Pilpres Dimata Seorang Tukang Urut

Tadi malam, seorang tetangga yang mencari nafkah sebagai Tukang Urut, berkomentar siapapun yang terpilih nanti tidak akan mengubah hidupnya. Ia akan tetap mengandalkan hidup pada jari jemarinya yang terampil dan telah membuatnya dicari banyak orang. Susilawati namanya, di usianya yang sudah 53 tahun, bila dalam keadaan sehat ia setidaknya mampu mengumpulkan omset minimal saya hitung- hitung Rp4.500.000,- dalam sebulan. Itu sebabnya ia tidak pernah pasang tarif. Doa tulus dari 'pasien' nya lebih ia damba selain keikhlasan amplop berisi Rupiah yang kerap dilayangkan untuknya.

Bagi seorang Susilawati, hiruk pikuk Pemilihan Presiden tidak lagi menarik, ia sudah 'berpraktik' sebagai Tukang Urut sejak era Soeharto 32 tahun silam, saat ia masih tinggal di Rantau Prapat, Sumatera Utara. Dan kini pun begitu juga, sejak pindah ke Pangkal Pinang 2 tahun yang lalu, cukup berbekal tas hitam kecil berisi segala macam minyak urut mulai dari minyak tawon, minyak zaitun, minyak GPU, dan lainnya, ia sudah kerap didatangkan ke banyak titik di Pulau Bangka ini.

Berkaca dari seorang Susilawati sebetulnya kita diingatkan tentang satu hal. Kemandirian. Ia tak tertarik untuk berharap banyak pada SBY, Jokowi atau Prabowo akan perubahan bagi hidupnya. Negara baginya mungkin hanya sekadar status yang mengisi KTP. Nasionalismenya sudah mewujud padat menjadi kemandirian untuk bertahan hidup. Di saat yang sama, betapa banyak dari kita yang dengan tegas menunjukkan keberpihakan pada tokoh politik tertentu karena beragam motif dan alasan, mulai dari yang paling idealis sampai ke yang paling pragmatis, atau pun cuma sekadar ikut-ikutan meramaikan.

Tidaklah salah menjadi WNI yang partisan. Pun, tidak pula hina bersikap apolitik seperti Susilawati. Sebab, negara memang kerap kali absen untuk warganya, khususnya untuk warga kelas bawah. Di negeri ini, hukum kerap kali hanya tajam bagi rakyat kecil namun tumpul dimuka para pembesar. Kebijakan yang dibuat sangat jarang menyentuh langsung kehidupan puluhan juta Susilawati yang hidup dari Sabang sampai Merauke. Subsidi BBM yang tidak pernah benar- benar mereka nikmati justru jadi alat politik atas nama mereka yang dimainkan politisi yang cari aman demi jabatan.

Lalu, di sebaran yang lain, kelompok masyarakat kelas menengah keatas sering kali terlihat sikap nya memuji atau membenci tokoh tertentu, terutama sekarang menjelang Pemilihan Presiden. Apa mereka semua betul- betul paham alasan dukungan itu? Saya ragu. Demi ingin terlihat pintar kita sering membabi- buta bersikap memihak dan mencela pihak yang lain. Di mata saya, tokoh politik yang patut didukung adalah yang berani tidak populer demi tujuan jangka panjang. Berani ambil resiko meski itu rentan jadi fitnah dan dipolitisir lawan mereka.

Silahkan baca visi- misi baik Jokowi atau Prabowo. Siapa yang berani hapus subsidi BBM untuk bisa dialihkan ke sektor lain? Siapa yang berani melirik Ditjen Pajak untuk mengejar habis pengusaha dan oknum nakal pencuri uang pajak? Siapa yang punya ide kumpulkan semua potensi anak negeri untuk membangun industri yang dapat menyaingi perusahaan asing yang menggerus aset negeri? Siapa yang berani revisi ulang UU Pilkada untuk hentikan praktik politi dinasti yang tidak elok? Siapa yang berani meneguhkan KPK dan memberi batas tegas dari intervensi politik? Silahkan anda semua lihat dan putuskan sendiri. Ini lebih bermartabat ketimbang sibuk menyebar isu personal yang sarat fitnah.

Bila tak pula kita temui yang demikian itu. Maka tak berlebihan bila dikatakan bahwa kita adalah pribadi yang sama dengan seorang Susilawati, hanya saja bila Susilawati punya alasan yang tegas untuk tidak sempat membaca itu semua karena sibuk mencari nafkah. Lalu apa alasan kita? Bisa jadi benar komentar Susilawati ini, siapapun yang terpilih tak akan mengubah hidup kita. Tidak ada gunanya hidup digantung dan menunggu. Jadi lebih baik bekerja, berkarya dan berdoa saja tentunya di bidang keahlian kita masing- masing, misalnya seperti Susilawati ini dengan keahlian sebagai Tukang Urut.

Salam
Erikson Wijaya

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King