Pajak, Dependensi Negeri dan Luapan Emosi


Bukan sebuah curhatan, bukan pula keluhan. Mungkin anggap saja sebuah gurauan. Gurauan kecil tentang hal yang keberadaanya bagai nyawa tp disaat yang sama ia jadi sasaran beraroma caci maki dan sedikit hina dina.

What a paradox! Dunia memang sudah dipenuhi fakta paradoksal yang dapat mendemotivasi siapapun. Sebagai pribadi mari perkuat motivasi dari dalam. None helps!!


Kembali ke soal gurauan tadi. Tahukah anda dengan pajak? Kata ini mungkin sudah sejak lama memiliki image tak lepas dari uang, materi dan kesejahteraan. Sejak dulu.. tapi mungkin dulu semua membatu karena negeri kita belum melewati momen untuk mengusung transparansi dan akuntabilitas. Akhirnya, semua dugaan atau sangkaan mengendap menunggu terungkap. Dan like business as usual, pajak tetap menjalankan fungsi mencari uang dengan membiarkan endapan potensi yang bisa hilang.

Tapi era bisu itu sudah berlalu... Kita sudah mengambil momentum reformasi sebagai lokomotif menuju perbaikan. Tak boleh lagi ada kebisuan, semua informasi kini bagai terpapar bersedia untuk ditelanjangi. Institusi Ditjen Pajak sudah memulainya sekitar sejak satu dekade lalu. Semua sangkaan bisa diperjelas dan dimintakan pertanggungjawaban. Tapi ini semua bukannya sempurna tanpa cela. Bagaikan didalam setandan pisang, tentu ada 1 atau 2 yang lambat matangnya. Begitu juga di Ditjen Pajak, bedanya mereka yang lambat matang ini kini tengah tiarap menunggu untuk dipereteli.

Percuma bila budaya caci mencaci, hina menghina atau hujat menghujat tetap dipelihara karena ini tidak membuat kita menjadi katalis perubahan menuju perbaikan. Kita sebagai bagian dari masyarakat patut untuk sadar diri dan melek informasi bahwa saluran informasi pengaduan dan pengawasan sudah terbuka dari multiarah. Mulai dari call center 500200 atau front desk milik KPK. Sesuai mottonya: Lunasi pajaknya dan awasi penggunaanya. Ikut berpartisipasi berarti kita tahu diri untuk mengoptimalkan nyawa penerimaan negara dari pajak.

Tidak perlu lagi membuang energi lewat serentetan cacian kepada institusi pajak, coba introspeksi diri lagi. Apa dasar luapan emosi itu? Sentimen pribadi atau rasa prihatin pada negeri. Bila karena yang pertama ada baiknya kita coba berhenti jadi katak dalam tempurung. Bila yang kedua, mari kita bersama gunakan keterbukaan segala akses sebagai alat pengawasan kinerja perpajakan.

Karena apapun bentuk kepedulian yang kita sampaikan, baik itu hujatan, kritik, hinaan atau keprihatinan akan dicatat oleh sejarah dengan tinta dan nada yang berbeda tergantung dari bagaimana cara kita menyampaikannya dan motif apa dibaliknya. Nuranilah yang bicara!!

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja