Agar Pelaporan SPT Tahunan Bukan Sekadar Ritual Tahunan

Bulan Maret dan April adalah dua bulan tersibuk di Direktorat Jenderal Pajak. Selalu begitu. Sebab di dua bulan ini adalah batas akhir wajib pajak melaporkan SPT Tahunan (Annual Tax Written) mereka. Ditjen Pajak sendiri sudah berpengalaman menangani event tahunan ini. Banyak teknik dan inovasi telah diluncurkan untuk mencapai dua tujuan utamanya: memberi kemudahan & menggenjot tingkat pelaporan. Sebut saja dropbox, e-filing, Pekan Panutan, Sosialisasi, Jemput Bola, Advisory Visit dll. Itu semua adalah bentuk upaya nyata DJP dalam menggerek tingkat kepatuhan wajib pajak. Semuanya diluncurkan dengan kerangka dasar yang sama: memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Tahun ini, DJP menargetkan tingkat pelaporan SPT Tahunan sebesar 67,5% dari total semua wajib pajak terdaftar efektif (aktif).

Tetapi tetap saja, semua upaya tersebut belum secara dramatis mengetuk kesadaran wajib pajak untuk sekadar melaporkan SPT Tahunan mereka sehingga realisasi terget pelaporan SPT Tahunan secara nasional belum menggembirakan. Sebut saja di KPP Pratama Bangka, untuk menjadi contoh, bahwa dari 62,5% target tahun lalu, realisasinya hanya tidak sampai 55%. Ini masalah. Fenomena ini adalah pintu masuk untuk menyadari bahwa ada bentangan jarak yang cukup jauh antara wajib pajak dengan ihwal pajak itu sendiri. Akumulasi akibat dari bentangan jarak itu adalah apa yang kini harus kita akui bahwa tingkat kepatuhan rendah dan penerimaan tidak optimal. Mari kita urai beberapa penyebab keengganan Wajib Pajak untuk patuh dan melaporkan SPT Tahunan. Beberapa diantaranya adalah "Pajak Itu Rumit" dan "Pajak Tidak Populer".

#1. Pajak Itu Rumit

Bentangkanlah formulir SPT Tahunan kepada wajib pajak awam, maka mereka bingung mau mulai dari mana. Ditambah lagi, tidak semua wajib pajak mau sejenak meluangkan waktu untuk belajar, menjadi penyebab kondisi pertama ini makin menjadi. Praktik "Terima Beres" sudah terlanjur menahun melekat di pola pikir wajib pajak sebab rumitnya formulir SPT Tahunan menjadi ladang subur bagi segelintir oknum memanen rupiah dengan banyak alasan pembenar, oleh karena itu jamak ditemui wajib pajak membayar oknum orang luar atau oknum DJP (Conflict of Interest) untuk mengisikan SPT Tahunan mereka, dengan imbalan fee tentunya.

Padahal, Wajib Pajak hanya cukup datang ke KPP atau KP2KP atau telepon ke Call Center 500200 untuk berkonsultasi. Gratis. Wajib Pajak hanya butuh kesediaan untuk menjadi lebih cerdas agar tidak bergantung pada oknum untuk mengisi SPT Tahunan. Tetapi, mengubah itu semua tak mudah. Menghadapi ini, DJP berupaya menyederhanakan hal yang terlanjur dicap rumit. Salah satunya dengan pengenaan seragam Pajak Penghasilan Final 1% dari omset untuk Wajib Pajak Kecil dan Menengah (omset < Rp4,8 M). Sehingga praktis yang diisikan dilaporan SPT Tahunan hanya dasar dan nilai setoran saja tanpa perhitungan apapun lagi. Tetapi, semua butuh waktu.

Kerumitan pajak yang justru menjadi ladang obyekan bagi segelintir oknum juga menjadi masalah DJP. Wajib Pajak tidak bisa dipaksa untuk langsung dapat mengisi SPT Tahunan sendiri. Mereka cuma korban dari kebodohan mereka sendiri dan juga korban kebijakan yang (mungkin) lambat menyadari kerumitan pajak dimata mereka yang awam. Kita belumlah seperti Eropa atau USA yang warganya kritis dan punya kuriositas yang tinggi. Beragam benchmarking yang didasarkan dari standar hasil studi di negara maju cuma akan berakhir dengan kegamangan implementasi saja.

DJP bisa mencoba menelurkan kebijakan yang efektif dan efisien, langsung tepat sasaran. Misalnya: Wajib Pajak kelas usaha kecil dan menengah hanya cukup melaporkan satu lembar SPT Tahunan berisi jumlah setoran pajak mereka selama setahun (plus bukti). Dan untuk wajib pajak pensiunan tidak wajib lapor SPT Tahunan, cukup DJP yang bekerja sama dengan Taspen dan ASABRI. Ini dapat mengurangi beban administratif, biaya ekologi dan menggenjot persentase pelaporan dari wajub pajak pensiunan. Sebab citra pajak itu rumit justru banyak menjangkiti di kelompok ini. Sementara wajib pajak kelas besar dapat mengatasinya dengan menyewa konsultan resmi yang profesional tanpa konflik kepentingan.

#2. Pajak Tidak Populer.

Saya bermimpi suatu hari seluruh masyarakat menjadi akrab dengan pajak. Mungkinkah? Tentu! Korporasi besar media yang akrab menyapa masyarakat secara 24/7 adalah gerbang kearah itu. Pajak tidak populer, tidak disukai karena memang pajak jarang diangkat kemuka dalam aspek kehidupan sehari- hari. Sehingga, urgensinya tidak terlihat. Bahkan pencapaian penerimaan pajak dianggap tidak penting, ini memicu masyarakat menjadi tidak punya rasa memiliki kewajiban itu. Lebih jauh lagi mereka menjadi terkondisikan untuk tidak usah mengawasi uang pajak yang sudah disetorkan.

Saya membayangkan media sekelas Metro TV atau TV One memberi porsi khusus, memberitakan pencapaian penerimaan pajak secara berkala. Persis seperti informasi cuaca ala BMKG atau NTMC ala POLRI. Sambil menyisipkan pesan penggugah kewajiban bersama untuk membayar pajak dan melaporkan SPT Masa/ Tahunan. Sekarang ini, bahkan obrolan pejabat publik terkait agenda elektoral pun jarang menyentuh pajak. Lain hal di Amerika Serikat, saat satu capres berjanji tak kan menaikkan tarif pajak disaat yang sama, elektabilitasnya naik. Meski saat terpilih, ia terpaksa ingkar dengan menaikkan tarif pajak orang pribadi kaya. Maklum, dalam bahasa politik tak dikenal frase "Memegang Janji".

Petugas pajak juga adalah manusia biasa, mereka butuh diapresiasi. Selama ini mereka telah kerja dari balik layar memenuhi target yang kian tinggi tiap tahunnya. Fakta bahwa masyarakat pada dasarnya membenci pajak adalah opini alamiah atau nature yang bisa digugah kearah pemahaman yang baru dengan peran media dan pejabat publik lewat kebijakannya. Memberi panggung serta apresiasi kepada DJP adalah jalan menumbuhkan cara pandang baru masyarakat terhadap pajak.

Bahwa dengan membayar pajak, masyarakat berperan untuk membangun negeri ini bersama, mereka pun berhak mengawasi dan memasang mata-telinga atas pemanfaatan uang pajak mereka adalah sikap proaktif yang menjadi salah satu kunci kehidupan demokrasi yang lebih kaya dengan substansi sehingga melahirkan pemenuhan kewajiban yang lebih berimbang dengan pemenuhan hak.

Dua hal diatas adalah sedikit dari banyak kemungkinan yang dapat saya bedah untuk memutus bentangan kesenjangan yang selama ini terlanjur ada antara wajib pajak dan pajak itu sendiri. Semua butuh waktu, semoga tulisan ini memberi peran untuk mewujudkan cita- cita itu. Supaya Maret dan April tahun ini dan tahun- tahun selanjutnya tidak lagi berlalu seperti biasa dengan cerita kepatuhan wajib pajak yang tak juga naik kasta. Semoga.

Erikson Wijaya
Kepulauan Bangka Belitung
16 Maret 2014

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King