Dan Drama Berlanjut.


Aku tertegun didepan monitor laptop ini, bingung mau memulai dari mana, semuanya sudah begitu jelas ketahuan, namun mereka berdatangan dari segala arah membuat imajinasiku seperti terkunci dalam hingar bingar lintasan partikel memori yang membentuk kilatan cahaya bak komet yang menggurat warna keemasan di biru gelap malam. Tertunduk. Hening.

Aktifitas ku sehari-hari biasanya mampu menuntun rasio ini melompat jauh lalu membuat rasa-rasa yang seperti tidak penting ini sesaat terpendam didalam. Hanya sesaat, namun hari ini kerinduan pada beberapa orang yang mengalir dalam riak pertalian darah di nadi ku, demi apapun telah membuatku menyimpan dua wajah dalam satu ekspresi. Haru dan Rindu.

mereka lahir lebih dari lima puluh tahun yang lalu, tidak banyak orang yang tahu tentang siapa dia, selain tentu saja orang-orang yang hadir dalam kehidupan mereka yang kelak membawa kelanjutan kisah di mereka di masa depan

Cerita ini dimulai ketika di tahun 1920an seorang pedagang asli India yang tinggal di pesisir pantai Malabar, bernama PP Amo memutuskan untuk berlayar makin ke timur melintasi Teluk Benggala yang mengarah ke Laut Andaman menuju Selat Malaka. Tidak ada data pasti apa tujuan beliau mengarungi jarak sejauh itu, namun di zaman itu hal yang menjadi magnet utama adalah lalu lintas perdagangan yang begitu ramai, terutama di Selat Malaka yang lazim menjadi tempat persinggahan para pelaut atau pedagang dari seantero negeri. Jadi besar kemungkinan beliau adalah seorang pedagang yang mengambil resiko, mencoba peluang lalu meninggalkan negeri asalnya dengan berlayar. Hal ini bukannya tanpa alasan, karena kelak waktulah yang akan menjelaskan.

Beliau berpostur tinggi besar, mata besar dan hidung mancung, serta kulitnya coklat. Dan seperti lazimnya orang India, ia memiliki rambut wajah yang menambah kesan seram padanya. Seorang anak keturunannya menyebutkan bahwa beliau sempat singgah lama di pulau kecil bernama Temasek lalu meneruskan perjalanannya sampai menjejak tiba di Pulau Jawa, kala itu masih tahun 1920an. Garis takdir akhirnya sampai juga, disini ia berjumpa seorang wanita bernama Asyiah asal Kebumen, Jawa Tengah yang kemudian menjadi istrinya. Aku agak segan menerka-nerka mengenai dimana dan bagaimana mereka berjumpa. Yang aku tahu kemudian ia menjalankan aktifitas sehari-hari berdagang kain walau tidak lama, karena sempat terungkap cerita bahwa ia hendak mengajak sang istri pulang ke negara asalnya, India dan untuk melanjutkan hidup sebagai petani.

Sang istri menolak dan mungkin atas dasar rasa cintanya pada sang istri, ia mengalah dan akhirnya menetap di Pulau Jawa yang kala itu masih satu kesatuan dalam teritori Hindia Belanda. Kala itu negeri ini masih diwarnai isu rasial yang dimotori oleh Penjajah Belanda yang berupaya untuk mempertahankan dominasinya dalam strata ekonomi dengan membatasi jumlah non-Belanda yang berpeluang hidup layak dengan menjadi pedagang, karena dianggap suasana menjadi makin tidak kondusif, ia dan teman-temanya berinisiatif untuk berpindah mencari tempat dimana mereka bisa mencari nafkah dengan tenang. Selanjutnya, mereka makin terdesak ke barat sampai harus menyebrang ke Pulau Sumatera, yang dahulu di era jaman Pra Kolonialisme bernama Pulau Swarnadwipa atau Swarnabhumi dan menetap di sebuah wilayah jauh dari Palembang, yaitu Baturaja.

Di wilayah kecil ini, mereka yang berpindah dari Jawa, termasuk seorang PP Amo tadi tinggal menetap membentuk perkampungan bernama Kalam, yang kini dikenal dengan nama Desa Sukajadi, dari sinilah kehidupan seorang ia sebagai pedagang, sebagai suami, sebagai ayah dan sebagai kakek dimulai. Kehidupan yang mungkin sama sekali tidak ada dalam pikirannya. Ia meninggalkan India tanah kelahirannya dan menetap sebagai seorang pedagang kain di kota kecil di Pulau Sumatera. Berkat keahliannya dalam berdagang, ia akhirnya sukses bahkan sanggup membangun toko miliknya sendiri, yang ia namai dengan Toko Jakarta. Aku pernah mendengar bahwa sebelum memiliki toko ini, ia menyewa toko kecil sebagai langkah memantapkan rintisan usahanya, dan dimasa-masa yang tentu saja penuh perjuangan ini tepatnya tahun 1954 salah seorang putrinya bernama Rukiah lahir.

Ia begitu menyayangi anak-anaknya, pernah aku melihat poto ia dengan tiga orang putrinya, diambil antara tahun 1954-1956 terlihat postur gagah dan tegarnya begitu tampak jelas dipoto itu. Tampak salah seorang putrinya yang bernama Rukiah dalam poto itu memegang balon, tampak lucu, gemuk dengan bola mata yang nyaris menyamai sang ayah.

Istrinya, Aisyah adalah tipikal seorang perempuan Jawa yang tidak banyak bicara, dan setiap emosi entah senang atau sedih semuanya bicara dalam satu sikap yaitu Tangis. Ia adalah ibu bagi 10 orang anak-anak dari suaminya. Tak banyak yang bisa sang istri ceritakan selain sebuah figura besar berisi poto ia dan sang suami dalam seragam resmi yang sepertinya diambil sesaat setelah mereka menikah, di figura itu, ia nampak cantik dalam kebaya dan sanggul khas wanita Jawa, sungguh perpaduan yang tidak biasa, bagaimana tidak? Ia yang berkulit putih dan bermata sipit menjadi seorang istri yang berkulit agak gelap dan bermata lebar. Namun ya, jodoh hanya ALLAH.SWT yang tahu.

Sebagaimana kelaziman seorang istri di jaman itu, maka rutinitas rumah tangga adalah profesi mulia yang tidak akan mampu mengisi pundi-pundi uang bagi ekonomi keluarga tapi lebih dari itu adalah ketenangan kehidupan berumah tangga, karena menghadirkan suasana rumah yang merupakan atap bagi anak dan suaminya dalam keadaan layak dan memberi ketenangan. Begitulah Aisyah. Istri dari seorang PP Amo.

Kehidupan bagi keduanya makin menua, kini giliran tiba anak-anak mereka yang tumbuh dewasa, Rukiah adalah salah satu diantara mereka. Ia tumbuh dewasa menjadi seorang wanita berambut panjang dan berkacamata yang justru menjadi ia makin cantik, ia sendiri kemudian adalah separuh India dan separuh Jawa. Namun begitu, matanya yang lebar dan batang hidungnya yang mancung tidak akan membuat orang menyangsikan bahwa ia adalah putri dari seorang PP Amo, seorang pedagang tekstil dari India.

Dan begitulah, drama kehidupan pun berlanjut kisah kepada generasi sesudahnya. PP Amo dan Aisyah adalah dua orang yang telah mengalirkan darahnya kepadaku melalui anak perempuan mereka, Rukiah. Ibuku. Seorang separuh India dan separuh Jawa. Dan kemudian aku mewarisi seperempat darah sang pedagang India juga seperempat darah Jawa.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja