Rokok, Hak Asasi dan 5 Fakta Ironi.

Bukan hal yang mudah bagi saya memutuskan untuk menuliskan hal ini. Sedari kecil saya sudah akrab dengan asap rokok. Ayah saya perokok berat. Begitu juga keluarga, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Di lingkungan teman sepermainan masa remaja pun setali tiga uang. Kondisi ini berlanjut saat saya memasuki dunia kerja dimana mayoritas teman lingkungan kerja adalah para perokok. Dan kebetulan pula, dunia pendakian gunung yang saya gilai turut membuat saya masuk dalam pergaulan yang sebagian diikat oleh rokok sebagai identitas.

Bahkan untuk beberapa waktu lamanya saya akui saya sempat menjadi perokok, walau tidak sampai pada fase kecanduan, murni sebagai pelarian semata. Intinya saya akrab betul dengan aroma asap dari rokok yang dinyalakan, cita rasa tembakau didalamnya atau manis gabus filter di ujung batangnya. Rentetan pengalaman itu membentuk pola pikir saya bahwa merokok itu hak. Setiap orang sah- sah saja untuk menikmatinya. Terlebih untuk mereka yang sudah belasan atau puluhan tahun lamanya menjadi perokok.

Hingga akhirnya di satu titik, saya berpikir ulang ihwal rokok ini. Jika memang merokok itu nikmat, lalu mengapa edukasi dan himbauan untuk stop merokok makin kian massif? Atau kalau memang merokok itu adalah hak, lalu mengapa sebagian masyarakat menjadi gusar dan anti rokok? Dan terakhir, siapa sebenarnya yang diuntungkan lewat batangan rokok yang kerap kita hisap?

Pertanyaan yang mencecar pikiran itu memunculkan bayangan intimidasi yang menuntut jawaban logis dan tegas. Karena bagaimanapun juga, dari sudut pandang ekonomi dan sosial, rokok terbukti lebih banyak membawa kerugian daripada kebaikan. Semua tahu itu. Oleh karena itu, mungkin beberapa informasi berikut dapat menjadi jawaban yang (semoga) mencerahkan, agar tidak ada lagi debat kusir yang tak berkesudahan soal rokok.

1. Prevalensi Merokok Kita Melonjak

Lembaga Demografi FEUI menuturkan bahwa ada indikasi peningkatan persentase orang merokok di Indonesia. Dan realitanya 67,4% pria Indonesia adalah perokok, tertinggi di dunia. Fakta statistik tersebut dirilis oleh Global Tobacco Survey Indonesia akhir tahun lalu. Sementara jumlah wanita perokok di Indonesia mencapai 4,5% yang merupakan posisi ke 13 dunia, persis dibawah Mexico. Dihubungkan dengan angka kemiskinan di negeri ini, maka persentase setinggi itu tentunya menyasar masyarakat ekonomi lemah.

Itu artinya, fakta miris yang kita hadapi adalah bahwa rokok telah menjadi barang utama bagi kaum papa yang lebih diutamakan ketimbang pangan primer. Uang yang seharusnya dialokasikan untuk membiayai pendidikan dan kesejahteraan justru dihabiskan untuk membeli rokok. Sehingga jika kondisi ini dibiarkan, dalam jangka panjang, negeri ini akan menanggung biaya kesehatan dan ongkos sosial lainnya. Dan ini beresiko membuat peningkatan kualitas manusia bangsa ini tidak hanya tertinggal tetapi juga tenggelam.

2. Kehilangan Momentum Bonus Demografi

Remaja merokok makin menjadi pemandangan biasa di sekitar kita. Padahal mereka adalah pemain bursa kerja 15- 20 tahun mendatang. Menurut Riset Kesehatan Dasar 3 tahun silam jumlah remaja yang merokok di seluruh Indonesia mencapai 28,2% dan khusus wilayah DKI mencapai 44,6%. Remaja- remaja tersebut jika dibiarkan tanpa kesadaran akan risiko rokok akan menuai akibat secara akumulatif 15 tahun sejak mereka mulai mengonsumsi rokok. Periode dimana seharusnya mereka produktif di pasar kerja justru harus mereka hadapi dengan kondisi sakit- sakitan.

Bila demikian, bonus demografi yang digadang- gadang akan Indonesia nikmati kelak jelas cuma tinggal mimpi. Bonus demografi secara dramatis akan menjadi petaka demografi, miris. Akan tetapi, mereka menjadi perokok bukan tanpa alasan. Mulai dari kemudahan mendapat rokok (membeli eceran), faktor pergaulan hingga perilaku orang tua yang juga perokok.

3. Melemahkan Ekonomi Negara, Makin Jauh Dari Sejahtera.

Bukalah serial data angka APBN di pos Beban Subsidi. Kita akan lihat bahwa pengeluaran negara akibat rokok ini meningkat. Secara riil ini terlihat dari makin tingginya subsidi kesehatan dalam banyak bentuk untuk membantu penduduk miskin yang sakit, salah satunya akibat rokok.

Menurut Badan Litbang Kesehatan Kemenkes tahun 2010. Kerugian total makroekonomi yang meliputi disabilitas pada angka natalitas dan waktu produktif yang hilang akibat konsumsi rokok mencapai Rp. 245,4 Triliyun. Bahkan, Rp 2,11Triliyun dari total Rp 7,40 Triliyun dana Jamkesmas dihabiskan untuk pengobatan penyakit akibat rokok. Sementara biaya pembelian rokok di masyarakat mencapai Rp. 138,0 Triliyun.

Dan sadarkah kita bahwa di tahun yang sama penerimaan negara dari cukai rokok tidak lebih dari Rp. 56 Triliyun? Sehingga jelas rokok adalah musuh bagi tujuan kesejahteraan negara. Fakta ini menjadi antitesis segala prediksi optimis yang ditujukan ke Indonesia oleh dunia internasional dua tahun belakangan ini.

4. Asap Rokok Adalah Racun, Titik!

Rokok memang tidak mematikan secara langsung. Tetapi asapnya sudah membuat rasa tak nyaman sekeliling, apalagi di kalangan masyarakat anti rokok. Tidak berhenti sampai disitu. Kita tidak boleh lupa bahwa kontak sosial dengan perokok rentan membuat seseorang jadi perokok pasif. Perokok pasif inilah yang lebih rentan berisiko menghirup racun dari asap rokok yang dihembuskan perokok aktif. Ada 4.000 zat kimia yang berbahaya bagi tubuh dalam sebatang rokok.

Racun tersebut meninggalkan bekas dari yang paling ringan menjadikan mulut berbau, noda pada gigi hingga yang paling fatal berupa gangguan mental pada bayi dari ibu yang perokok baik aktif maupun pasif, penyakit jantung hingga kanker paru- paru. Merokok memang selama ini dipahami sebagai hak asasi, tapi hak asasi itu bukanlah absolut. Sebab dibatasi oleh hak orang lain pun untuk menikmati udara bebas tanpa asap rokok.

Jika merokok adalah kenikmatan. Maka nikmatilah rokok itu sendirian, jangan hembuskan racunnya pada mereka yang tak bersalah. Seorang perokok tentunya tak mau dicap sebagai pembunuh yang meracuni pelan- pelan.

5. Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan?

Rokok telah menyebabkan kematian sekitar 400.000 orang dan jutaan orang menjadi sakit karenanya. Angka dramatis tersebut sejauh ini hanya dipandang sebagai statistik sebuah mortalitas. Padahal itu adalah petaka pembunuhan terstruktur akibat pembiaran yang berlarut-larut. Fakta ini menggiring kita pada satu pertanyaan. Mengapa industri rokok lalu masih kuat bercokol di negeri ini? Mengapa pemerintah terkesan cuma diam? Dan siapa yang sebetulnya diuntungkan dari besarnya pangsa pasar rokok di Indonesia?

Sejarah industri rokok di Indonesia adalah cerita tarik ulur regulasi selama 20 tahun lebih sejak 1991 ketika kali pertama label bahaya rokok wajib dicantumkan dalam kemasan. Dan 19 tahun kemudian melalui UU 36/2009 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa Tembakau adalah zat adiktif. Kini pergulatan itu berlanjut melalui pembahasan RUU Tembakau yang diajukan kubu pro rokok dan RUU Penyiaran yang melarang iklan rokok di TV. Ada lobi dan kompromi tingkat tinggi yang sangat jauh dari akar rumput sebagai subjek kebijakan.

Pelaku industri rokok jelas menjadi pihak yang mendulang rupiah dan laba dari rokok. Baik domestik maupun asing. Ironisnya, negara asal produsen rokok internasional merek ternama yang marak dikonsumsi masyarakat Indonesia kelas menengah ke atas justru sama sekali tidak ada dalam 17 top negara dengan penduduk perokok terbanyak. Seharusnya kita sadar bahwa kita tak lebih dari bangsa yang dibodohi.

Saya tak hendak menyampaikan kebencian pada teman- teman perokok melalui tulisan ini, tapi setidaknya ada hal yang sekiranya patut saya sampaikan sebagai renungan pribadi dan kita semua bahwa begitu banyak cerita yang tak tersampaikan ihwal rokok ini, yang membuat kita lupa akan bahayanya bagi kita, lingkungan sekitar dan lebih jauh lagi bagi masa depabpn bangsa ini.

Saya sangat menghargai teman- teman perokok yang berbudi, yang enggan melepas asap racun rokok kepada saya saat berbicara berhadap- hadapan atau saat berkumpul bersama dengan beberapa teman. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa pola pikir bangsa ini masih menempatkan aktivitas merokok sebagai hak asasi, namun sampai disini marilah kita letakkan hak asasi ini berbatasan dengan hak asasi orang lain yang pula berhak akan udara bebas tanpa rokok.

Salam damai, untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

Ebas
Palembang
Awal Maret 2013.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King