Menggugat Jaringan Kepentingan
Jaringan atau networking, dalam konteks hubungan sosial sudah bukan barang baru, ia sudah lama ada sebagai cerita dari masa ke masa. Patah tumbuh dan hilang berganti, begitulah. Dibentuk dan dibina sekelompok manusia dengan kesamaan latar belakang dan tujuan, jaringan kepentingan ini di satu titik telah dapat menggeser persamaan hak berdasarkan kemanusiaan menjadi persamaan hak menurut ego demi hegemoni dan eksistensi suatu entitas.
Rantai jaringan kepentingan secara institusional bisa memutus nilai profesionalisme dan menyuburkan bibit nepotisme. Ketika rezim orde baru berkuasa, sangat jelas terlihat bagaimana penetrasi militer menyentuh sendi kehidupan saat itu bahkan hingga ke tingkat akar rumput. Lalu lambat laun rezim ini dinisbahkan sebagai rezim otoritarianisme yang akhirnya tumbang oleh people power 1998. Dari aspek kehidupan sipil kita dipertontonkan pada pola pengambilan kebijakan oleh petinggi sebuah lembaga yang mendasari pada kesamaan almamater, asal daerah, atau hubungan darah kekeluargaan. Pola ini membentuk sebuah dinasti yang menegasikan budaya kerja profesional. Dan pada akhirnya semua tinggal soal waktu, menunggu kehancuran.
Sebetulnya dari kacamata saya yang masih awam ini, tidak ada yang salah dengan jaringan kepentingan, sepanjang ia tidak dibawa ke dalam lingkungan yang membutuhkan keahlian suatu bidang tertentu dimana setiap orang, siapapun, berhak mengupayakanya secara fair memenuhi standar baku yang ditetapkan. Karena apa yang disebut sebagai fairness seharusnya hanya ada saat kita memiliki kemampuan yang dibutuhkan, bukan karena siapa kita dan soal latar belakang.
Tulisan ini terdengar utopis di tengah suasana yang tidak bisa menjamin apapun. Negeri kita memang seperti tanpa 'Recht' justru di saat kita ingin membangun negeri lewat karya sebagai anak bangsa. Profesionalisme jangan dibiarkan terpasung oleh jaringan kepentingan kaum Vocal Minority yang menyabotase persamaan hak. Lewat karya intelektual kita bisa menggulingkan mereka yang dengan itu juga mereka bisa meniti posisi mereka kini. Upaya perlawanan ini bisa dibilang seperti yang disebutkan Bung Karno sebagai perjuangan melawan bangsa sendiri yang lebih sulit dari melawan bangsa penjajah.
nice post.. :D thanks atas infonya gan..
ReplyDeleteditunggu postingan bermanfaat berikutnya gan..
ReplyDelete