Panggung Rapuh Politik Indonesia

Politik adalah panggung paling kentara didalam deretan catatan perjalanan bangsa. Lewat politik, berbagai arah sejarah bangsa bermula, dijalankan dengan segenap ideologi yang menjadi nafasnya. Pelakunya adalah mereka yang kita namai politisi atau kaum elit/terpandang. Dari rahim politik Indonesia terlahir tokoh sekelas Soekarno, Hatta, Sjahrir, dll. Politik itu mulia dan praktiknya bertujuan memuliakan kehidupan rakyat, mulai dari kaum sejahtera hingga mereka yang papa. Politik menjadi bahasa pemersatu para pendiri bangsa untuk mewujudkan cita- cita merdeka, yaitu bahasa perjuangan. Sampai akhirnya, jaman berganti, tokoh pengisi panggung nan gebyar cahaya itu pun tak lagi sama. Tetapi, politik dengan tujuan mulianya (seharusnya) tetap tertanam menjadi landasan arah perjalanan.

Kini pun, ceritanya tetap sama, panggung politik tetap menjadi sorotan utama. Bedanya, politisi-politisi itu kini tidak lagi perlu repot memperjuangkan kemerdekaan. Namun disinilah sengkarut politik itu dimulai. Bahasa perjuangan tidak lagi menyatukan para politisi, mereka kehilangan pegangan. Alhasil, satu sama lain justru adu kuat dan adu kuasa, disaat yang sama rakyat jadi penonton. Rakyat tidak lagi jadi alasan mengapa politik itu ada. Rakyat ditepikan dan baru setiap lima tahun sekali saja dirangkul. Politik telah berubah menjadi rumah penghidupan para politisi yang terbiasa hidup mewah, mereka bahu membahu saling menguatkan posisi demi melanggengkan sumber penghidupan mereka. Intuisi dan naluri kemanusiaan mereka makin tumpul juga abai akan makna perjuangan yang sebenarnya dalam mensejahterakan rakyat, mengisi kemerdekaan. Dari rahim politik yang seperti inilah terlahir Angelina Sondakh, Nazarudin, Ratu Atut Choisiah, dll.

Sudah saatnya negeri ini jujur mengakui bahwa berbilang tahun lamanya, panggung politik itu makin rapuh, ada malpraktik yang membuat sistem politik kita belum mampu membuka pintu lebar bagi mereka yang berintegritas dan bertanggungjawab. Politik kita sarat dengan uang. Tidak berlebihan bila disebut Politik Berbayar. Ini dikuatkan dengan Indeks Persepsi Korupsi kita yang sejak masa reformasi 15 tahun lalu tidak juga naik kelas dengan signifikan. Dan lahan paling subur bagi pertumbuhan praktik korupsi itu adalah Politik dengan segala instrumennya. Politik yang diwariskan dari generasi Soekarno dan Hatta dengan mulia kini menjadi hina oleh laku politisi oportunis yang tidak sungkan menciderai rakyat. Inilah tragedi politik yang tidak terukur dengan paparan statistik.

Akibatnya mereka yang punya akses menuju panggung itu adalah kaum pemodal atau kerabat pemilik kuasa, mutualisme keduanya menggurita dan menutup rapat politik kecuali bagi sesama mereka. Pembiaran atas hal ini berlangsung bertahun- tahun lamanya. Dibutuhkan gebrakan kolektif dari mereka yang peduli untuh menghentikan laju praktik eksklusif ini. Mereka adalah para tokoh kharismatik partai politik, negarawan, budayawan, aktivis anti korupsi, dan segenap pemuda yang tinggi semangatnya. Mereka mewakili secara benar suara rakyat yang tak tersentuh media arus utama. Rakyat sedari lama menunggu gebrakan itu, menunggu sosok yang amanah, tegas, berani dan berintegritas. Sosok yang tidak pernah bertabur sanjung dan puja puji media. Sosok yang layak melakoni peran di panggung yang semula mulia itu.

Setiap babak sejarah pasti ada awalnya. Bagaimana politik di masa kini adalah akumulasi sikap politisi sejak dahulu hingga kini, tapi siapa sangka akhirnya kini tidak seindah awalnya. Kita bisa katakan bahwa reformasi telah melahirkan panggung politik yang partisipatif. Tapi sedalam apa partisipasi itu, sejarah telah membuktikan dengan nyata bahwa rakyat sebagai tujuan utama politik, tidak pernah dibuat berpartisipasi secara jujur dan manusiawi. Berkaca dari potret kelabu laku dan lakon politisi itu, semoga belasan atau puluhan tahun mendatang panggung politik negeri ini tidak kian identik dengan korupsi dan perilaku busuk yang menggerogoti dari dalam, agar jangan sampai kentaranya panggung itu kelak justru diwarnai oleh kutukan publik lantaran kasus korupsi tak berkesudahan. Tragis!

Ebas
Pangkal Pinang
22 Desember 2013

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King