Golput: Harga Mahal Sebuah Hajat Sakral

Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) sudah masuk hitungan bulan, agenda elektoral sudah mulai gencar digaungkan dan dijalankan sejumlah Partai Politik. Hajat Besar lima tahunan ini selalu menjadi gerbang pengharapan akan kondisi kehidupan multiaspek yang lebih baik dari sebelumnya. Semua kekurangan selama lima tahun berharap dapat ditebus dalam satu hari pada 09 April 2014. Akan tetapi, benarkah kita telah bertekad kuat menuju perbaikan itu? Sebuah pertanyaan yang kerap muncul ditengah kenyataan rendahnya tingkat partisipasi pada ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa daerah negeri ini.


Demokrasi Minim Partisipasi

Menilik fakta mengenai tingkat partisipasi pada beberapa Pilkada sepanjang tahun 2012- 2013 tercatat bahwa di provinsi Bali dari 26% pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak menggunakan hak pilihnya menjadi Golongan Putih (Golput). DKI Jakarta pada Pilkada yang menelurkan Jokowi sebagai Gubernur terpilih ternyata mencatatkan sisi gelap dengan sekitar 36% pemilih bersikap golput. Setali tiga uang pula Provinsi Jawa Tengah, Pilkada yang usai digelar medio tahun ini diwarnai aksi golput hingga 49% dari DPT. Kondisi yang tidak lebih baik juga terjadi pada Pilkada Sulawesi Selatan baru- baru ini, angka pemilih golput sejumlah 30%. Secara sederhana, dapat kita rangkum tingkat partisipasi pada sejumlah pilkada di 10 provinsi di Indonesia:

No Provinsi Tahun Jumlah DPT Tingkat Golput

1 DKI Jakarta 2012 6.982.179 36%
2 Sulawesi Selatan 2013 6.279.350 30%
3 Bali 2013 2.918.824 26%
4 Jawa Tengah 2013 27.385.985 49%
5 Sumatera Selatan 2013 5.820.453 37%
6 Riau 2013 4.331.062 40%
7 Nusa Tenggara Barat 2013 3.478.892 37%
8 Maluku Utara 2013 1.185.661 29%
9 Sumatera Utara 2013 10.310.872 51,5%
10 Jawa Barat 2013 36.636.312 37%
Rata- Rata 37,3%

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa angka rata- rata tingkat golput di 10 provinsi menunjukkan semangat partisipasi yang rendah. Ini adalah sebuah kecenderungan yang lahir dari akumulasi kekecewaan berbilang tahun lamanya. Kenyataan ini membuat cita- cita menuju perubahan yang lebih baik makin jauh panggang dari api. Faktor pendukung yang secara kasat mata mendorong munculnya fenomena ini adalah bahwa rakyat sebagai pelaku utama tradisi pesta demokrasi ini tak jua kunjung merasakan perbaikan kualitas hidup. Justru yang terjadi adalah semua rakyat kerap dipertontonkan mengenai carut- marut panggung kehidupan negara yang makin memupuskan harapan. Sehingga melahirkan kesimpulan untuk menarik diri jauh- jauh dari sikap partisipatif, jika dengan berpartisipasipun perbaikan itu tidak juga dinikmati. Sikap Golput akhirnya mendapat justifikasi yang mendalam.

Namun demikian, ada satu hal penting yang patut kita perhatikan bersama, yaitu perihal ongkos pesta demokrasi yang akan kita laksanakan itu. Semua ongkos itu diambil dari APBN yang dibiayai oleh pajak sebagai sumber terbesar. Pajak yang semula dari kita untuk kita justru akan kehilangan makna bila kita enggan berperan dalam pesta demokrasi itu. Bahkan lebih jauh lagi, kita tengah meninggalkan hak dan membiarkan negeri ini berjalan makin jauh dari perbaikan. Ironis.

Pemilu, Pesta Mahal Sebuah Hajat Sakral

Pemilu 2014 sudah dianggarkan sebesar didalam APBN Rp 16,2 Triliun meningkat hampir 100% dari Pemilu 2009 (ditambah Rp 923,5 Miliar untuk Pemilu Legislatif). Anggaran tersebut diuraikan untuk kepentingan persiapan, pelaksanaan dan operasional bagi seluruh provinsi di Indonesia. Sekitar 50% dari total anggaran tersebut digunakan untuk pelaksanaan tahap persiapan yang untuk dikelola Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rp 8,1 Triliun dan Badan Pengawas Pemilu (Bawasu) Rp 1 Triliun. Bila dibandingkan dengan target penerimaan negara dari pajak tahun 2013 (Rp 900 Triliun), dana sebesar Rp 16,2 Triliun memang hanya 1,78% namun bila dibandingkan dengan anggaran kesehatan maka jumlah tersebut setara dengan 46,28% dari anggaran yang dialokasikan untuk Kementerian Kesehatan. Sungguh ternyata biaya penyelenggaraan Pemilihan Umum tidaklah murah. Jika saja tidak ada Pemilu, mungkin anggaran tersebut dapat dialokasikan untuk meningkatkan jumlah penerima Jamkesmas dan Kartu Miskin. Sehingga meminimalisir jumlah pasien yang meninggal karena perawatan tidak layak atau bayi kurang gizi yang tidak tertangani. Tetapi Pemilu adalah sebuah konsekuensi yang sudah dipilihkan dalam sejarah perjalanan bangsa. Pemilu harus tetap ada sebagaimana diamanatkan Undang Undang Dasar Negara Repubilk Indonesia Tahun 1945 sebagai mekanisme dalam memilih pemimpin.

Hindari Golput Optimalkan Pemanfaatan Uang Pajak

Berpartisipasi didalam Pemilihan Umum adalah salah satu bentuk nyata kepedulian pada negeri. Bagaimana tidak, Pemilu yang diselenggarakan dengan menggunakan uang rakyat tentu baru akan berdampak baik bila telah merangkul peran aktif rakyat karena Pemilu merupakan tradisi dari dan untuk rakyat. Pemilu menjadi kehilangan arti bila ditunaikan dengan minim partisipasi.

Bagaimanapun bentuk kekecewaan yang sudah terlanjur berkelindan dalam pandangan dan pikiran rakyat jangan sampai membuat bangsa ini kehilangan harapan. Bahkan saat Pemilu menyodorkan beberapa calon pemimpin baru dengan kualitas yang menurut kita tak mumpuni maka merujuk ke pernyataan M. Quraish Shihab pilihlah yang kekuranganya paling minimal diantara yang ada.

Sudah terlanjur mahal biaya yang siap dikucurkan untuk menggelar hajat besar ini, sehingga sangat disayangkan jika pelaksanaanya tidak didukung partisipasi aktif rakyat banyak. Selain itu, Golput adalah bentuk lain dari sikap “lari dari tanggung jawab” untuk mengawal pemanfaatan uang pajak. Lebih jauh lagi, dengan menjadi golput maka kita telah menjadi bagian kelompok yang menyebabkan pembiaran atas pemborosan uang negara. Pemilu memang belum tentu melahirkan pemimpin mumpuni bagi negeri ini, namun menjadi golput hanya akan membuat negeri ini berjalan mundur jauh dari makna dan tujuan demokrasi itu sendiri.



Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja