Mengendus 5 Modus Penggelapan Pajak

Sulit mencari orang yang ikhlas dan rela bayar pajak. Itu sebab, mengendus modus atau praktik penggelapan pajak justru makin mudah. Setiap modus yang terungkap butuh pembuktian sebelum dianggap sah dan benar- benar telah merugikan potensi penerimaan negara. Modus- modus yang berkembang itu dapat muncul seiring kemajuan jaman yang makin tidak terbatasi batas- batas wilayah. Tetapi, semua itu tidak pernah dapat berjalan sendiri, selalu ada keterkaitan sehingga modus- modus itu bisa berjalan dengan rapi. Baiklah kita sebut mereka yang terlibat itu sebagai oknum. Maka oknum tersebut meliputi oknum pengusaha, oknum konsultan dan oknum aparat.

Berikut ini adalah praktik yang paling lazim dilakoni para oknum tersebut demi menggelapkan pajak yang harus mereka bayar.

#1 Menggelembungkan biaya.

Prinsipnya sederhana, biaya selalu berbanding terbalik dengan laba. Makin besar biaya, makin kecil laba. Lain hal bila untuk kepentingan komersial, maka biaya kerap dibuat seminimal mungkin untuk dijadikan window-dressing. Cara yang paling mudah untuk melihat indikasi penggelembungan biaya ini adalah dengan melihat jumlah persentase Harga Pokok Penjualan (HPP) terhadap omset dari tahun ke tahun atau dikenal dengan Rasio Gross Profit Margin/ Rasio Laba Kotor. Biasanya pada saat awal berdiri satu perusahaan, GPM ini mencapai lebih dari 50% omset, namun seiring majunya usaha maka GPM makin kecil, ini mengindikasikan makin bertambahnya Harga Pokok Penjualan.

Meski demikian, seharusnya yang terjadi adalah meski HPP meningkat tentu itupun karena omset yang meningkat. Kita paham bahwa HPP itu ibarat ongkos produksi diluar operasional. Sampai sini, maka sederhananya adalah HPP itu akan berbanding lurus dengan omset. Dalam hitung- hitungan bisnis, tidak mungkin perusahaan mau mengeluarkan biaya demikian besar bila tak ada gambaran sama sekali tentang omset yang mengiringi. Begitu omset melambung, oknum pengusaha mulai memaksimalkan laba. Caranya dengan membayar konsultan hitam yang diatas kertas akan mampu memunculkan penggelembungan biaya sehingga secara konsisten GPM akan semakin kecil.

#2 Menyembunyikan Omset

Modus ini sebetulnya adalah cara yang sama dengan yang saya sebutkan diatas. Bedanya, praktik ini dimulai dengan titik awalnya pada pos omset/pendapatan. Oknum pengusaha nakal memakai cara ini dengan tidak melaporkan semua omset atau pendapatan yang diperoleh. Lemahnya pengawasan menjadi celah aman sehingga modus ini kerap tak terendus. Dengan makin sedikit omset yang dilaporkan maka makin kecil laba bersih yang dihasilkan tanpa harus memanipulasi HPP. Oknum pengusaha level menengah ke bawah yang biasanya berbisnis dengan menjadi kontraktor proyek atau penyedia jasa pada pemerintah memakai cara ini dengan tidak memperhitungkan semua nilai proyek yang sudah dibayarkan kepadanya.

Meski demikian, zaman makin canggih sehingga data beredar leluasa memudahkan aparat pajak menganalisa. Mulai dari data G-G (antar pemerintah) atau G-P (pemerintah dengan swasta) dapat dijadikan alat konfirmasi. Begitu terungkap, tak ada jalan lain selain membetulkan laporan SPT Tahunan. Lagipula, modus ini mudah diungkap cukup dengan menyandingkan daftar tagihan dengan nilai laporan (untuk oknum pengusaha rekanan) atau dengan menganalisa kewajaran nilai laporan terhadap volume transaksi (untuk oknum pengusaha non rekanan). Biasanya dalam praktik ini, oknum pengusaha mendekati oknum aparat untuk bersedia 'mendiamkan' pelaporan tak wajar, sehingga pelaporan itu pun mengendap, sunyi tanpa konfirmasi.

#3 Memalsukan Faktur Pajak

Faktur Pajak adalah dokumen resmi untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang hanya boleh diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menjual/ menyerahkan. Dan bagi PKP pembeli maka Faktur Pajak adalah untuk bukti untuk memperhitungkan PPN yang sudah dipungut. Dalam bisnis, jamak ditemui oknum PKP (bahkan non PKP) menerbitkan Faktur Pajak atas transaksi yang tidak pernah ada. Sederhananya, Faktur Pajak yang demikian adalah Faktur Pajak Fiktif. Ada dua alasan mengapa Penerbitan Faktur Pajak Fiktif menjadi salah satu modus untuk menggelapkan pajak, baik dari sudut pandang penjual maupun pembeli.

Dari sudut pandang PKP Pembeli ketika ia berani menerbitkan Faktur Pajak Fiktif, maka resiko yang ia ambil tak hanya dari sisi pajak tapi juga resiko dituntut oleh PKP lain yang namanya dicatut dan dituliskan dalam Faktur Pajak Fiktif yang ia buat. Dengan modus ini, PKP pembeli biasanya tidak akan mengkreditkan PPN didalam Faktur Pajak Fiktif itu melainkan langsung membiayakannya saja diakhir tahun sehingga mengurangi laba. Biasanya PKP pembelu mengambil identitas PKP lain yang lokasinya berjauhan bahkan lintas provinsi agar sulit dilacak, dan indikasi lainnya adalah alamat yang mereka (PKP Pembeli) cantumkan adalah alamat yang tidak jelas.

Dari sisi oknum PKP penjual yang memakai cara ini, tujuannya adalah agar ia mendapatkan fee untuk membayar operasional perusahaanya. Jadi oknum PKP semacam ini memang dikenal melayani jass pembuatan Faktur Pajak Fiktif dimata kolega bisnisnya. Sejauh ini, modus seperti ini makin terawasi setelah pemerintah melahirkan kebijakan baru dimana jatah penomoran faktur diberi oleh Ditjen Pajak sehingga pengusaha tidak boleh lagi menomori Faktur Pajak. Terlebih nanti di tahun 2016 akan diberlakukan sistem Faktur Pajak Elektronik (e- Invoice) secara nasional. Jelas ini dapat memutus praktik yang kerap dijalankan antar oknum pengusaha ini.

#4 Kongkalikong Bukti Potong

Aspek tersulit untuk diawasi dalam perpajakan adalah PPh Potong Pungut (4(2), 21, 22 dan 23). Sulit sebab kunci pengawasan sepenuhnya dipegang pengusaha. Satu- satunya yang diandalkan saat ini cuma laporan SPT Masa PPh. Bisa dibayangkan ribuan transaksi bisnis yang melibatkan aspek pemotongan atau pemungutan PPh berjalan tanpa diawasi. Tidak sedikit, oknum pengusaha yang tidak memotong PPh 23 atas jasa yang mereka terima dari rekan bisnisnya. Sebaliknya, rekan bisnisnya pun senang- senang saja melenggang tanpa potongan. Celah ini menjadi modus oknum pengusaha nakal untuk mengabaikan pajak.

Meski demikian, modus ini mudah dilacak dari pembebanan biaya yang dikeluarkan terkait pembayaran jasa kepada rekanan. Oknum Perusahaan tentu tidak mungkin melepas pembebanan signifikan di laporan keuangan cuma supaya tidak ditanya ihwal pemotongan PPh yang telah mereka lakukan. Atau bisa pula dengan cara lain yaitu menelusuri terbalik dari pihak yang seharusnya dipotong lewat dokumen bukti tagihannya (biasanya faktur atau bukti penyerahan jasa). Lalu disandingkan dengan PPh yang dibayarkan pemotong. Gotcha! Kemudian terungkaplah bahwa selama ini mungkin mereka telah melewatkan kewajiban untuk memotong PPh.

#5 Rugi Terus! Jalan Terus!

Inilah yang biasanya kerap dijalankan oknum perusahaan nakal untuk menghindari pajak. Memang, praktik ini jangka panjang. Mereka mengkapitalisasi rugi sebagai kompensasi sebelum menghitung laba yang jadi dasar perhitungan pajak. Pertanyaanya. Apa betul mereka rugi? Atau seberapa besar? Bila rugi terus bagaimana perusahaan dapat membiayai operasionalnya? Banyak oknum perusahaan melakukan ini. Biasanya alasan utama mereka adalah karena masa awal bisnis mereka masih belum fokus mengejar laba demi membayar hutang berikut bunganya. Sampai disini alasan itu masih bisa diterima.

Tapi mari kita berpikir lebih dalam, meski fokus mereka sementara adalah menutup hutang, bukankah mereka tetap menjalankan bisnis, setidaknya mereka tentu menjalin kerja sama dengan pihak perusahaan lain yang mungkin dengan itu mereka telah dipotong PPh 23 sebagai krefit akhir tahun. Artinya, harusnya mereka berhak menerima kembali lebih bayar itu! Tapi mengapa justru mereka hanya mengkapitalisasi kerugian itu tanpa mencantumkan kredit pajak? Yang dengan itu menyebabkan SPT Tahunan mereka menjadi Nihil bukannya Lebih Bayar. Jawabannya karena mereka tidak mau diperiksa! Karena mungkin memang ada sesuatu yang belum diketahui.

Selain dari kelima modus itu, tentu masih lebih banyak lagi yang kerap dijalankan sebagai cara untuk menghindari pajak. Semua cara itu tentu akan terus berkembang seiring kemajuan zaman. Sesering apapun kita diingatkan tentang arti penting pajak tidak ada jaminan semua modus itu akan hilang. Maklum, pajak, bagi sebagian orang adalah bentuk perampokan legal oleh negara. Sementara sebagian lain memandang bahwa pajak adalah jalan membagi rata kesejahteraan bagi seluruh penduduk lewat kebijakan yang diterbitkan pemerintah dan harus dipatuhi wajib pajak.

Diatas semua itu, cuma diri kita sendiri yang tahu batas keikhlasan membayar pajak. Peraturan mungkin dapat dihindari dengan segenap modus dan trik atau dengan cara yang lebih berkelas yang disebut Tax Planning. Tapi tentu saja negara tidak akan tinggal diam melihat praktik ini, kan selalu muncul kebijakan agar potensi pajak tidak hilang tanpa bekas.

Erikson Wijaya
Bangka Belitung
16 Februari 2014

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja