Bukan Hidup Yang Kebetulan (II)
Cerita hidup berjalan penuh teka- teki, masih segar dalam ingatan, pagi tadi kami berangkat dalam kondisi sehat dan kini kami berdua sudah berada di Rumah Sakit di bilangan Jalan Demang Lebar Daun, Palembang. Saya menemani istri yang terbaring lemas bersama infus yang tertancap kuat ditanganya. Dokter yang berstatus sebagai Dokter Jaga tidak juga datang, belakangan kami tahu bahwa sang dokter kini berada di klinik pribadinya dan baru malam nanti datang. Saya sebetulnya sudah geram dan hendak menekan pihak Rumah Sakit agar istri saya segera di periksa, tapi baiklah saya diam saja, karena saya yakin reaksi istri saya seperti biasa: “Sudahlah Bang, sabar saja, kita tunggu!”. Meski sampai malam kami tunggu, dokter tersebut tidak juga datang. Perawat meminta kami menunggu besok pagi.
Kamis. 21 November 2013
Setelah lelah kemarin berburu obat yang diminta pihak Rumah Sakit (suster/ perawat), tidak terasa hari sudah pagi, masih diruangan yang sama, bunyi detak jam dinding yang sama, dan tetes demi tetes cairan dari botol infus yang sama. Di Kamar Shafa, saya dan istri bertukar tatapan dan menguatkan genggaman tangan berusaha meyakini semua akan baik- baik saja sambil berharap sang dokter segera datang dan memastikan bahwa harapan kami benar adanya dan kami segera dapat kembali menikmati hidup bahagia. Tapi, semuanya tidak seindah yang kita ingini.
Dokter baru datang pukul 11.30 siang (20 jam setelah kami masuk dirawat). Saat itu saya sedang tidak menunggui Istri, ada Bibi dari pihak Istri yang menjagai, karena saya sedang ada tugas dinas ke daerah Kambang Iwak. Jujur saja, saya sempat tidak fokus selama menjalankan tugas, semua terasa lain dan seperti ada sensasi pengalaman yang baru kali itu saya rasakan. Meninggalkan orang yang kita cintai terbaring lemas di Rumah Sakit menanti keterangan dokter adalah hal yang membuat saya sadar bahwa inilah munajat cinta yang saya simpulkan bahwa orang yang kita cintai adalah orang yang muncul dalam tiap doa- doa kita untuk kebaikan mereka.
Tapi kerinduan hati tidak bisa dibohongi, saya bergegas agar pekerjaan selesai secepat mungkin dan segera kembali ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar Istri akan segera masuk ruangan USG untuk pemeriksaan. Begitu tiba, saya segera masuk ruangan USG dan menatap monitor USG sambil mendengar penjelasan dokter. Intinya menurut dokter tersebut rahim istri saya sudah ‘bersih’ dengan kata lain, Istri mengalami keguguran (Abortus). Selain itu, di Indung Telur sebelah kanan Istri terdapat Kista yang seukuran 10,42 cm.
Saya dan Istri sempat kaget mendengar penjelasan dokter, kehamilan Istri adalah hal yang sangat kami tunggukan sejak 6 bulan terakhir. Tapi kalau memang harus terjadi keguguran tersebut, kami berusaha tetap sabar dan bersikap wajar, tidak perlu kami perlihatkan ekspresi yang lebih dalam. Hanya saja, dokter tidak bisa memastikan apakah perlu dilakukan curage pada rahim dan menyarankan operasi pembedahan perut (laparotomi) untuk mengangkat Kista. Kami berdua ngeri mendengarnya, bukan cuma karena nyawa Istri yang dipertaruhkan di meja operasi namun juga karena dari cara dokter menanggapi deretan pertanyaan yang kami berikan atas temuan itu, membuat kami berpikir perlu untuk mencari second opinion. Alhasil, kami meminta waktu untuk berdiskusi sebelum memberi tanggapan atas saran sang dokter.
Sekembalinya ke kamar kami merenungi kenyataan bahwa impian kami untuk segera memiliki anak belum dapat terwujud. Saya menatap dalam- dalam wajah istri yang pucat, saat ia balik menatap mata saya, jujur saja saya tidak berani banyak berbicara, menatap matanya sama dengan melihat segenggam harapan kami yang pupus tanpa tahu siapa atau apa yang harus dipersalahkan. Tapi saya kira kelanjutan ceritanya tetap akan sama, hidup harus terus berjalan, saya harus menjadi benteng pertahanan yang menguatkan sekaligus pengingat bahwa masih banyak yang patut disyukuri. Ini ujian, yang insyaALLAH dibaliknya ada kemudahan dan kemudahan. Ya, saya tidak salah ketik, ada dua kemudahan yang akan muncul sebagaimana dijanjikan ALLAH.SWT didalam Al-Qur’an.
Akhirnya kami putuskan untuk segera keluar dari Rumah Sakit dan saya menandatangani Surat Pernyataan Keluar Paksa, selanjutnya kami langsung mencari dokter rujukan salah seorang teman di daerah Kenten. Hari perlahan makin petang, dengan menumpang mobil saudara, kami menuju Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Widiyanti dan bertemu dengan Dokter Yusuf Effendi, Sp.OG (K), oleh beliau kami diberi penjelasan dengan melihat layar USG dan dengan kesimpulan yang sama bahwa Istri telah keguguran, rahimnya telah bersih dan benar bahwa terdapat Kista Ovarium di sebelah kanan Indung Telur Istri.
Oleh beliau, kami disarankan untuk menjalani operasi laparoskopik, teknologi medis terbaru yang dapat dipakai untuk mengangkat Kista tanpa harus membedah perut Istri. Iritasi dan masa pemulihan jadi lebih minimal, dari beliau pula kami mengetahui bahwa keguguran yang dialami Istri bukan karena perjalanan panjang yang dua hari lalu kami tempuh, tapi karena pertumbuhan janin yang tidak optimal karena tidak bisa melawan Kista yang sudah menekan Ovarium kemudian meluruh melalui keguguran. Kami menyanggupi operasi tersebut dan beliau segera membuat surat rujukan ke Rumah Sakit Umum Muhammad Husein Palembang (RSMH) untuk dibuatkan jadwal operasi bagi istri dan juga sekaligus menebus obat peluruh untuk membersihkan rahim yang mungkin masih terisi oleh sisa- sisa keguguran.
Jumat. 22 November 2013
Berbekal surat rujukan dari Dokter Yusuf, saya dan Istri menuju RSMH menemui dokter jaga di Instalasi Gawat Darurat Kebidanan untuk memesan kamar, dari proses itu kami kemudian bertemu dengan dokter Linda (Residen) yang menjadwalkan operasi kami pada hari Selasa dan meminta agar hari Senin paling lambar sudah masuk untuk opname. Proses pencarian kamar itu ternyata tidak sesederhana pikiran saya, pemesanan baru bisa diterima paling cepat 1 hari sebelum operasi dan paling lambat 3 jam sebelumnya. Beruntung berkat bantuan seorang teman lama yang kini bertugas sebagai perawat di RSMH (Ubudiah Mahyatsani) , kami mendapat gambaran proses dan prosedurnya. Sehingga tidak terlalu khawatir tidak kebagian kamar. Akhirnya saya putuskan untuk kembali saja lagi pada hari Minggu untuk memastikan dan menguatkan komitmen.
Minggu, 24 November 2013
Pagi itu, saya kembali ke RSMH menuju ruang kamar inap Kebidanan dan Kandungan, dan menemui bagian administrasi. Saya membawa surat rujukan dan menemui perawat jaga (Suster Dwi) dan oleh beliau dijelaskan bahwa ruangan sudah tersedia, namun baru bisa dimasuki pada hari Senin, atau sehari sebelum operasi sebagaimana telah dijadwalkan. Tidak mengapa, yang penting semua jelas, tujuan dan proses tinggal dijalani sehingga dapat memberi kabar yang menenangkan hati.
Saya pun mulai berpikir, tentu akan lebih lama masa tinggal saya di Palembang, tidak mungkin Istri ditinggalkan sendiri meski ada keluarga yang menjagai. Itu berarti saya harus off dari kantor sebelum Istri bisa kembali saya bawa pulang ke Pangkal Pinang, akhirnya tiada pilihan lain, saya mengajukan Cuti Alasan Penting selama seminggu kedepan sampai tanggal 29 November 2013 dengan konsekuensi dipotong 25% tunjangan atas ketidakhadiran tersebut. Tapi nilai itu tidak sebanding terhadap beban pikiran bila saya meninggalkan istri. Urusan kecewa pada negara soal kebijakan tersebut, itu soal lain, bukan tempatnya dibahas disini, yang penting Istri segera sehat dulu. Titik.
Bersambung….
Kamis. 21 November 2013
Setelah lelah kemarin berburu obat yang diminta pihak Rumah Sakit (suster/ perawat), tidak terasa hari sudah pagi, masih diruangan yang sama, bunyi detak jam dinding yang sama, dan tetes demi tetes cairan dari botol infus yang sama. Di Kamar Shafa, saya dan istri bertukar tatapan dan menguatkan genggaman tangan berusaha meyakini semua akan baik- baik saja sambil berharap sang dokter segera datang dan memastikan bahwa harapan kami benar adanya dan kami segera dapat kembali menikmati hidup bahagia. Tapi, semuanya tidak seindah yang kita ingini.
Dokter baru datang pukul 11.30 siang (20 jam setelah kami masuk dirawat). Saat itu saya sedang tidak menunggui Istri, ada Bibi dari pihak Istri yang menjagai, karena saya sedang ada tugas dinas ke daerah Kambang Iwak. Jujur saja, saya sempat tidak fokus selama menjalankan tugas, semua terasa lain dan seperti ada sensasi pengalaman yang baru kali itu saya rasakan. Meninggalkan orang yang kita cintai terbaring lemas di Rumah Sakit menanti keterangan dokter adalah hal yang membuat saya sadar bahwa inilah munajat cinta yang saya simpulkan bahwa orang yang kita cintai adalah orang yang muncul dalam tiap doa- doa kita untuk kebaikan mereka.
Tapi kerinduan hati tidak bisa dibohongi, saya bergegas agar pekerjaan selesai secepat mungkin dan segera kembali ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar Istri akan segera masuk ruangan USG untuk pemeriksaan. Begitu tiba, saya segera masuk ruangan USG dan menatap monitor USG sambil mendengar penjelasan dokter. Intinya menurut dokter tersebut rahim istri saya sudah ‘bersih’ dengan kata lain, Istri mengalami keguguran (Abortus). Selain itu, di Indung Telur sebelah kanan Istri terdapat Kista yang seukuran 10,42 cm.
Saya dan Istri sempat kaget mendengar penjelasan dokter, kehamilan Istri adalah hal yang sangat kami tunggukan sejak 6 bulan terakhir. Tapi kalau memang harus terjadi keguguran tersebut, kami berusaha tetap sabar dan bersikap wajar, tidak perlu kami perlihatkan ekspresi yang lebih dalam. Hanya saja, dokter tidak bisa memastikan apakah perlu dilakukan curage pada rahim dan menyarankan operasi pembedahan perut (laparotomi) untuk mengangkat Kista. Kami berdua ngeri mendengarnya, bukan cuma karena nyawa Istri yang dipertaruhkan di meja operasi namun juga karena dari cara dokter menanggapi deretan pertanyaan yang kami berikan atas temuan itu, membuat kami berpikir perlu untuk mencari second opinion. Alhasil, kami meminta waktu untuk berdiskusi sebelum memberi tanggapan atas saran sang dokter.
Sekembalinya ke kamar kami merenungi kenyataan bahwa impian kami untuk segera memiliki anak belum dapat terwujud. Saya menatap dalam- dalam wajah istri yang pucat, saat ia balik menatap mata saya, jujur saja saya tidak berani banyak berbicara, menatap matanya sama dengan melihat segenggam harapan kami yang pupus tanpa tahu siapa atau apa yang harus dipersalahkan. Tapi saya kira kelanjutan ceritanya tetap akan sama, hidup harus terus berjalan, saya harus menjadi benteng pertahanan yang menguatkan sekaligus pengingat bahwa masih banyak yang patut disyukuri. Ini ujian, yang insyaALLAH dibaliknya ada kemudahan dan kemudahan. Ya, saya tidak salah ketik, ada dua kemudahan yang akan muncul sebagaimana dijanjikan ALLAH.SWT didalam Al-Qur’an.
Akhirnya kami putuskan untuk segera keluar dari Rumah Sakit dan saya menandatangani Surat Pernyataan Keluar Paksa, selanjutnya kami langsung mencari dokter rujukan salah seorang teman di daerah Kenten. Hari perlahan makin petang, dengan menumpang mobil saudara, kami menuju Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Widiyanti dan bertemu dengan Dokter Yusuf Effendi, Sp.OG (K), oleh beliau kami diberi penjelasan dengan melihat layar USG dan dengan kesimpulan yang sama bahwa Istri telah keguguran, rahimnya telah bersih dan benar bahwa terdapat Kista Ovarium di sebelah kanan Indung Telur Istri.
Oleh beliau, kami disarankan untuk menjalani operasi laparoskopik, teknologi medis terbaru yang dapat dipakai untuk mengangkat Kista tanpa harus membedah perut Istri. Iritasi dan masa pemulihan jadi lebih minimal, dari beliau pula kami mengetahui bahwa keguguran yang dialami Istri bukan karena perjalanan panjang yang dua hari lalu kami tempuh, tapi karena pertumbuhan janin yang tidak optimal karena tidak bisa melawan Kista yang sudah menekan Ovarium kemudian meluruh melalui keguguran. Kami menyanggupi operasi tersebut dan beliau segera membuat surat rujukan ke Rumah Sakit Umum Muhammad Husein Palembang (RSMH) untuk dibuatkan jadwal operasi bagi istri dan juga sekaligus menebus obat peluruh untuk membersihkan rahim yang mungkin masih terisi oleh sisa- sisa keguguran.
Jumat. 22 November 2013
Berbekal surat rujukan dari Dokter Yusuf, saya dan Istri menuju RSMH menemui dokter jaga di Instalasi Gawat Darurat Kebidanan untuk memesan kamar, dari proses itu kami kemudian bertemu dengan dokter Linda (Residen) yang menjadwalkan operasi kami pada hari Selasa dan meminta agar hari Senin paling lambar sudah masuk untuk opname. Proses pencarian kamar itu ternyata tidak sesederhana pikiran saya, pemesanan baru bisa diterima paling cepat 1 hari sebelum operasi dan paling lambat 3 jam sebelumnya. Beruntung berkat bantuan seorang teman lama yang kini bertugas sebagai perawat di RSMH (Ubudiah Mahyatsani) , kami mendapat gambaran proses dan prosedurnya. Sehingga tidak terlalu khawatir tidak kebagian kamar. Akhirnya saya putuskan untuk kembali saja lagi pada hari Minggu untuk memastikan dan menguatkan komitmen.
Minggu, 24 November 2013
Pagi itu, saya kembali ke RSMH menuju ruang kamar inap Kebidanan dan Kandungan, dan menemui bagian administrasi. Saya membawa surat rujukan dan menemui perawat jaga (Suster Dwi) dan oleh beliau dijelaskan bahwa ruangan sudah tersedia, namun baru bisa dimasuki pada hari Senin, atau sehari sebelum operasi sebagaimana telah dijadwalkan. Tidak mengapa, yang penting semua jelas, tujuan dan proses tinggal dijalani sehingga dapat memberi kabar yang menenangkan hati.
Saya pun mulai berpikir, tentu akan lebih lama masa tinggal saya di Palembang, tidak mungkin Istri ditinggalkan sendiri meski ada keluarga yang menjagai. Itu berarti saya harus off dari kantor sebelum Istri bisa kembali saya bawa pulang ke Pangkal Pinang, akhirnya tiada pilihan lain, saya mengajukan Cuti Alasan Penting selama seminggu kedepan sampai tanggal 29 November 2013 dengan konsekuensi dipotong 25% tunjangan atas ketidakhadiran tersebut. Tapi nilai itu tidak sebanding terhadap beban pikiran bila saya meninggalkan istri. Urusan kecewa pada negara soal kebijakan tersebut, itu soal lain, bukan tempatnya dibahas disini, yang penting Istri segera sehat dulu. Titik.
Bersambung….
Comments
Post a Comment
Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.