Berbenah Demi Berkah Timah

Suatu pagi dibulan Mei tahun lalu. Dalam penerbangan menuju Pangkal Pinang, sesaat sebelum mendarat, dari atas saya melihat sebagian wajah pulau bangka yang bopeng seperti habis digali tanpa direklamasi. Begitu banyaknya sisa galian itu sehingga membuat saya berpikir ada apa dan mengapa dibiarkan saja? Seiring waktu saya mulai paham bahwa sisa galian yang dibiarkan itu adalah sisa penambangan Timah yang kerap dilakukan baik oleh pribadi atau korporat demi uang. Maklum, sejak dulu tanah Bangka Belitung sudah dikenal karena Timahnya, bahkan sejak jaman kolonial Belanda.

Ada dua macam praktik penambangan Timah, tambang darat dan tambang laut. Keduanya jelas punya daya tarik tersendiri. Tapi yang banyak tidak kita ketahui adalah kenyataan soal siapa dan bagaimana penambang itu beraksi, mengelola dan mempertanggungjawabkannya. Timah adalah berkah kekayaan tanah Bangka Belitung yang seharusnya membuat rakyatnya hidup layak dan berdikari. Tapi jamak ditemui di sini, praktik penambangan itu berjalan ilegal, terorganisir, rapi dan tak berbekas. Hal ini terjadi pada semua skala operasional, pribadi atau korporat, kecil atau besar. Hasilnya, bahan mentah potensial itu berpindah tangan, menguap bersama potensi pajak yang seharusnya masuk ke kas negara untuk rakyat.

PT Timah (Persero) Tbk, BUMN yang kerap merugi.

Secara legal, PT Timah (Persero) Tbk diberi hak dan mandat penuh untuk mengelola timah dengan tujuan untuk menambah penerimaan negara dari laba BUMN tersebut. Di tataran operasional, hal tersebut dijalankan dengan menjalin kerja sama penambangan dengan perusahaan mitra yang nantinya akan menyediakan pasir timah hasil penambangan sesuai kuota yang diberikan. Mitra ini diberi keleluasaan untuk mengeruk pasir timah di arealng diijinkan, termasuk laut lepas. Itu sebab di pantai pulau bangka mudah sekali melihat kapal hisap pasir 'parkir' di lautan berminggu- minggu lamanya. Kerja sama juga meliputi jasa penunjang penambangan seperti jasa reklamasi lahan dan jasa lainnya.

Dengan kuasa sedemikian itu, PT Timah (Persero) Tbk dalam dua tahun terakhir tak moncer jua performanya. Tahun 2012, laba bersih PT Timah (Persero) Tbk turun 51,43% dari tahun 2012 jadi sekitar Rp400 Miliar. Berlanjut di tahun 2013, laba bersih itupun terus tergerus tajam menjadi Rp137 Miliar yang artinya hilang sekitar 62%. Hanya di tahun 2011 yang laba bersihnya lebih baik di angka Rp800 Miliar. Tanpa bermaksud tak percaya pada PT Timah (Persero) Tbk, setidaknya ini layak dipertanyakan. Jangan- jangan didalam negeri sendiri PT Timah (Persero) Tbk sudah kalah saing dengan penambang swasta yang beroleh IUP. Kalaupun iya, bagaimana bisa? Setidaknya ada dua alasan menurut saya. Pertama karena tidak semua aktivitas penambangan itu resmi dan legal, kedua keterbatasan PT Timah (Persero) Tbk untuk eksplorasi berkelanjutan demi optimalisasi hasil.

Rupa- rupa Modus dan Trik

Penambangan yang legal adalah penambangan yang direstui lewat IUP. Tapi di tanah Kepulauan Bangka Belitung ini banyak penambang ilegal yang main keruk atau main hisap pasir timah dan supaya tidak terlacak, mereka menjual hasil penambangan ke penadah yang mau membelinya. Penadah adalah kaum pemodal yang memperoleh untung dari selisih harga beli dengan harga jual di pasaran. Mereka menjualnya ke perusahaan lain baik dalam atau luar negeri. Transaksi bawah tangan semacam ini kerap jadi modus untuk membuat bisnis mereka tak terendus. Mereka jadi tak perlu pusing dengan pajak. Perusahaan pembeli pun biasanya menyamarkan hasil pembelian itu diluar laporan keuangannya baik dengan cara memecah biaya supaya tampak wajar atau mengalihkannya sebagai beban di laporan keuangan perusahaan afiliasinya yang didirikan cuma untuk mendukung praktik ini, termasuk bila kemudian hasil pembelian itu kemudian di ekspor ke luar negeri.

PT Timah (Persero) Tbk jelas kalah secara volume transaksi dan intensitas, bukan tidak mungkin pula PT Timah (Persero) Tbk mengalami kerugian sebab areal yang ditangani untuk mereka sudah diambil potensinya dengan cara yang curang. Biasanya penambang ilegal itu berdalih demi alasan ekonomi dan justru inilah yang diharapkan penadah ilegal itu supaya pemerintah bimbang untuk mengambil sikap.

Diluar itu semua, ada lagi praktik rapi penambang timah ilegal dalam beroperasi. Agar tak terlacak volume usaha dan hasil tambangnya, mereka melakukan transaksi pembelian alat penambangan atas nama pribadi semisal pipa, alat berat atau lainnya. Pribadi yang dimaksudpun bukanlah siapa- siapa bahkan tidak ada dalam susunan pengurus perusahaan. Indikasinya jelas, orang pribadi semacam apa yang dalam satu tahun membeli pipa hampir senilai Rp600juta dalam setahun? Bila bukan untuk dipakai koroprat, siapa lagi? Bila memang tak ada yang salah mengapa tidak langsung saja pakai nama company? Lebih kredibel dan wajar tentunya. Selain itu banyak pula perusahaan penambang timah yang bertahun- tahun tiarap, diam dan sembunyi tentang laporan pajaknya. Mereka menunggu untuk disentuh petugas baru kemudian berkilah mengulur waktu untuk alasan kelangsungan bisnis supaya tidak mati.

Timah di Tanah Rakyat. Untuk Siapa?

Penambang timah di Kep. Babel ini ada juga yang pemain asing. PT Koba Tin misalnya dimiliki Malaysia, sebelumnua Australia, yang kini tak jelas nasibnya menyisakan kesumat warga yang merasa dibohongi dan digantung hak nya. Sejak tak lagi beroperasi karena alasan operasional dan keuangan yang tidak sehat, geliat ekonomi warga di Kabupaten Bangka Tengah, Koba seperti mati. Banyak rekanan kecewa karena piutang mereka tak tertagih padahal pekerjaan sudah diselesaikan. Ada juga cerita suram tentang gaji pegawai yang tak dibayar sementara mereka kantor PT Koba Tin sendiri sudah penuh semak tak terurus. Dengar kabar, uang PT Koba Tin dibawa investornya ke negara asal di Malaysia untuk kepentingan bisnis mereka.

Setoran ke Kas Negara lewat pajak perusahaan dari daerah ini pun terjun bebas. Banyak perusahaan mitra yang begitu diingatkan kewajibannya akan pajak langsung bereaksi spontan bahwa uang mereka ada di PT Koba Tin atau langsung defensif dan reaktif menampik surat yang dilayangkan. Kalau sudah begini, bukan cuma rakyat lokal yang rugi tapi juga segenap bangsa ini. Bukannya anti asing, tapi apa yang terjadi pada PT Koba tin membuka mata kita tentang bagaimana negara lain telah begitu berani nya menyepelekan negeri ini.

Disaat pelan- pelan Timah di Bangka berpindah tangan, Malaysia kemudian muncul sebagai negara eksportir Timah pada tahun 2011. Padahal secara jumlah dan potensi Timah di Kep. Bangka Belitung adalah andalan yang dinanti produsen piranti elektronik seperti Samsung dan Apple. Namun praktik salah urus dan pembiaran menahun pengelolaan Timah yang acak adut telah menjadikan negeri ini pelayan bagi investor asing yang mengesampingkan kesejahteraan rakyat.

Lucunya, para perusahaan penambang yang lama menjadi mitra asing itu kini tak benar- benar vokal menyuarakan kerugian yang merundung mereka. Sebagian memilih untuk melupakan dan ahli profesi menjadi Calon Legilslatif yang ironisnya sama sekali tak berani mengangkat isu Timah dan PT Koba Tin yang terlihat di tiap selebaran kampanye yang mereka edarkan. Beberapa dari mereka cukup banyak yang sejahetra dari Timah yang sayangnya belum sebanding dengan kontribusi kepatuhan pajak yang mereka penuhi. Alhasil, melimpahnya timah berubah menjadi petaka, bila tidak sanggup disebut sebagai kutukan.

Beranjak Demi Solusi

Sejak lama kondisi yang dialami bangsa dengan berkah limpahan sumber daya alam diingatkan oleh ekonom Andrew dan Jeffrey Sachs lewat teori Kutukan Sumber Daya Alam. Intinya bila tak pandai dan optimal dalam tata kelola sumber saya alam maka suatu negeri akan merana oleh kekeliruan yang dibuatnya sendiri. Begitu pula dengan hal ihwal pengelolaan tambang timah di tanah Bangka Belitung. Kekeliruan yang ada telah memberi preseden buruk dampaknya bagi ekonomi setempat dan juga negeri ini. Bila dibiarkan, hal ini makin membuat negeri ini diperbudak oleh bangsa asing dan pebisnis yang tak kenal nasionalisme.

Pemerintah baru- baru ini lewat kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah telah melangkah tepat demi penyelamatan jangka panjang. Kebijakan ini mewajibkan eksportir mengolah bijih timah menjadi timah batangan sehingga memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Disisi lain ini dapat menyerap tenaga kerja meski memang tak semua perusahaan penambang dapat memulainya sebab dibutuhkan modal tak sedikit untuk membangun peleburan bijih timah. Namun, ini lah awal baik untuk melacak arus aliran bijih timah yang selama ini seolah lenyap.

Selain itu, demi upaya berkelanjutan, kebijakan tersebut belumlah cukup. Diperlukan tekad baik dan upaya bersama antara banyak pihak agar saling mengawasi. Asosiasi Tambang Timah Rakyat di Bangka Belitung menjadi kunci utama yang menentukan. Di tangan asosiasi ini, semua cerita soal praktik curang tambang timah tentu tersimpan. Mereka sebagian besar adalah warga yang menambang timah secara tradisional untuk dijual ke penadah atau perusahaan lainnya. Besaran nilai yang mereka serahkan secara akumulatif adalah potensi tambang yang patut diklarifikasi.

Bersama dengan jajaran kepolisian dan pemerintah daerah setempat maka upaya perbaikan akan lebih terarah. Harus dievaluasi kembali jumlah IUP yang telah diterbitkan dengan jumlah volume hasil tambang yang telah dikeruk. Bukan tidak mungkin ada ketidakwajaran yang dapat diungkap sebagai titik awal investigasi dengan melibatkan kepolisian. Tekad kuat dari segenap unsur mutlak diperlukan dalam mengawal langkah perbaikan untuk mengembalikan nilai manfaat timah kembali kepada rakyat sesuai ketentuan yang berlaku. Tanpa itu semua, semua upaya cuma akan menjadi wacana yang fakir implementasi dan menggadaikan kedaulatan negeri.

Erikson Wijaya
Pangkal Pinang, 09 Februari 2014

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King