Bukan Hidup Yang Kebetulan (I)
Tulisan ini semata saya buat untuk menjadi pengingat bahwa saya dan istri, dalam satu babak kehidupan kami, tengah menjalani cobaan yang insyaALLAH saya anggap sebagai ujian. Lewat catatan ini pula saya berusaha mengabadikan kekaguman saya kepada ALLAH.SWT sang pengatur kehidupan, tentang kepingan demi kepingan cerita yang tampak sekilas bagai biasa namun saling terkait dan nyatanya membentuk rangkaian yang tidaklah terjadi secara kebetulan.
Jumat. 15 November 2013
Pagi itu seperti biasa, sebelum berangkat ke kantor saya selalu melayangkan kecupan lembut ke kening istri saya yang tengah hamil 2,5 bulan. Bagi saya memandangnya dan menantikan senyumannya adalah cara memastikan bahwa ia akan baik- baik saja selama saya dikantor. Terlebih saya paham betul bahwa dalam kondisi hamil muda begitu, ia butuh lebih dari perhatian biasa. Saya pun berangkat kekantor, memulai aktivitas seperti biasa, sampai beberapa menit kemudian.
“Rik, loe kalo dikasih tugas ke Palembang tiga hari, siap kan?” Tiba- tiba bos di kantor menugasi demikian. Di kantor saya, suasana lingkungan kerja memang tidak kaku sehingga saling sapa informal dengan sapaan “gue-elo” bukanlah hal tabu.
“Wah, bentar Pak, gw bahas sama bini dulu, maklum Pak, saya khawatir kalo ninggalin dia sendiiran, nanti siang gw kasih tau keputusannya Pak”. Begini- begini memang saya kerap membiasakan sebisanya untuk mendiskusikan tiap kali mengambil keputusan, terutama kalau sudah menyangkut urusan bersama.
Beberapa menit kemudian, saya menghubungi istri untuk memintakan pendapatnya
“Sayang, Abang mau ditugasi ke Palembang selama 3 hari, bagaimana kira2?” Ujar saya singkat.
“Ummh.. boleh juga Bang, sekalian kita periksa kandungan ke Obsgyn yang direkomendasikan teman beberapa waktu lalu” Begitu tanggapan istri saya singkat. Sehingga diputuskan saya dan istri berangkat ke Palembang sembari tugas dan karena ada urusan pribadi juga.
Tetap ditanggal yang sama, hanya saja langit cerah sudah pudar berganti gelap.
Seperti biasa, saya dan istri kerap menghabiskannya dengan bercengkrama berdua tentang apapun, ditengah kehamilan istri tentu saja kami tidak pernah lupa membahas tiap perkembangan kehamilannya. Kebetulan sekarang lagi musim Mangga, jadi cukup banyak saya membeli Mangga untuk dijadikan cemilan segar dikala ngobrol santai seperti itu.
“Bang, tadi pagi sepertinya saya nge- flek. Keluar cairan coklat dari jalan lahir, sama seperti kemarin Bang..” Istri saya menceritakan flek/spotting yang dialaminya dua hari belakangan dengan tensi santai dan berusaha tenang.
“Mungkin pengaruh hormonal, insyaALLAH aman, toh, kita sudah optimal dalam ikhtiar dan doa, yakin saja, sekalian nanti di Palembang kita cek,. Apalagi obat penguatnya rajin diminum!” Begitu saya mencoba meyakinkan istri. Sejujurnya saya juga cemas, apalagi ini kehamilan pertama istri setelah 6 bulan usia pernikahan kami, jelas kehadiran anak sangat kami nantikan.
Selama beberapa hari berikutnya, kami mempersiapkan keberangkatan, mulai dari urusan pesan tiket, akomodasi jemputan dari Saudara, sampai urusan untuk membawa oleh- oleh secukupnya. Selama beberapa hari itu pula saya kerap mengingatkan istri saya untuk tidak terlalu memaksakan diri dalam beraktivitas, khawatir mengganggu kesehatan kandunganya.
Rabu. 20 November 2013
Pagi itu sekitar pukul 07.00, kami sudah siap menunggu jemputan Travel jurusan Pangkal- Pinang — Muntok yang akan membawa kami menyeberang menuju Sumatera Selatan. Segala sesuatu sudah kami siapkan, mulai dari bekal makanan, persediaan pakaian dan lain sebagainya. Jemputan tiba, dan kami beserta seluruh penumpang langsung dibawa menuju Muntok. Sepanjang jalan, bisa dikatakan permukaan jalur cukup mulus sehingga relatif tidak memicu goncangan keras yang mengganggu rahim istri saya yang sedang hamil.
Menjelang pukul 10.00 kami tiba di Pelabuhan Muntok dan melanjutkan perjalanan dengan menumpang Kapal Cepat Ekspres Bahari menyeberangi Selat Bangka dan menyusuri Sungai Musi. Hampir tiga jam waktu kami habiskan di laut dan sungai. Kami sempat makan dengan bekal yang sudah disiapkan Istri, dan ia pun minum susu khusus ibu hamil yang sudah ia siapkan dalam tupperware. Tapi tak lama kemudian, saya dapati istri seperti diam tertegun namun terasa tidak nyaman.
“Ada apa sayang? Ada yang tidak nyaman? Saya bertanya seperti itu karena saya sudah cukup kenal bagaimana ekspresi Istri bila sedang tidak nyaman atau memendam sesuatu.
“Tidak apa- apa!” Jawab Istri sambil menggeleng dan menguatkan genggaman tangannya diantara jari jemari saya. Tapi saya merasa ada lebih dari sekadar “Tidak apa- apa” itu. Hal yang secepatnya langsung saya buang dari dalam pikiran saya. Istri saya atau mungkin rata- rata wanita di dunia ini adalah mahluk paling hebat dalam urusan menyimpan rahasia atau menyamarkan sesuatu.
Di hari yang sama menjelang pukul 14.00 Kapal kami sudah merapat di Pelabuhan Boombaru Palembang, kami segera menghubungi Saudara yang sudah siap menjemput dan ternyata sudah menunggu di parkir pelabuhan. Kami bergegas masuk kedalam mobil, istri langsung sigap ambil posisi di deret tengah, saya didepan menemani Saudara. Perjalanan dilanjutkan menuju rumah Saudara, saat itu juga saya melihat air muka Istri sudah memucat, bibirnya pasi. Tentu ada sesuatu yang tidak beres saya kira, tapi seperti biasa jawaban istri tetap sama: “Tidak apa- apa!”.
Tidak lama kemudian, kami pun tiba di rumah Saudara yang rencananya akan saya dan Istri tumpangi selama di Palembang. Namun, di saat itu Istri menggamit lengan saya dan berbisik “Bang, ada banyak darah keluar, mau cepat- cepat ganti celana dan pasang pembalut” ujarnya sambil berjalan tertatih dan lemah.
Benar saja, begitu tiba dirumah, dan dicek ada banyak kucuran darah segar yang menempel di bekas celana dalam Istri. Atas inisiatif bersama, Istri saya dibawa ke Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan. Setibanya di UGD, perawat langsung memasang infus dan mencarikan ruangan. Tak lupa pula mereka menghubungi Dokter jaga yang sayangnya tidak bisa langsung mengecek kondisi istri saat itu, pihak Rumah Sakit hanya memberikan resep obat yang harus saya tebus, resep yang saya kira dibuatkan oleh Dokter atas laporan perawat/bidan yang menerima Istri.
Tapi ya sudahlah, saya pikir tadinya ada Dokter yang akan segera menangani Istri saya, sang Dokter hanya datang dalam bentuk kertas resep yang harus saya tebus berikut rinciannya. Saya sempat berpikir apa ini karena saya pakai kartu ASKES sehingga pelayanan yang saya dapat tidak prima? Tapi lagi- lagi sudahlah, yang saya inginkan hanya supaya Istri sembuh dan itu berarti menurut Dokter itu resepnya harus segera ditebus. Selesai urusan tebus- menebus, ternyata malamnya Dokter tak juga datang. Perawat hanya menjanjikan kemungkinan baru besok Dokter bisa datang. Saya kecewa, tapi saya kelabui kekecewaan itu dengan menunggui istri saya, menghiburnya dan menguatkannya sebisa saya.
Sampai di titik ini saya berpikir. Mengapa penugasan ke Palembang bertepatan sekali waktunya dengan kejadian ini, mengapa saat itu kami mengambil keputusan untuk berangkat bersama. Ternyata memang begitu jalan cerita hidup kami. Kandungan Istri yang saya kira sehat harus mengalami pendarahan hebat justru saat kami baru saja tiba di Palembang. Bila Istri saya tinggal? Bagaimana ia akan bisa menghadapi ini sendirian tanpa sanak famili? Bila penugasan itu tidak ada mungkin kami berdua akan kewalahan juga menghadapi ujian ini untuk kali pertama berdua saja. ALLAH.SWT telah mengatur semuanya, rentetan kejadian yang tampak saling lepas rupanya saling berkait membentuk rangkaian cerita berikut alasannya.
Bersambung….
Allahu...jadi sedih baca cerita ini *sambil berdoa, semoga kandungannya baik2 saja*...Semangat untuk kakak dan Ayuk, May Allah bless both of you,,Amiin
ReplyDeleteAamiin mokase la berkunjung Dek, silahkan dibaco diselanjutnyo..
ReplyDelete