Membaca Mega

Ia adalah saksi hidup silih bergantinya para penguasa. Ia cuma sekadar ibu rumah tangga biasa yang kemudian terseret arus pusaran politik nasional. Tahun demi tahun berlalu dan telah banyak dinamika dan prahara yang menempanya. Ditelikung lawan, dikhianati bawahan, dijungkalkan dan ditekan rezim sudah pernah ia alami. Semua itu seharusnya lebih dari cukup untuk menjadikan ia ambisius dan kembali merebut kemenangan yang tidak pernah benar- benar dinikmatinya sejak awal. Tapi ia lebih dari sekadar politisi matang yang mengincar kemegahan istana. Ia menjelma kini menjadi seorang negarawan yang mencintai negaranya.

Saat tragedi Kudatuli 27 Juli 1996 ia dilengserkan dari jabatan sebagai ketua umum yang didapat secara legal penuh legitimasi. Ia dituduh membangkang rezim penguasa. Gerak- geriknya diawasi dan segala sangkaan disasarkan kepadanya meski kemudian tidak terbukti. Ia kembali naik ke panggung politik nasional dan mendirikan PDI Perjuangan yang menjadikannya muncul sebagai tokoh simbol pembebasan rezim Soeharto. Benar saja, Pemilu 1999 PDIP menjuarainya. Tetapi ia ditelikung oleh Poros Tengah besutan lawan politiknya. Ia tak jadi Presiden, hanya wakil. Ia terima. Keadaan yang mungkin bagi sebagian politisi akan lebih memilih untuk menolak dan mengerahkan massa untuk memberontak. Kebesaran jiwanya demi kedamaian pun terlihat.

Ketika tahun 2001- 2004 akhirnya ia menjadi Presiden menggantikan Gus Dur yang diturunkan. Saat itu ia mulai dipersepsikan kaku dan kurang cakap. Banyak orang yang lupa ia adalah tokoh dibalik pembentukan KPK yang kini menjadi ikon pemberantasan korupsi. Di eranya perbaikan fundamental ekonomi yang ambruk pasca krisis 1998 mulai memperlihatkan hasil. Dan di tahun 2003 Indonesia melunasi hutang dari IMF dan berani menolak hutang baru. Dan terpenting adalah ia menginisiasi pemilu langsung yang menhantarkan seluruh rakyat Indonesia mencicipi demokrasi yang partisipatif. Tetapi itu semua kabur oleh bising selentingan dari para lawan politiknya yang lebih banyak mengangkat sisi buruk kebijakannya seperti privatisasi. Atas kebijakan itu dan keengganannya untuk 'curhat' ke media, membuatnya dicap kaku dan makin diserang lawannya.

Ia kemudian gagal melenggang ke istana pada pilpres 2004 setelah kalah suara dari SBY yang masih misteri mengenai sikap dan kebenaran tata lakunya semasa menjadi bawahannya. Khususnya saat menjelang masa kasak kusuk pemilu. Ia mundur dari panggung dan memilih mengawal dari luar sebagai oposisi. Cerita yang sana berulang di pilpres 2009. Saat diberitakan kekalahannya, terlihat benar ia kecewa namun tegar. Banyak politisi yang saat itu mulai tak lagi meliriknya lantaran dianggap tak lagi punya daya tarik. Ia kembali dianggap bak ibu rumah tangga biasa. Dan ia pun memilih jalur yang sama seperti lima tahun sebelumnya, menjadi oposisi.

10 tahun ia memimpin PDIP menjadi oposisi. Konsistensi sikapnya menjadi panutan seluruh kader PDI Perjuangan. Ia adalah simbol perjuangan di jalur yang tegas dan mengawal pemerintahan untuk kepentingan rakyat. Satu dekade berlalu, penguatan didalam PDI Perjuangan berjalan apik dan menghasilkan tokoh- tokoh yang memberi harapan baru seperti: Joko Widodo, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, Maruarar Sirait, dll. Semasa itu pula ia diuji antara hasrat berkuasa atau demi kepentingan bangsa. Semasa itulah ia mendengar suara rakyat yang mendamba perubahan. Dan akhirnya disaat hiruk pikuk pilpres 2014 mulai terdengar, ia undur diri dari kontestasi dan menyodorkan para pembaharu yang searah juang dengannya.

Ia menjawab teka teki tentang adanya eksklusivitas trah Soekarno di tubuh PDI Perjuangan lewat sikap kenegarawanannya. Ia berjiwa besar dan mengabaikan segala pembenaran yang membuatnya merasa pantas maju kembali mencalonkan diri. Ia mampu membedakan panggilan nurani atau syahwat politik semata. Itulah Mega. Seorang negarawan yang namanya kan harum dikenang sejarah Indonesia.

Erikson Wijaya Kamis.
01 Juni 2014. 22:31
Di sudut kamar

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King