Idealita Kontra Realita

Sudah sebulan lebih aku pindah seksi. Kali ini di tempat yang sangat sibuk, itu sebabnya banyak yang enggan masuk seksi ini. Seksi Pelayanan namanya. Aku sendiri bersikap biasa saja, antara sungkan menunjukkan keengganan atau kecenderungan mengikuti jalan hidup. Tapi sejujurnya aku melihat ini sebagai tanggung jawab atau amanah. Itu sebab mengapa aku bisa melihat kehadiran semangat dari dalam diri sebagai wujud idealita.

Sayangnya, di seksi yang baru ini aku lebih banyak tersadar bahwa idealita berbenturan dengan realita.

Pada minggu pertama aku ditempatkan di loket terdepan sebagai petugas penerima laporan dan atau permohonan. Hal yang menyenangkan menjumpai banyak wajah. Tapi di saat yang sama justru menjadi hal yang menjengkelkan bilamana bertemu dengan pribadi yang suka menentang aturan, meremehkan petugas dan mau nya tahu beres tanpa mau diberi arahan. Dan saat itu, sekitar pukul 11.00 WIB hari Kamis tanggal 25 Februari 2013. Aku mendapati rekan sebelah meja berhadapan dengan pelapor yang enggan ikuti aturan, sang pelapor/ pemohon membentak rekan tadi yang kemudian berinisiatif meminta arahan atasan.

Saat itulah aku coba memberitahukan dengan santun pada sang pelapor ihwal tata aturan yang sebenarnya, sedikit banyak ia seperti bersedia. Dan segera aku susul rekan tadi untuk sudahi saja inisiatifnya sebab pelapor/ pemohon sudah melunak secara sikap walau dengan intonasi yang tetap tinggi. Tapi rekan tadi meminta pihak pelapor menghadap ke ruangan atasan, dan tak lama entah apa bentuk diskusi antara mereka akhirnya permohonan itu diterima. Atasan kami keluar mendekati kami para petugas front office dan si pelapor kembali ke bangku tempat mereka semula.

Saat rekan ku diminta memproses permohonan tak lengkap itu, ia dengan sungkan menolak. Dan memilih mengalihkan instruksi berisiko itu ke yang lain saja. Sial, tak lain tak bukan di sebelahnya adalah aku. Berat untuk menuruti permintaan atasan, karena memang salah. Apa lagi aku baru saja menjelaskan dengan pada pemohon ihwal tata aturan yang ada. Mau dikemanakan mukaku? Mengapa jadi aku yang tanggung risiko? Reflek, akhirnya saat instruksi ditujukan padaku, dengan tegas aku menolak. Penolakan yang diartikan sebagai pembangkangan pada atasan. Tapi buatku itu lebih baik daripada hidup tanpa prinsip.

Dan drama tak patut itu terjadi. Didepan banyak orang aku bersikeras mempertahankan sikap, atasanku murka karena mungkin ketegasan dan integritasku merobek wibawanya. Bertambah pelik saat pemohon tadi justru ikut memaki dengan umpatan yang tak pantas diingat dan dengan sikap yang merendahkan martabat. Naluriku meruyak ke permukaan, aku membalas sikap intimidatif mereka dengan tak kalah bernyali. Nyaris sebuah kotak saran lemparan mereka menyasar mukaku. Dan tak lama kemudian, seorang rekan menarikku keluar 'arena' untuk meredam suasana.

Bagaimana cerita selanjutnya aku tak tahu, tapi sejak saat itu aku dipindah ke backoffice. Itu tak masalah bagiku. Dari pengalaman itu aku belajar bahwa keteguhan memegang prinsip bisa saja diuji oleh realita tak kondusif yang muncul dari orang yang harusnya menyokong. Entah itu rekan yang suka mengalihkan risiko, atasan yang kompromistis atau pihak ketiga yang sulit mengerti. Tapi itulah harga mahal yang harus dibayar atas keteguhan memegang prinsip. Namun sandaranku cukup lah pendirian bahwa pekerjaan yang kulakoni adalah untuk keluarga. Aku tak mau tanganku kupakai untuk mencuci tangan kotor orang lain.

Mungkin ini namanya lain padang lain belalang. Di seksi yang baru ini sibuknya bagai pabrik, tapi ini memang jalan cerita yang harus dilewati. Sudah dirancang ALLAH. SWT begini. Satu pemikiran yang membuatku melihatnya sebagai amanah. Dan disaat yang sama inilah wahana baru yang bisa membuatku lebih berani bersikap dan berkembang. Supaya aku jadi belalang yang tidak sekadar hidup di padang ilalang lalu mati terbuang. Dan agar ada legasi yang dapat aku beri meski di tempat ini idealita bisa kapan saja berbenturan keras dengan realita.

Comments

  1. Kadang prinsip, bawahan adalah sepatu sedangkan atasan itu topi tetap berlaku.walaupun sepatu emas dia tetap digunakan dikaki untuk dipijak...Sabaar riiik...lewati itu semua dengan senyuman, emosi hanya membuat malu...menolak boleh saja tpi dengan cara yang santun, bijak, dan humoris..just share my experiance ..:)

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja