Nasib Sanib

Sanib gusar. Sudah dua bulan belakangan hujan tak juga turun di kampungnya. Kegusaranya sangat beralasan sebab sehari- hari Sanib bekerja sebagai petani jagung. Musim kering membuat panen jagungnya kali ini terancam gagal.

"Ya tidak apa- apa Mas, kan kita masih punya tabungan dari hasil panen bulan- bulan kemarin. InsyaALLAH cukup untuk beli beras dan bahan sehari- hari" Ujar Minah sambil meletakkan kopi hangat disebelah suaminya itu.

Sanib dan Minah sudah sepuluh tahun berumah tangga, meski tidak mewah, mereka berdua beserta enam orang putra putri mereka hidup tenteram. Sanib memang rajin bercerita ke Minah tentang apapun, termasuk soal kekeringan yang melanda kampung mereka.

"Kalau sampai tabungan kita habis tapi hujan belum juga turun. Aku perlu cari pekerjaan lain supaya bisa dapat uang, mungkin aku mau ikut kayak si Darma kerja nebang kayu dihutan!" Sanib bertutur sambil berusaha menyembunyikan kegusarannya, ia menyeruput halus kopi buatan istrinya itu.

Satu bulan kemudian

Hujan masih juga belum turun, tanah di kampung Sanib makin keras mengering dan terbelah. Kebun Jagung Sanib sudah tinggal cerita. Pekan lalu, api dari kebakaran ladang tetangganya telah menyambar dan melumat habis tanaman jagung Sanib yang memang sudah mengering layu. Sanib cuma bisa pasrah.

"Dek, aku berangkat ya. Mungkin 2-3 hari lagi pulang. Hutannya agak jauh, jadi mending nginap daripada bolak- balik, biar hasilnya lebih banyak" ujar Sanib pada Minah saat hendak pamit berangkat ke hutan. Sudah dua minggu ini ia ikut si Darma jadi penebang kayu hutan. Hasilnya lumayan, sekali pergi ia bisa pulang bawa uang untuk makan dan kebutuhan selama 2 minggu.

"Iya Mas, hati- hati ya. Ini pakaian didalam tas sudah kusiapkan sama minyak tawon kalau Mas pegal-pegal dimalam hari" Minah memberikan tas yang lebih mirip karung itu ke Sanib. Minah memang sayang benar pada Sanib, lelaki sederhana yang tahu betul arti tanggung jawab pada keluarga.

"Iya Dek, doain ya" Sanib mengecup lembut kening Minah dan disambut kecupan Minah di punggung tangan kanan Sanib. Ia pun berangkat setelah memeluk Minah dan satu persatu putra- putri nya itu. Darma telah cukup lama menunggu didepan rumah mereka dengan menggunakan truk reot keluaran tahun 1992 itu mereka berangkat.

Minah dan keenam anaknya tidak sekejap pun melepas pandangan yang ditumpangi Sanib, sampai akhirnya Sanib mengecil dan menghilang di kelokan jalan. Minah menghela nafas panjang sembari berdoa agar hujan lekas turun sehingga Sanib bisa kembali menggarap ladang dan tidak perlu jauh- jauh mencari nafkah.

Tiga hari kemudian

Minah bahagia, ia dandan tak biasa hari ini. Sanib, sang suami akan pulang. Ia telah menyiapkan sepiring pisang goreng sedari pagi tadi, tak lupa pula secangkir kopi hangat di gelas bermotif lurik khas hijau putih. Enam orang anaknya sedang bermain di belakang bersama ayam dan itik peliharaan mereka. Sumringah betul Minah hari itu menanti Sanib.

Saat Minah tengah membersihkan ruang depan, tiba- tiba truk reot tumpangan Sanib dan Darma tiba di depan rumah mereka. Minah bergegas keluar menyambut di depan pintu. Tetapi hanya Darma yang terlihat. Kemana Sanib? Pikir Minah. Darma pun mendekati Minah, takut dan bingung ia melangkah.

"Nah, Sanib titip pesan katanya ia sayang banget sama kamu dan anak- anak. Ia minta maaf gak bisa pulang menuhin janji" Ujar Darma ke Minah. Minah masih bingung dan bertanya- tanya.

"Memangnya ada apa Dar? Kok Mas Sanib gak pulang sekalian?" Minah penasaran

Akhirnya meluncurlah penuturan Darma yang membuat Minah terhuyung pingsan.

"Maaf Minah, Sanib sudah meninggal. Dua hari yang lalu ia tidak sengaja ketiban pohon besar yang ditebang. Kami sudah berusaha membawanya ke rumah sakit untuk diselamatkan tapi ditengah jalan ia meninggal. Ia cuma titip pesan itu tadi aja ke kamu. Sekarang jenazahnya ada di rumah sakit"

Beberapa jam kemudian

Minah baru saja siuman dikelilingi enam anaknya dan saudara- saudaranya dari kampung sebelah. Dirumahnya sudah ramai pelayat berdatangan dan membacakan pengajian untuk arwah Sanib. Jasad Sanib tiba dari rumah sakit dijemput mobil kepala desa dua jam yang lalu saat Minah tengah pingsan. Minah kemudian mendekati jenazah Sanib, menatapnya dalam- dalam. Seperti dulu saat mereka masih pengantin baru. Minah telah ikhlas menerima kepergian Sanib. Entah apa yang dialaminya semasa pingsan tadi sehingga ia jadi begitu tegar.

"Mas, doaku selalu untukmu. Sebisanya, insyaALLAH akan kurawat dan kubesarkan anak- anak kita" ujar Minah dalam hati sembari terus berdoa agar hujan segera lekas turun.

Ebas
Pangkal Pinang. 27092014. 23:42.

Comments

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King