Kepatuhan Wajib Pajak: Antara Potensi dan Ekspektasi

Apa kesan yang didapat bila kita bertanya pada wajib pajak mengenai urusan perpajakan? Rumit! Mau tidak mau begitulah kesan yang harus diterima instansi Ditjen Pajak. Jangankan kepada Wajib Pajak yang usia NPWP nya baru seumur jagung, bahkan Wajib Pajak yang sudah terbilang bertahun lamanya kesan tersebut tetap ada. Mungkinkah ini merupakan penyebab rendahnya kepatuhan Wajib Pajak? Memang belum ada studi akademis yang fokus menggali perihal ini. Namun, setidaknya dalam berbagai kajian, kita sepakat bahwa “Kepatuhan Wajib Pajak” adalah salah satu indikasi utama keberhasilan Modernisasi Ditjen Pajak.

Modernisasi Dalam Perangkap Ironi
Sudah lewat satu dekade modernisasi bergulir, dimulai di tahun 2002 dengan dibentuknya Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar (Large Tax Office) yang khusus melayani sejumlah Wajib Pajak dengan kontribusi pembayaran pajak tertinggi (dalam skala nasional) berlanjut hingga akhirnya di tahun 2008 semua Kantor Pelayanan Pajak sah bergelar ‘modern’. Bicara keberhasilan modernisasi, tentu saja banyak daftar pencapaian yang bisa disajikan melalui tulisan ini, tetapi hal itu bukan alasan utama artikel ini penulis buat. Artikel ini memaparkan sebuah ironi yang dapat menjadi titik balik momentum modernisasi dengan maksud supaya modernisasi tidak sekadar menjadi festival yang mengaum tanpa gaung.

Indikator paling kentara untuk menilai kepatuhan wajib pajak dapat kita lihat pada rasio penyampaian SPT Tahunan, yang secara sederhana merupakan perbandingan antara wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan dengan jumlah wajib pajak terdaftar yang wajib lapor SPT Tahunan (tidak termasuk wajib pajak dengan status cabang, istri dan Non Efektif atau Delete). Sejak tahun 2002 hingga tahun 2012 angka rasio kepatuhan wajib pajak dalam penyampaian SPT Tahunan (Orang Pribadi dan Badan) secara berturut- turut adalah 33.45%; 35.02%; 34.18%; 33.96%; 32.04%; 30.21%; 33.08%; 54.15%; 58.16%; 52.74%; 62.50%.

Sederet angka diatas memberikan informasi bahwa walaupun terjadi fluktuasi namun tren peningkatan angka kepatuhan tersebut positif. Namun demikian, positivisme yang terjadi itu masih menyisakan informasi yang lebih dalam. Karena faktanya, pada angka tingkat kepatuhan yang bahkan sudah menyentuh lebih dari 50%, terdapat lebih dari delapan juta (> 8 Juta) wajib pajak yang belum terbangun kepatuhannya. Sebab pada sampel tahun 2011 dari 17.694.317 wajib pajak terdaftar yang wajib melaporkan SPT Tahunan, hanya 9.332.657 wajib pajak yang telah memenuhi kewajiban tersebut. Selebihnya belum bahkan mungkin tidak mengetahui ihwal keberadaan kewajiban tersebut. Mereka adalah wajib pajak yang memerlukan sentuhan tangan dingin modernisasi dalam rupa- rupa bentuk dan tehniknya.

Menikmati Tanpa Berkontribusi

Dari sekitar 110 Juta penduduk Indonesia yang produktif bekerja tercatat hanya sekitar 22 Juta yang sudah memiliki NPWP (karyawan dan non karyawan). Padahal ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 2,025 Juta/bulan atau Rp 24,3 Juta/ tahun maka seharusnya jumlah penduduk ber NPWP bisa lebih dari itu. Mengapa? Karena dengan asumsi untuk tidak digolongkan sebagai orang miskin adalah berpenghasilan dibawah atau sama dengan Rp 6,12 Jt/tahun (standar Bank Dunia), disandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Indonesia sekitar Rp 30,72 Juta/tahun (data tahun 2011). Maka ada begitu banyak penduduk yang layak ber-NPWP namun belum terjaring. Lebih jauh lagi, mereka menikmati secara ‘gratis’ sarana dan pembangunan yang didanai dari pajak.

Sedangkan untuk pajak perusahaan (badan) yang disinyalir oleh Dirjen Pajak Fuad Rahmani bahwa ada 12 Juta perusahaan di Indonesia namun hanya 500 Ribu perusahaan yang memiliki NPWP dan patuh membayar pajak, jadi 12 Juta perusahaan ini menggantungkan diri (free rider) dari sarana pembangunan yang didanai pajak oleh 500 Ribu perusahaan tersebut. Dimana dari jumlah 500 Ribu tadi hanya 20% yang secara proporsi telah menyumbang 400 Trilyun penerimaan pajak. Padahal potensi penerimaan bisa diharapkan muncul dari 12 Juta perusahaan tersebut namun ternyata kepatuhan dan kesadaran tidak berbanding lurus dengan harapan.

PP Nomor 46 Tahun 2013: 1 Cara. 1 Tarif. 1% Omset.

Ditengah semua kondisi rendahnya kepatuhan wajib pajak, pemerintah kemudian membidani lahirnya PP No 46/ 2013 dengan latar belakang untuk menciptakan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan; mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi dan transparansi; dan memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara. Pada intinya, penerbitan PP 46 Tahun 2013 ditujukan terutama untuk kesederhanaan dan pemerataan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Alat ukur pembebanan kewajiban perpajakan menurut PP No 46/ 2013 sangat sederhana, yaitu hanya jika omset (peredaran kotor) usaha/ bisnis wajib pajak tidak melebihi besaran Rp 4,8 Miliar maka dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) secara final sebesar 1% dari omset tersebut. Perhitungannya sederhana, tanpa rekonsilisasi, perhitungan beban dan nilai dasar pengenaan.

Penerapan PP No 46/ 2013 tidak ditujukan untuk omset yang didapat wajib pajak dari kegiatan usaha/ pekerjaan bebas dan penghasilan dari usaha dagang dan jasa yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2)), seperti misalnya sewa kamar kos, sewa rumah, jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas, dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah. Atas kedua jenis sumber penghasilan tersebut, maka PPh dihitung menurut mekanisme Pasal 17 Undang Undang No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.

Keberadaan PP No 46/ 2013 merupakan jalan tengah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, terlepas dari kerumitan dan pro-kontra yang menyertai proses transisi penerapannya. Penduduk diajak berkontribusi dengan cara yang sangat sederhana: menghitung dan menyetorkan sendiri sebesar 1% dari omset. Namun demikian, untuk mewujudkan tujuan tersebut harus diimbangi dengan kebijakan yang secara tidak langsung memaksa (indirect-coersive) agar terlebih dahulu subjek yang disasar oleh PP No 46/ 2013 segera memiliki NPWP. Sebab PP No 46/ 2013 pada praktiknya merupakan sebuah upaya intensifikasi dan ekstensifikasi secara bersamaan. Tujuan utama dari kebijakan ini sejak awal sudah konsisten digaungkan yakni: Menciptakan Kesederhanaan Untuk Menggerek Kepatuhan Wajib Pajak.

Harmoni Modernisasi: Kepatuhan Dalam Kesederhanaan

Modernisasi adalah proses berkelanjutan menuju harmoni. Kebijakan yang datang silih berganti tentu dilatar belakangi upaya positif untuk menghadapi berbagai masalah yang ada. Rendahnya kepatuhan wajib pajak adalah benang kusut yang sudah ada sejak dulu dan cerita rumitnya mengurus pemenuhan kewajiban perpajakan sudah berbilang tahun lamanya tersimpan di benak para wajib pajak. Kehadiran PP No 46/ 2013 merupakan upaya untuk mengurai benang kusut tersebut. Jaminan keberhasilan kebijakan ini memang belum ada, namun itu bukan alasan untuk tidak mencoba menjalankannya dengan optimal demi suksesnya modernisasi sebab modernisasi itu sendiri adalah sebuah jalan terjal yang harus dilalui bangsa ini demi masa depan yang lebih baik. It’s truly a painful road to glory.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja