapat ditempuh untuk menghindarkan Indonesia dari kelangkaan energi. Tetapi eksplorasi dan pengembangan itu butuh uang dan waktu. Dari mana uang itu bila APBN sudah tersedot habis ke belanja tak produktif? Semua fakta yang ada (bila kita mau menerima) telah menyajikan keadaan yang menggambarkan betapa terjepitnya Indonesia saat ini. Pemerintahan SBY- Boediono bukannya tidak menyadari situasi, skema pembatasan kuota yang kemarin dijalankan telah menunjukkan pemahaman dan sikap disiplin mereka untuk tegas pada kuota, tetapi keadaan berakhir lain, masyarakat tampak kaget mendapati kelangkaan, antrian mengular di banyak SPBU di tanah air. Terlalu lama dimanja dengan ketersediaan BBM bersubsidi rupanya telah membentuk mentalitas kita menjadi pribadi yang mudah terkejut untuk kemudian lupa kembali.

PERTAMINA memberi gambaran bahwa bila pemerintah tak tegas pada kuota maka anggaran subsidi BBM akan jebol dan berakhir menjadi defisit APBN. Kuota yang seharusnya cukup sampai akhir tahun 2014 ternyata bablas hanya sampai Juli 2014 saja. SBY-Boediono kebingungan, Jokowi-JK kelabakan. Kita akhirnya kembali menonton drama BBM, Benar- Benar Masalah. Mari kita akui bahwa untuk saat ini, maka menaikkan harga BBM adalah keniscayaan. Meski untuk menjalankannya pemerintah akan dihadapkan pada bayang- bayang inflasi, meningkatnya kemiskinan dan gejolak sosial lainnya. Itu pun kalau berjalan mulus di parlemen. Harusnya kita berhenti menganggap kebijakan menaikkan harga BBM sebagai kebijakan yang tidak popular. Praktik dekonstruksi anggapan ini akan sangat membantu Indonesia lepas dari jeratan candu subsidi BBM.

Tidak bisa dipungkiri bahwa menaikkan harga BBM, praktis akan menimbulkan inflasi. Skema penyesuaian harga BBM menurut Kementerian Keuangan apabila dinaikkan sebesar Rp500/liter akan mendorong inflasi 0,6% dan menyelamatkan anggaran negara Rp24 Triliun, bila dinaikkan sebesar Rp1.000/liter akan mendorong inflasi 1,2% dan menyelamatkan anggaran Rp48Triliun dan bila dinaikkan sebesar Rp2.000/liter akan mendorong inflasi 2,4% dan menyelamatkan anggaran Rp96Triliun. Benar bahwa rakyat miskin lah yang akan paling merasakan dampak inflasi ini, tetapi disinilah titik kritis dimana Jokowi-JK bersama Bank Indonesia dapat bekerja keras mengendalikan inflasi agar tidak bertambah liar.

Lebih dari itu, tambahan kemampuan fiskal Negara yang diperoleh dari menaikkan harga BBM akan dapat dialihkan ke belanja sektor lain yang benar- benar menyentuh jantung kehidupan masyarakat seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Secara bertahap, dengan mengamankan tiga sektor ini, tentu akan memberi efek yang dapat menekan biaya sosial pemicu inflasi. Bukankah inilah yang justru kita inginkan? Sebuah kebijakan yang benar- benar memihak wong cilik sekaligus memperjelas arah pembangunan bangsa.

Membangun puskesmas, membangun sekolah, menguatkan konektivitas antar wilayah, pembangunan simpul- simpul infrastruktur dan menciptakan diversifikasi sumber energi hanya akan dapat diwujudkan bila ruang gerak fiskal di APBN lebih leluasa, tidak lagi tersandera beban subsidi BBM. Terpilihnya Jokowi- JK bukanlah fakta ajaib yang akan mengusir habis semua masalah negeri, tetapi arah kebijakan mereka lah yang membuat kita berani berharap lebih. Tetapi berharap saja tidak cukup, kita harus mengawal dan mengawasi, bukan mencibir dan memaki. Ada perbedaan yang jelas antara mengawal dengan kritis berdasarkan logika dan nalar yang empiris dengan mengawal secara sinis berdasarkan sentimen pribadi dan kelompok.

Jokowi-JK memang tidak menang secara mayoritas mutlak, hanya 53,15%. Tetapi bila kini mereka yang telah sah dinyatakan menang. Maka tidak ada jalan lain, selain duduk bersama, bergerak bersama untuk kepentingan bersama. Karena berkontribusi tak harus duduk menjadi penguasa, karena sesungguhnya Jokowi-JK tidaklah istimewa tanpa dukungan kita. Bila bukan kita yang memberikan dukungan maka bisa dipastikan kebijakan Jokowi-JK akan terganjal di lorong politik yang sarat intrik kepentingan. Di parlemen, koalisi Jokowi-JK memang tak unggul, tetapi apalah arti keunggulan hitungan matematika politik bila para eksekutif telah mendapat simpati dan berkoalisi dengan pihak yang dukungannya sesungguhnya sangat istimewa dan menentukan, yaitu rakyat.

Pangkal Pinang, 01 September 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King