Terpikat (Calon) Wakil Rakyat?

Banyak alasan yang mendorong para calon wakil rakyat maju dalam pileg 2014. Mulai dari alasan yang paling ideologis (ideologi, kepentingan publik atau aktualisasi diri) sampai yang paling pragmatis (kekuasaan, uang dan kepentingan kelompok). Poster mereka kini bertebaran di banyak penjuru dengan cerita yang sama: memperkenalkan diri sebagai yang paling membela rakyat. Mulia dan ideal sekali. Tetapi ihwal membela rakyat bukanlah hal sederhana. Kita, sebagai rakyat, harus cerdas memilih sebab tidak semua calon itu benar- benar layak diamanahi status wakil rakyat.

Tugas utama wakil rakyat adalah menelurkan buah pikir yang membela kepentingan rakyat di tiap sidang atas nama rakyat. Di ruang pergulatan ide dan pemikiran mereka sudah bukan lagi wakil partai tapi murni seutuhnya untuk rakyat. Sehingga, idealnya mereka yang maju adalah mereka yang paham masalah mendasar dalam mengurus rakyat agar tidak mudah ditelikung oleh praktik moral hazard. Gelar kesarjanaan tidak cukup membuat seorang calon dianggap paham dan punya orientasi mensejahterakan rakyat. Rekam jejak menjadi penentu kualitas seorang calon untuk dinilai komitmennya bagi rakyat.

Berdasarkan data yang dirilis harian Kompas (02/01/2014), dari 6.607 calon wakil rakyat yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum, sekitar 49,10% berasal dari kalangan pengusaha dan 3,70% dari kalangan aktivis LSM/Non Govermental Organization (NGO). Dan dari total angka itu hanya kurang lebih 50% yang punya background ideologi (kader partai), selebihnya adalah pribadi instan yang dijaring atau merapat dengan latar belakang modal finansial atau popularitas yang memadai. Disebutkan pula 90% dari calon wakil rakyat kini adalah muka lama yang maju kembali. Melihat paparan data itu rasanya sulit berharap banyak kepada mereka.

Siapapun tentu sudah dapat menduga bagaimana wajah Wakil Rakyat kita kelak, dengan dominasi kalangan pengusaha yang terbiasa profit-oriented dalam bekerja, muncul keraguan apakah mereka akan mampu dan mau berjuang untuk rakyat, jangankan untuk itu, integritas mereka pun masih patut disanksikan sebab sudah rahasia umum bahwa banyak pengusaha di negeri ini berusaha menghindari pajak dan menggelapkan pajak demi kepentingan bisnis atau pribadi, sebuah praktik yang menciderai rakyat. Sebab pajak yang seharusnya dibayarkan ke negara demi kesejahteraan rakyat justru menguap dan lenyap oleh ulah mereka.

Sudahlah seperti itu, ditambah pula bila mereka adalah pribadi non-kader yang tiada sandaran prinsip ideologi. Ideologi, bagi tiap kader partai adalah penunjuk arah dan penjaga moral dalam bekerja untuk rakyat. Menjadi wakil rakyat seharusnya adalah tugas mulia, tapi tanpa itu semua calon wakil rakyat yang beramai- ramai mencari suara tidak lain hanyalah sekelompok manusia yang mencari kerja dan kemapanan dengan berlindung atas nama demokrasi. Kita suduh cukup paham bagaimana buruknya kinerja Wakil Rakyat sepanjang 5 tahun terakhir. Realisasi prolegnas yang tidak pernah lebih dari 50% per tahun sudah cukup menunjukkan betapa malasnya mereka.

Menambah panjang daftar kekecewaan kita adalah Dewan Perwakilan Rakyat dipersepsikan sebagai instansi yang paling korup. Sebanyak 81 anggota DPR RI terjerat kasus korupsi seperti dilansir Indonesian Corruption Watch, dan hampir 350 anggota DPRD Provinsi pun setali tiga uang (data Kemendagri, 2013). Ini semua adalah hasil dari praktik serampangan dalam menjaring calon Wakil Rakyat oleh Partai Politik ditambah rendahnya kontrol standar KPU dan endapan kecewa rakyat yang melahirkan sikap pragmatis. Itu sebab, hanya bermodal uang dan atau ketenaran sudah cukup menghantarkan seorang duduk di parlemen.

Kita sudah saatnya untuk tidak lagi memanjakan mereka yang minus komitmen. Mereka yang ternyata hanya memperkaya diri dan kelompok serta mengokohkan kekuasaan dan kemapanan jangan lagi dipilih atau dimuliakan dengan status wakil rakyat. Supaya tidak terdengar lagi cerita banyaknya Wakil Rakyat yang tidur atau mangkir saat sidang, bahkan konstituennya pun hanya dijadikan objek yang bisa dibeli dengan uang setiap masa pemilihan. Kita tentu tidak mau menggadaikan masa lima tahun hidup kedepan dengan mengulangi kesalahan yang sama. Saatnya kita mengenal lebih jauh siapa dan apa kontribusi mereka serta bagaimana reputasi mereka.

Erikson Wijaya
Bangka Belitung
11 Januari 2014

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King