Save RI! Save DJP!

Pembangunan Indonesia bergerak stagnan sebagai negara berkembang. Dalam bahasa lain, bisa kita sebut bahwa negeri ini tengah masuk perangkap khas negara kelas menengah yang tak juga mampu naik kelas menjadi negara maju. Prediksi dari IMF untuk tahun 2014 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5% saja. Mudah menebak mengapa tidak ada proyeksi optimistis yang disematkan bagi ekonomi Indonesia, masalah klasik: Infrastruktur. Bila dirunut lagi maka kita akan menemukan penyebab yang berulang dari tahun ke tahun yaitu pola APBN yang belum berani memangkas anggaran subsidi dan anggaran rutin non produktif lainnya.

Tapi, dari semua balada itu, belakangan kita dapati kabar gembira bahwa makin banyak saja orang kaya baru bermunculan di negeri ini, bahkan dari 100 orang terkaya didunia, 19 diantaranya dari Indobesia. Dikaitkan dengan ide dasar paragraf pertama, seharusnya kabar gembira ini menjadi titik awal untuk menyusun solusi atas masalah Infrastruktur yang menjadi polemik khas negara berkembang. Hubunganya jelas, bahwa pertumbuhan kelas menengah di negeri ini seharusnya diikuti dengan bertambahnya setoran pajak ke kas negara dari wajib pajak pribadi ataupun dari sektor konsumsi. Karena pajak adalah kunci vital yang harus dipenuhi untuk naik kelas menjadi negara maju.

Meski begitu, pada kenyataanya, hubungan antara pertambahan kelas menengah dan naiknya setoran pajak ke kas negara tidak selalu positif. Ini yang menjadi soal. Isu kepatuhan wajib pajak yang rendah sudah sejak dulu menjadi PR besar negeri ini melalui DJP. Sejarah mencatat tingkat realisasi kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak tidak pernah sejalan dengan beragam hasil riset dari banyak literatur tentang potensi yang dimiliki negeri ini. Selalu under perform. Sehingga bila di hubungkan dengan booming pertumbuhan kelas menengah, sejujurnya dapat dikatakan bahwa untuk mengejar potensinya, DJP masih akan dihantui momok yang sama, yaitu rendahnya kepatuhan.

Ada banyak hal yang membuat DJP sulit mengejar potensi pajak pribadi kelas menengah, pertama bahwa DJP tidak pernah benar- benar tahu berapa nilai kekayaan mereka, hal ini pula didukung adanya kawasan sekretif semisal Singapura, Amerika Serikat dan Inggris yang menjadi tempat sebagian orang kaya menyimpan kekayaan mereka. Kerahasiaan data nasabah adalah komoditi bagi mereka untuk menghidupkan jasa keuangan. Besar kemungkinan, setelah kini DJP nyaring bernyanyi soal keterbukaan akses rekening Wajib Pajak, mereka akan segera secara masif memindahkan kekayaan mereka ke salah satu kawasan sekretif itu (rush).

Selanjutnya adalah belum adanya tata kelola terintegrasi untuk mengoptimalkan data potensi perpajakan pribadi. NPWP belum bertaji untuk bisa diimplementasikan sebagai primary key di tiap akun/pos layanan publik yang kerap dipakai Wajib Pajak. Itu untuk sektor yang formal, diluar itu banyak potensi yang tidak terlacak karena gelapnya data keluar dan data masuk diatas kertas. Bisa dibayangkan bila tersedia sistem yang mampu memuat semua tagihan listrik, air, telepon, kartu kredit, perbankan, ekspor- impor, saham, shiping untuk setiap satu wajub pajak pribadi kaya. Tentu sangat memudahkan pengawasan. Tapi menuju kesini tidak mudah, sebab tentu akan banyak politisi atau abdi negara yang akan terusik.

Minimnya dukungan media adalah penyebab berikutnya. Urgensi pajak baru akan bisa digaungkan bila didukung oleh jaringan korporasi media secara masif dan kontinyu. Efek media membuat Wajib Pajak pribadi yang sasar terbatasi ruang geraknya sehingga membuat mereka mudah dilacak, atau membuat mereka akhirnya muncul dengan sendirinya akibat tekanan sosial oleh media. Saat ini memang sudah waktunya membuat pajak menjadi urusan bersama demi kekuatan negara, dan DJP tidak bisa sendirian. DJP butuh media untuk menyebar gaung demi menyuarakan betapa kuatnya ketergantungan sumber APBN negeri ini dari pajak.

Terakhir adalah keteladanan. Saat Hatta Rajasa menanggapi dingin ihwal keterbukaan tingkat pemenuhan kewajiban pajak para politisi, saat itu juga saya mulai meragukan komitmen pejabat nasional lainnya untuk memajukan negeri ini. Selama tidak ada keteladanan, maka selama itulah DJP akan terus dibiarkan sendiri berjuang memenuhi tuntutan APBN negeri ini. Padahal ini keliru, minimnya keteladanan akan diartikan sebagai tak adanya perhatian dan apresiasi yang dapat berakhir menjadi demotivasi para aparat pajak dalam mendedikasikan diri saat bertugas. Petugas pajak bukan robot yang dapat terus dipaksa bekerja seperti alat. Mereka adalah pribadi sebagai aset yang patut diperhatikan dan diapresiasi.

Bila semua masalah diatas dibiarkan terus tanpa solusi maka sulit bagi kita untuk beranjak atau naik kelas menjadi negara maju, karena daya dukung setoran pajak dari sektor pribadi yang diharapkan meningkat, tidak akan menyokong postur APBN untuk memberi kebebasan ruang gerak fiskal. Dan akhirnya negeri ini akan tetap jalan ditempat dan sementara itu jauh dimasa mendatang, ketidakmampuan ini akan harus kita bayar dengan tingginya biaya sosial, transportasi, lingkungan, kesehatan dan keamanan. Oleh karena itu, hubunganya jelas bahwa untuk selamatkan Republik Indonesia ini, maka kira harus bersama- sama menyelamatkan DJP dari keterasingan dan segenap aparatnya dari demotivasi.

Erikson Wijaya
28 Maret 2014 23:22
Kepulauan Bangka Belitung

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja