Pajak: Antara Realisasi dan Ekspektasi
Di negeri ini Pajak adalah sektor unggulan yang belum benar- benar diunggulkan. Pelaksanaanya tidak mendapat panggung perhatian, bahkan dibenci dan diacuhkan. Padahal 'nyawa' bangsa ini dipertaruhkan dari Pajak. Urusan pajak itu adalah urusan nasional. Curahan atensi seyogyanya juga mengalir dari pucuk tertinggi hirarki birokrasi. Presiden. Namun, berbilang dekade lamanya bangsa ini seperti dicekoki dogma bahwa urusan Pajak itu sepenuhnya ada di pundak Direktorat Jenderal Pajak semata. Akibatnya, tidak ada upaya bersama dari segenap unsur untuk sama- sama merenungi peran krusial Pajak. Upaya menuju bangsa yang sejahtera bagai jauh panggang dari api.
Mari kita melihat dengan jujur pencapaian penerimaan negara dari Pajak. Sepanjang 10 tahun terakhir hanya pada 2008 dan 2007 tembus 100% lebih. Selebihnya? Meradang di kisaran 95- 98%. Tahun 2013 ini pun tidak akan optimal, bisa diperkirakan, per 17 Desember ini baru tercapai 86,14%, padahal hari kerja efektif tinggal kurang 20 hari. Modernisasi Pajak yang rilis sejak lebih satu dekade lalu baru sekadar berhasil membalikkan posisi Pajak sebagai unit investigasi menjadi unit pelayanan, sederhananya pajak telah sedang bekerja keras muncul dalam wujud keramahan dengan orientasi pelayanan dengan harapan bisa meluluhkan wajib pajak dan masyarakat untuk sadar pajak. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Modernisasi Pajak justru mengaum tanpa gaung.
Bila sudah begini siapa salah? Tidak ada guna mencari kambing hitam, menyalahkan dan merasa paling benar. Bagaimanapun, Ditjen Pajak tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Urusan Pajak itu urusan bersama untuk membangun bangsa. Pemimpin negara yang cerdas dan berani tentu sadar benar bahwa peran pajak adalah hitung- hitungan ekonomi yang merupakan jalan keluar dari terkaman krisis dan defisit. Untuk itu, seruan ke arah perbaikan harus dimulakan dari Presiden untuk mengamanahkan kerjasama semua elemen demi mengoptimalkan pajak. Ditjen Pajak sudah terlalu lama kedodoran dibebani ratusan milyar hingga ribuan triliyun rupiah tiap tahun dengan segala keterbasan yang ada.
Keterbatasan pertama adalah data. Bukannya tanpa antisipasi, tapi regulasi yang sudah ada justru tak bertaji. Pasal 35 dan 35 A Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jelas menitipkan amanah pada tiap instansi untuk menyediakan data kepada Ditjen Pajak. Namun di tataran implementasi, pasal ini dikangkangi aturan beraroma kepentingan komersial. Dengan alasan menjaga kerahasiaan nasabah kerap kali pihak Bank enggan memberikan laporan keuangan Debitur kakap yang ditengarai bermain api dengan Pajak. Ini jadi sinyal bahwa Pajak belum dianggap superior dalam menjaga ketahanan negara. Pajak justru dilihat sebagai musuh bersama.
Sudahlah fakir data, diperparah pula jumlah SDM yang belum cukup. Bayangkan jika satu orang pengawas (Account Representative Pajak) harus pasang mata untuk lebih dari 4.000 Wajib Pajak. Jangan heran bila banyak potensi yang menguap dalam rupa- rupa modus dan trik. Idealnya memang DJP harus diberi ruang yang lebih bebas untuk menata urusan SDM termasuk dalam mekanisme reward & punishment. Dengan tugas mencari uang untuk negara, perhitungannya jelas yaitu jumlah pegawai ideal adalah angka yang berbanding wajar dengan jumlah Wajib Pajak. Kini ada hanya ada sekitar 6.000 AR dan 4.000 Pemeriksa untuk mengawasi lebih dari 20 juta Wajib Pajak.
Belum tampak upaya nyata dari lingkungan kabinet dan otoritas daerah untuk menyerukan sinergi dan arti penting pajak demi mengetuk kesadaran kolektif bangsa. Sejauh ini baru seremonial yang prosedural saja yang tiap tahun kita lihat, seperti Pejabat A lapor SPT, Pejabat B bayar pajak tapi itu semua absen substansi utama karena melulu gagal membangun pemahaman bersama semua pihak. Jangan heran bila banyak Caleg yang baru punya NPWP saat mau mendaftar di KPU. Itu pun terpaksa sekali karena diharuskan demikian. Sudah saatnya kultur ini diubah. Ganti arah dan cara pandang.
Ditjen Pajak sebagai alat negara untuk mengumpulkan pajak ke Kas Negara akan tetap berinvolusi dalam segala judul terobosanya tanpa dukungan penuh segenap sendi bangsa ini. Pajak adalah unggulan utama yang diandalkan untuk mengisi pundi- pundi negara. Jangan biarkan Ditjen Pajak berjalan tertatih- tatih mengemban beban berat sendirian, padahal soal Pajak adalah urusan nasional. Jangan anggap Ditjen Pajak tidak bekerja optimal untuk tiap amanah tahunan yang disematkan didadanya, sebab bisa jadi memang bangsa ini sedang kehabisan stok pemimpin yang berani tidak populer dan cerdas membaca situasi, sampai- sampai belum sadar jua bahwa pada Pajaklah negara ini bergantung.
target ente kurang berapa persen son? *semangat bung
ReplyDeleteKalo saya alhamdulillah sdh hmpir 120% Jizu. Tp kantor masih 72,20%. Semangat!! :-)
ReplyDeleteKalo saya alhamdulillah sdh hmpir 120% Jizu. Tp kantor masih 72,20%. Semangat!! :-)
ReplyDelete